![]() | |
ilustrasi oleh Renjaya Siahaan/analisa |
SINABUNG
SIBAYAK
Oleh
Dian Nangin
Kujejakkan kakiku yang
kelelahan pada sebongkah batu pada puncak tertinggi gunung ini. Tangan berkacak
di pinggang. Kepala mendongak menatap wajah langit. Bukan maksudku untuk
pongah, aku cuma ingin menikmati klimaks kebanggaan serta kemenangan setelah
menaklukkan jalur-jalur terjal dan tak mudah. Tiba-tiba terdengar suara jepretan
serta samar cahaya berkilat yang berlalu dalam sekejab dari tustel yang
dipegang oleh seorang perempuan.
“Tustel? Kuno amat?”
sebuah suara menyela ceritaku.
“Ini cerita tahun
70’an, ingat?” kujawab dengan bertanya balik.
Kisah ini sudah lama
berlalu, namun cukup selembar foto untuk mengingatkanku pada keseluruhan
kenangan dari perjalanan kala itu. Kuangkat sebuah foto usang nyaris buram dari
setumpuk foto baru dengan warna lebih jelas dan terang yang diambil dalam
rentang lima tahun terakhir. Foto usang itu milikku yang berasal dari tujuh
dekade lalu, sedangkan foto berwarna dan lebih terang itu adalah dokumentasi perjalanan
milik Micah, putriku satu-satunya.
Foto yang satu ini
memang sudah sangat usang. Pun pose
diriku yang terekam begitu apa adanya, tak diatur tak direncanakan. Berbeda
dengan foto-foto Micah yang diambil dari berbagai sudut yang menarik dan raut cantik
yang sudah dihafalnya. Namun, walau usang, foto ini masih mampu mengingatkanku
dengan sangat baik tentang gunung di dataran tinggi Sumatera Utara itu. Itulah
kali pertama aku melakukan pendakian dan langsung membuatku jatuh cinta.
Seusai melakukan pendakian,
kami singgah di pemandian alam air panas yang sumbernya langsung berasal dari
gunung yang baru kami daki. Alam begitu baik, bukan? Puncaknya menerima pijakan
kaki-kaki kita, sementara isi perutnya memanjakan tubuh kita. Tak ada
alasan—sekecil apapun—bagi orang-orang untuk berbuat jahat padanya.
Dia menggosok punggungku
dengan bubuk belerang, sementara aku memandangi atap-atap langit yang megah
memesona. Aku terdiam demi meresapi kenikmatan yang setelahnya tak kudapati
lagi dimanapun; bahu dipijit hingga rasa lelah jauh berkurang, mata dipuaskan
latar pegunungan, paru-paru dipenuhi udara bersih, dan kebersamaan dengan orang
yang terkasih di tempat yang juga kucintai.
“Sejak tadi Bapak
menyebut ‘dia’. Siapa? Kenapa fotonya tak ada dimanapun?”
“Dia ‘impal’ Bapak.”
“Apa itu ‘impal’?
“Impal itu anak
perempuan paman—saudara lelaki ibuku—yang secara adat harusnya kuambil sebagai
istri.”
“Jadi, Bapak seharusnya
menikah dengannya, begitu?”
“Tidak.
Itu bukan lagi keharusan. Kalau hal itu adalah sebuah kewajiban, Bapak pasti
tak ada di sini, tak pernah menikah dengan Ibumu dan kau tak pernah lahir.”
Micah
mengangguk-angguk kecil. Barangkali semua kisah ini tak lebih dari sekedar
dongeng baginya. Ia lahir dan besar di negeri Paman Sam ini, tempat asal seorang
perempuan berambut pirang dengan tinggi menjulang yang kuambil sebagai istri
dan lalu menjadi ibunya. Micah hanya mewarisi hidungku yang tidak terlalu
mancung dan darah petualangan yang kental mengalir dalam nadiku. Selebihnya ia
sangat mirip ibunya; berambut pirang, tubuh setinggi tiang listrik dan mata
biru kehijauan. Sering aku bergurau dengan mengatakan kalau kami pulang
kampung, bisa-bisa matanya dicongkel karena disangka kelereng oleh bocah-bocah
di sana.
Tapi
nyatanya, sejak berpuluh tahun berdiam di negeri ini, aku tak pernah pulang.
Sebab telah ada cinta yang mengikat, tuntutan kerja profesional yang menjerat,
hingga waktu terus bergulir tanpa pernah ada kesempatan untuk menjenguk bumi
turang tempatku berasal. Rasa rindu hanya bisa sedikit lebur kala kutelusuri
kabar-kabar di dunia maya serta membuai hati dengan lagu-lagu tradisional yang
sama sekali asing di telinga Micah.
Benda yang tersisa
padaku yang kubawa langsung dari kampung hanyalah selembar foto itu, serta
kenangan yang terawat dalam benak. Kenangan pendakian itu salah satunya. Masih
bisa kurasakan luap kepuasan ketika tiba di puncaknya. Kuharap Sibayak tetap
menjaga keramahannya untuk menyambut kaki demi kaki yang kelak hingga ribuan
tahun ke depan akan tetap datang untuk merasakan esensi pendakiannya.
Satu gunung lain yang
tak dapat dipisahkan dari Gunung Sibayak adalah Sinabung, yang menawarkan
sebuah petualangan menantang. Seusai menaklukkan Sibayak, kami menyusun rencana
untuk suatu hari nanti meninggalkan jejak kaki di puncak Sinabung.
“Jangan-jangan, selama
ini Bapak masih menyimpan perasaan pada wanita itu—impal, atau apalah
namanya?!” Tampaknya Micah merasa terganggu karena aku selalu mengikutsertakan
perempuan itu dalam ceritaku. Aku tersenyum demi mengendus adanya kecurigaan
dan kecemburuan dari putriku ini, serta prasangka bahwa aku telah mengkhianati
ibunya yang tiga tahun lalu telah berpulang pada Yang Maha Kuasa.
“Bukan perasaan. Aku
hanya tak bisa menghapus wajahnya dari sini,” kataku sembali menunjuk kening.
Aku ingat masih
menyimpan janji padanya agar sekelak usai menaklukkan Sinabung, kami akan
melepas penat dengan bersampan di Danau Lau Kawar—tepat di bawah kaki gunung
itu.
“Nah, benar, kan?!
Bapak masih belum bisa melepaskan perempuan itu!” Micah protes. Mungkin cerita
ini terlalu romantis dalam bayangannya, kendati janji itu tak pernah kami
realisasikan.
Sebelum sempat kami
menunaikan keinginan itu, aku terlanjur pergi jauh demi penaklukan-penaklukan
lain ke negeri-negeri asing. Darah petualang ayahku yang telah pergi puluhan
tahun tanpa pernah kembali ternyata mengalir deras dalam tubuhku. Darah
petualangan yang membawanya jauh tanpa pernah kembali, menyisakan rasa rindu
dan samar sosoknya.
Ketika pergi dulu, aku
memilih untuk punya pemikiran berbeda dengan ayahku. Aku berikrar untuk tetap
pulang sejauh apapun aku akan pergi, seberapa lama pun aku mungkin tersesat.
Hati ini yang akan memaksa kakiku untuk pulang bila ia enggan melangkah. Atau,
bila hatiku yang bersikeras untuk tetap di tempat, kakiku yang akan memaksanya
beranjak.
Tapi akhirnya hati dan
kaki ini bersekongkol untuk tetap berdiam di negeri asing yang kini kuakrabi. Hingga
puluhan tahun kemudian berlalu, menyuburkan lupa. Dan, suatu hari rasa rindu
tahu-tahu membuncah. Ah, aku bukannya lupa! Aku hanya memaksa ingatan agar tak
menyeruak.
“Masih banyak gunung
lain yang bisa Bapak daki kalau mau,” kata Micah.
“Tidak, aku tidak
menginginkan yang lain,” aku menolak.
Kening Micah
berkerut-kerut. Barangkali baginya aku orang tua yang payah dan keras kepala.
Apalagi usiaku yang kini menapaki usia lanjut, sering mata ini melelehkan
bulir-bulir air kerinduan. Kadang dalam mimpi tanganku menggapai-gapai, ingin
mendekap hijaunya kampungku.
“Kau tau, kadang ada
sebuah kerinduan yang tak dapat disangkal, tak dapat dikekang. Aku mengingatnya
selalu dan hati semakin merana karena tak kunjung bertemu.”
“Baiklah,” katanya
mengalah dengan nada seolah sedang menghadapi anak kecil. “Ayo kita susun
rencana untuk pulang kampung dan mendaki gunung yang selalu Bapak
gaung-gaungkan itu.”
“Tidak. Kita sudah
tidak bisa lagi mendakinya. Bahkan sekedar mendekat pun tak akan diizinkan.”
Micah angkat bahu.
Alisnya yang berkerut menyampaikan sebuah tanya tak terucap.
“Karena belakangan ini
ia sering menangis. Berair-matakan lahar panas dan dingin. Merinaikan hujan abu
ke segala penjuru.”
Micah terdiam, mungkin
dia baru ingat kalau gunung itu sudah sangat lama dikabarkan meletus dan tak
kunjung berhenti hingga kini. Aku diam tepekur. Tak dapat kucegah benakku
membayangkan nasib saudara-saudara sekampung.
“Mestinya dia juga
merasa kalau aku tengah merindu,” bisikku lirih.
Micah mengibaskan
tangan, menganggapku terlalu sensitif dan berlebihan mengungkapkan isi hati.
Terlalu memelihara haru biru yang tak perlu. Aku paham bahwa Micah tidak mengerti.
Ia mengira keinginanku tidak lebih dari sekedar ambisi tak terpenuhi. Namun,
jauh dalam ceruk hati ini tersimpan sebuah telaga rindu yang makin lama makin kering.
Dahaga akan pertemuan dengan kampung halaman yang telah lama kutinggal pergi.
Medan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar