![]() |
ilustrasi oleh Harian Medan Bisnis |
SATU
HAL KECIL
Oleh
Dian Nangin
Malam yang sudah
jauh merangkak seharusnya membungkusku dengan keheningan. Seharusnya. Namun
semua buyar ketika salah satu kamar rumah tetangga sebelah kembali menyalakan
lampu dan kemudian terdengarlah teriakan-teriakan itu.
Ingin rasanya aku
melempar jendela mereka dengan gelasku yang berisi endapan ampas kopi. Cairan
hitamnya sudah habis kuteguk sebagai amunisi untuk mengarungi malam dengan setumpuk
naskah yang harus kuedit. Sekarang aku nyaris frustasi karena tak bisa melanjutkan
pekerjaanku, tapi juga tak bisa pergi tidur karena kafein dari segelas kopi barusan
telah membuat kedua mata ini tetap nyalang, tak mau terpejam.
Seminggu
sudah aku menghuni rumah ini setelah mengidamkannya sejak lama. Kurelakan
delapan puluh persen tabunganku melayang demi sebuah bangunan di kompleks yang
harusnya tenang ini, ditopang sokongan orang tuaku dan bantuan sukarela dari
kekasihku yang telah bekerja di luar kota.
Aku
bersyukur bisa memiliki tempat yang nyaman dan akan mendukung penuh pekerjaanku
sebagai editor naskah fiksi, yang sesekali juga menulis. Namun, aku tidak minta
‘bonus’ berupa kegaduhan ini.
Awalnya
teriakan-teriakan itu hanya terdengar di pagi atau siang hari, namun kini
mereka sudah keterlaluan. Aku heran, bagaimana bisa para tetangga tidak pernah
mengeluhkan keributan yang makin hari makin menjadi itu?
Tak mungkin mereka
tidak merasa terganggu. Apa mereka memilih diam-diam memelihara kebencian
sepertiku? Atau sebenarnya mereka telah menyampaikan keluhan, tapi tetangga
sebelah ini cukup keras kepala untuk mengindahkannya?
Pagi tiba, kusambut
dengan kepala berdenyut dan tumpukan naskah yang tak juga menyusut. Dengan hati
kesal, aku keluar untuk membeli sarapan karena tak sempat memasak. Lebih
kupilih berangkat kerja lebih awal untuk mengejar waktu menyelesaikan
pekerjaanku. Kulewati rumah tetangga sebelah dengan tatapan tajam. Saat itulah mataku
bertubrukan dengan mata seorang wanita tua yang sedang berjemur di halaman menikmati
matahari pagi.
Terlanjur bertemu
pandang, aku menyapanya tanpa senyum. Namun ia tak bergeming, hanya mengikuti
langkahku dengan gerak bola mata tanpa menolehkan kepala. Aku berdecak. Sudah
tua, sombong pula! Baru beberapa menit kemudian aku merasa bersalah telah
sembarangan menilai. Dalam hati aku mengucap maaf, takut kualat! Kuputuskan untuk
tidak berurusan dengannya atau seisi rumah itu.
***
Hari
demi hariku berlalu diiringi suara-suara keras dari rumah tetangga sebelah. Tak
terhitung berapa kali sudah aku mengelus dada agar stok kesabaranku tak cepat
habis. Aku harus pintar-pintar memilih pekerjaan mana yang bisa kulakukan di
rumah atau mana yang sebaiknya kukerjakan di luar.
Tapi tampaknya tak
banyak yang bisa kulakukan di rumah—selain tidur dan memasak. Menulis atau
mengedit naskah, kupilih melakukannya di kafe atau perpustakaan yang menawarkan
ketenangan. Pun ketika kekasihku datang berkunjung dan berniat melewati weeked berdua saja denganku demi menebus
kebersamaan di waktu-waktu yang lalu, kupilih untuk pergi keluar.
“Apa tidak sebaiknya
kita menghabiskan hari di sini saja?” ia bertanya, tampaknya ingin menikmati
rumah baruku yang baru sekali ini dikunjunginya.
“Tidak!
Jangan!” tolakku cepat.
“Kenapa?”
“Tetangga
sebelah suka meletuskan perang lokal. Sudah tak terhitung berapa kali terjadi sejak
kali pertama aku tinggal di sini. Kita pasti akan terganggu.”
“Oh,
tetangga yang kamu ceritakan tempo hari?”
“Ya.
Aku tidak ingin ulah mereka nanti merusak suasana. Aku benci mereka.”
Kekasihku melayangkan
pandangan ke rumah sebelah. Situasinya sedang tenang tanpa suara. Barangkali mereka
sedang tidur.
“Apa
tingkah mereka kubuat jadi cerpen saja, ya?” cetusku tiba-tiba.
“Dasar
pengarang! Apapun bisa dibuat cerita...” kekasihku berdecak.
“Kupikir,
sebaiknya mereka semua kujadikan tokoh antagonis yang suka adu mulut. Lalu salah
salah satu penghuninya kubuat mati karena kalah perang kata-kata.”
“Boleh
saja kamu mengambil ide dari mereka, tapi jangan sekejam itu juga.”
“Ini,
kan, cuma fiksi. Nanti aku bisa tambahkan keterangan di bawah tulisanku ‘kalaupun
ada kesamaan tempat dan karakter, itu hanya kebetulan semata’.”
Kekasihku
tertawa, entah sisi mana yang ia anggap lucu padahal aku begitu serius.
Kepalaku sibuk mereka-reka sebuah alur cerita. Ya, aku pasti akan
menuliskannya. Bila mereka telah merugikanku lewat kegaduhan itu, aku juga
harus melihat peluang untuk mengambil keuntungan.
***
Namun cerita itu tak kunjung kutuliskan, sebab
nyaris seluruh waktuku disita oleh pekerjaan. Malam demi malam aku selalu
pulang larut. Bekerja sepanjang hari ditambah lembur membuat tubuhku lelah
bukan main. Seperti malam ini. Aku menjaga mataku yang cukup mengantuk agar
tetap awas melihat jalanan. Tampaknya aku akan segera ambruk begitu bertemu
kasur beberapa menit lagi.
Kubelokkan
sepeda motorku memasuki gerbang kompleks dan seketika aku disambut barisan
kendaraan yang terparkir di sisi jalan. Aku melaju lambat demi mencari tahu apa
yang tengah terjadi. Selama dua bulan aku menjadi penghuni komplek ini, tak
pernah ada keramaian dan terlebih jelang tengah malam seperti sekarang.
Aku
terus melaju dan belum menemukan seorang pun kecuali barisan mobil yang terus
mengular. Dan, baru tampak pergerakan manusia ketika aku semakin mendekat
rumahku. Apa yang terjadi? Rumahku kemalingan?
Ternyata
yang menjadi pusat keramaian adalah rumah tetangga sebelah. Walau selama ini
aku membenci mereka, namun hatiku tergugah untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Setelah memarkir sepeda motor di pekarangan, aku mendatangi sekelompok lelaki berpakaian
hitam yang duduk di dekat gerbang.
“Ada
apa, ya, Pak?”
Ia
mengatakan seseorang telah meninggal dunia—disebutnya sebuah nama yang tak
kukenal. Namun ada yang berbaik hati mengantarkanku ke dalam rumah. Seorang
perempuan paruh baya berwajah sembab menyambutku. Ia baru saja kehilangan
ibunya.
“Oh,
kamu tetangga baru itu, ya? Maaf kita belum pernah jumpa. Cuma ibu saya yang
bilang pernah melihat kamu. Dia bilang ‘tetangga baru kita cantik’. Dia juga
pernah bilang ingin kenalan sama kamu, tapi....” ia jeda sejenak untuk
menghapus setetes air di sudut matanya,”...dia sudah ‘pergi’ duluan.”
Aku
diam tepekur dengan berbagai pemikiran berseliweran dalam benak. Perempuan tua
yang baru sekali kulihat di pagi hari waktu itu dan kukira mengacuhkanku
ternyata punya keinginan untuk bersua, namun kini ia telah tiada. Sekian lama
kami telah bertetangga, baru sekali ini aku datang bersilaturahmi. Pada suasana
duka pula.
“Oh,”
perempuan itu tiba-tiba teringat sesuatu. “Saya ingin minta maaf tentang
sesuatu. Tetangga lain sudah saya beritahu, namun niat untuk menyampaikannya
pada kamu selalu tertunda. Mungkin selama ini kami terlalu berisik. Pendengaran
ibu saya sudah sangat buruk. Volume suara dan intonasi kami harus tinggi supaya
beliau dapat mendengarnya. Tapi, mulai sekarang kami tak akan melakukannya
lagi.”
Perempuan
itu tersengguk-sengguk. Hatiku sontak digigit rasa bersalah atas kebencian dan
prasangka buruk yang selama ini kupelihara. Kupandang sesosok jasad yang
terbaring kaku ditutupi sehelai kain panjang di tengah ruangan. Sebuah
penyesalan merayapiku. Seandainya aku tahu situasi yang sebenarnya sedang
terjadi pada mereka, setidaknya aku bisa memberi satu hal kecil yang berarti
seperti pemakluman dan kelapangan dada untuk menerima. Bagaimanapun, suatu saat
aku akan tiba di masa tua dan mencicipi bagaimana rasanya berada di posisi
wanita renta itu.
Tiba-tiba aku teringat rencana
untuk menulis cerpen tentang tetanggaku ini. Tampaknya aku akan mengubah alur
dan tema ceritanya. Sebab segala kesan dan dongkol yang selama ini bersarang
dalam dadaku telah luruh tanpa sisa.
Medan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar