![]() |
ilustrasi oleh Waspada |
JANGAN
LAYU, BUNGA
Oleh
Dian Nangin
Kakiku
seakan dipaku ke dalam bumi ketika tak sengaja kulihat sekelebat wajahnya. Kupicingkan
mata. Hatiku bersikeras menyangkal kebenaran bahwa perempuan penjaga lapak
sayur mayur yang terkantuk-kantuk itu adalah dia.
Turut bersamanya bocah
laki-laki dan perempuan yang juga terkantuk-kantuk di tengah siang yang terik. Mereka
merekat erat, seakan takut ada seseorang yang akan memaksa memisahkan mereka. Hatiku
separuh bimbang, entah aku sedih atau senang melihatnya lagi.
“Perempuan
itu.....,” kutelan gumpalan di tenggorokan demi menyebut namanya,”...Melati,
bukan?”
“Benar.”
Aku tak tahu siapa yang menyahut di antara gerombolan pembeli kue-kue tempatku
berdiri sejak tadi tanpa berniat membeli. Jawaban yang menegaskan dugaanku itu benar-benar
menceluskan hati.
Tak
dapat kutahan kerut-kerut di kening. Apa yang tersaji di depan mata sungguh
bertolak belakang dengan apa yang kuimajinasikan selama ini tentangnya: ibu
muda yang cemerlang, mengisi hari-hari dengan menerima dan memberi cinta.
Kuhibur diri
dengan membayangkan kebahagiaannya, sempurna keluarganya.
“Apa
yang ia lakukan di sana? Bukankah suaminya yang berkecukupan itu seharusnya
dapat menghindarkannya dari pekerjaan semacam itu?”
“Dia sudah bercerai,” seseorang
berceletuk dengan nada datar.
Aku terhenyak.
Seandainya dulu aku bisa membelokkan keputusannya, lebih berusaha mencegahnya.
Seandainya dulu aku punya sedikit saja keberanian yang lebih untuk.... Ah! Kata
seandainya selalu berada dalam ruang bayang-bayang, tak pernah menjadi
kenyataan.
Dia tak pernah tahu
bahwa senyumnya adalah salah satu bahan bakar energiku hingga mampu mengayuh
sepeda setiap hari pulang pergi ke sekolah, dulu. Dia perempuan yang memacuku
untuk mencari sebuah cita-cita yang bisa selalu membuatku berada di dekatnya.
Aku juga memutuskan untuk kuliah sebab dia menginginkannya. Tak peduli
keputusan itu sesungguhnya mustahil untuk kulakukan sebab hidupku dipalangi
oleh keterbatasan.
Bila kutilik masa demi
masa hidupku pada waktu-waktu yang telah lalu, nyaris semua kenangan yang
mengisi memoriku tak jauh-jauh tentangnya. Mulai dari masa kanak-kanak yang mengantarkan
kami menuju remaja, pun ketika belajar dewasa. Aku dan dia terbiasa berbagi
hari-hari bersama. Apa sekarang dia masih cukup ceriwis, sebagaimana dia dulu? Sifatnya itu memaksaku menerima seluruh
celotehannya. Termasuk pengumpamaannya tentang laki-laki sebagai kumbang dan
perempuan sebagai bunga.
“Seperti lirik lagu
dangdut?” tanyaku berseloroh.
“Bukankah itu memang
tepat?” dia balik bertanya alih-alih menjawab. “Para pujangga telah bekerja
keras membuat ungkapan-ungkapan indah.”
“Jadi,” katanya dengan
wajah bersemu,”aku adalah bunga. Seperti namaku.”
Aku tertawa. Tanpa
dikatakan pun tentu aku turut diumpamakan sebagai kumbang. Kumbang pendamba.
Pengagum rahasia bunga yang teramat indah bernama Melati.
Dia baru genap usia dua
puluh ketika memutuskan pergi dengan sebuah cinta dan membangun mahligai rumah
tangga. Cinta itu datang dari kumbang lain yang menawan dan menawarkan
janji-janji untuk masa depan.
“Bukankah kita masih
punya banyak cita-cita?” Kukerahkan segenap daya agar dia berubah pikiran. “Kau—kita
masih cukup muda. Ada banyak cinta lain yang akan datang dalam perjalanan
kita.”
“Memang ada banyak,” dia
tersenyum tenang. “Namun cinta yang seperti ini hanya akan datang sekali saja.
Dan, ini sudah cukup untukku. Aku tak menginginkan apapun lagi.”
Cinta
yang bagaimana? Aku masih ingin bertanya. Pemahaman
kami tentang romansa sejatinya masih prematur, namun keputusannya final sudah.
Cinta telah buta terhadap segala logika. Beragam upayaku tak membuahkan
apa-apa. Dia pergi. Lengkung bibirnya merekah. Tangannya melambai-lambai.
Langkah demi langkahnya seakan bernyanyi-nyanyi menyongsong cinta yang dia agung-agungkan.
Aku tertinggal di belakang dengan senyum tegar karena patah hati atas cinta
yang tak pernah kuucap, atas ikatan hubungan yang tak punya ujung tersimpul.
Aku memilih menjadi kumbang
yang hijrah ke kebun seberang, namun tak kunjung menyentuh bunga lain walau
hanya sekali. Bertahun-tahun menjalani hidup sebagai mahasiswa strata dua di
negeri orang, kini aku pulang. Cita-cita yang dulu kubentuk karenanya kini
telah berada dalam genggamanku.
Kudapati bungaku yang
dulu kini telah berubah. Kumbang yang dia puja dan percayai itu telah menyedot
habis madunya, lalu meninggalkannya sendiri. Melati dan anak-anaknya kini
serupa serumpun bunga di kebun yang terabaikan: rentan terhadap hujan, sengat
matahari, sesak dikerumuni gulma-gulma. Anak-anaknya seumpama tunas muda yang
rikuh. Dan, Melati sendiri masih begitu canggung menghadapi dunia dengan kaki
yang rapuh.
Masih dapat kutangkap
setitik keindahan dan keelokan yang pernah jadi miliknya, walau kini semua itu
tak lagi utuh. Dirinya yang dulu sudah hilang bahkan lebih dari separuh. Cinta
itu dulu datang menjemputnya dengan berlari-lari, kini telah mematahkannya
dengan kecepatan derap yang sama. Bukankah segala yang abadi haruslah teruji
oleh waktu? Barangkali aku terdengar terlalu percaya diri, namun sungguh kukatakan
bahwa perasaanku padanya adalah sesuatu yang telah teruji. Namun, dia tak
pernah menoleh pada hatiku untuk menengok apa yang ada di dalamnya.
Aku terkesiap di
tempatku berdiri. Dia tiba-tiba menoleh ke kanan kiri, seakan sadar ada sebuah
hati yang tengah mengenangnya. Seolah tahu seseorang sedang memperhatikannya.
Aku segera menghindar dan menyembunyikan diri di tengah keramaian, tak ingin ia
menyadari keberadaanku.
Kuhela nafas panjang. Aku juga telah membuat sebuah pilihan.
Hatiku berbisik kalau dia harus berlalu, pergi dan berlalulah. Biar aku tetap
di sini, memandangnya dari jauh. Tetap sebagai kumbang pengagum. Melati, tetaplah mekarkan senyummu meski
alur cerita yang kau jalani terasa sulit. Jangan jatuh layu, sebab kau indah
sebagaimana kau adanya.
Kini kakiku telah
enggan mengejarnya. Bukan karena dia tak cukup menarik lagi. Aku hanya berpikir
bahwa ketegaranku selama ini layak dihadiahi sesuatu yang lebih baik dan pantas.
Cukuplah dia kukenang sebagai perempuan yang diam-diam pernah kusematkan di
hati.
Medan,
2016-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar