![]() |
Ilustrasi oleh Harian WASPADA |
RAHMAT
Oleh
Dian Nangin
—Untuk abangku, R.E. PA
Lama kupandangi wajah
lelaki ini. Namun ia seakan acuh tak acuh padaku, lebih memelihara keintiman
bersama sebatang kretek dan asap putih yang bergulung-gulung di udara usai
ditiupkan kuncup bibirnya.
Kuteguk kopi hitam yang
mulai dingin dan serta merta aku mengernyit.
“Terlalu pahit?”
Ternyata ia menangkap reaksiku.
“Sedikit. Tapi enak,
kok,” jawabku.
Aku terbiasa
mengonsumsi kopi sachet, sesekali
pergi ke kafe demi secangkir kopi dengan gula dan krimer ramuan barista
profesional. Kini lidahku terkaget-kaget ketika diserbu minuman dengan nama
yang sama tapi rasanya begitu berbeda. Namun ada sesuatu di balik kopi ini yang
membuatku mampu meneguk dan menyesap esensinya. Sebab kopi ini ditanam sendiri
oleh lelaki ini, diolah sendiri pula dengan cara tradisional. Ia juga memaksa
untuk menyeduh sendiri dan menghidangkannya bagiku.
“Kau begitu jarang
datang. Biarkan aku menjamumu,” katanya beralasan.
Diam-diam aku dilanda
haru. Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap di hati. Pekerjaanku di kota begitu
serakah, menyita sebagian besar waktuku dan hanya menyisakan sedikit kesempatan
pulang ke kampung untuk menengoknya.
Di sinilah kami berada:
duduk mengaso di beranda pondoknya sambil menikmati pemandangan sawah yang
menghampar luas. Menonton tarian pucuk-pucuk padi yang meliuk-liuk dipermainkan
angin. Lelaki ini melepas lelah usai bekerja separuh hari, sementara aku larut
dengan pikiranku sendiri.
Walau kami berasal dari
rahim yang sama, namun hidup kami bergulir ke arah yang berlawanan di segala
aspek. Bertahun-tahun lalu aku dikirim ke kota untuk mencicipi aneka bentuk
peradaban, hingga akhirnya terjerat di sana entah untuk berapa lama. Sementara
dia di sini bergelut dengan dunianya sendiri. Dia memilih tidak pergi. Tetap di
tempat sebagai tujuanku kembali, untuk kudapati. Dia setia menunggu dan tak
beranjak kemana-mana. Aku tak perlu mencari.
Perbedaan yang begitu kentara sering
menimbulkan sejumlah tanya dalam benakku.
“Mengapa kau tidak terlahir sebagai saudara
laki-lakiku yang modern?”
“Mengapa tak kau raih
pendidikan tinggi agar kau berakhir sebagai pemimpin perusahaan multinasional,
mondar-mandir dengan mobil berkilat, lalu lalang dari satu negeri ke negeri
lain, memanjakan orang tua dan adikmu dengan kelimpahan seperti yang dilakukan orang-orang
kaya itu?”
“Akan jadi apa atau
siapa kita kelak di kehidupan mendatang? Apa kita mampu saling mengenali lagi?
Akankah kau masih jadi saudaraku?”
Namun semua pertanyaan
itu hanya sebatas terucap dalam hati. Sebab mustahil menggugat takdir yang
telah tertoreh bahkan sebelum jiwa-jiwa yang kini hidup terlahir. Tak ada yang
dapat dilakukan selain menerimanya dengan ikhlas serta menjalaninya baik-baik.
Bagaimanapun bentuk dan rupa hidup yang diberikan, ia tetaplah karunia dan
rahmat yang dianugerahkan Sang Pencipta.
Dan inilah kenyataan
takdir lelaki ini yang alurnya telah tergurat; seusai menjalani pendidikan
hingga menengah atas, ia meneruskan pekerjaan para pendahulu kami yakni
menggarap beberapa petak ladang dan sawah warisan. Bergelut dengan lumpur dan
peluh. Itulah akhir yang dipilihkan semesta ini untuknya.
Ruang gerak yang
terbatas membuat ruang pikirnya pekat oleh kabut ketidakpahaman—ia setengah tak
peduli dengan apa yang tengah berlangsung di belahan bumi lain. Selama ini aku
berpikir bahwa ketidaktahuan adalah sebuah pasung tak kasat mata yang menjerat
kaki manusia dengan kekolotan, menyulitkan orang-orang untuk unjuk eksistensi.
Namun, tatkala menatap wajahnya, ketidaktahuan menjadi sebuah berkah yang
membentenginya dari perangkap-perangkap dunia yang licik dan banyak menuntut.
Di telaga mata lelaki
ini aku bercermin. Kudapati pantulan seorang perempuan modern yang
tersuruk-suruk berkejaran dengan waktu, berambisi besar, bercita-cita angkuh
ingin menaklukkan dunia, tergopoh mengikuti perkembangan teknologi, dan kadang
pusing oleh dunia yang perputarannya cepat berdesing. Sementara dia di sini
diam tenteram dalam kesederhanaan, tak terusik oleh hiruk pikuk dunia, hidup
dan menjadi tua dalam kebersahajaan.
Dia tak butuh lampu sorot, sebab dia pun tak ingin mencuat
di panggung gemerlap dunia dan menjemput puja puji—atau menuai caci maki.
Kadang, aku ingin masuk ke dalam kepalanya dan menengok apa yang ada di sana.
Aku ingin melihat dunia lewat matanya, mencari makna hidup dari sudut
pandangnya.
Kepulanganku
yang begitu jarang ini menjadi momen bagi kami melepas rindu, sekaligus
kesempatan bagiku untuk sejenak menjenguk diriku yang dulu. Sebab, seberapa
jauh pun kaki ini melangkah, dari sinilah aku bermuasal. Di tempat ini tertinggal
jejak masa kecilku, terikat bersama seorang lelaki sederhana yang hingga
kapanpun simpulnya tak akan bisa diurai—tak ingin kuurai.
Suara gemercik air dari
sungai kecil di samping pondok, kaok burung di kejauhan yang terdengar sayup,
berpadu dengan kerik serangga-serangga tak terlihat memanjakan organ
pendengaranku. Di kota, aku terbiasa menyumpal telinga dengan earphone, menimpanya dengan musik
berdentum-dentum demi menghindari pekik berisik dari sekitarku. Sebuah
kenyataan menyedihkan bahwa kadang diriku tak punya ruang tenang.
Memang aku juga
mengoleksi suara-suara alam di ponsel yang kuunduh dari internet, namun semua
itu hanyalah hasil rekaman sekian menit yang konsisten. Setelah beberapa kali
diputar ia menjadi mudah ditebak, membosankan, dan palsu. Tak ada yang dapat
mengalahkan orisinalitas yang disediakan sendiri oleh alam ini. Walau hanya
beberapa jenak, kupuaskan telingaku dengan orkestra alam yang mungkin lama baru
bisa kutemui lagi.
Bersama kunjungan ini,
aku membawa oleh-oleh berupa sebentuk peradaban yang berada dalam sebungkus
roti sobek. Berharap lidah lelaki ini bisa beradaptasi dengan baik, melupakan
sejenak rasa jagung rebus atau keladi kukus.
“Enak,” katanya
berkomentar, menikmatinya bersama kopi racikan sendiri.
Aku tersenyum,
bersyukur ia menyukainya. Kuulurkan tangan, ikut mencicip meski roti sejenis
ini telah ratusan kali singgah di mulutku. Rasanya pun telah menjadi begitu
biasa dibanding beragam roti modern lain yang pernah kumakan. Namun kali ini,
bersama lelaki yang kusayangi dan di hadapan alam tempat segala makhluk hidup bersumber,
rasa roti yang telah biasa ini menjadi
ribuan kali lebih nikmat.
Ah, aku sadar bahwa aku
memang tak sepatutnya menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan tak penting tentang
perbedaan kami. Tak seharusnya aku mendambakan apa yang tak pernah ditakdirkan
terjadi pada lelaki ini; memiliki mobil berkilat atau oleh-oleh dari negeri
antah berantah. Ungkapan kasih sayang lewat secangkir kopi dan kesempatan untuk
menikmati roti bersama-sama sudah lebih dari cukup.
Setelah pertemuan ini,
akan ada lagi bentangan jarak dan waktu yang memisahkan kami. Dan aku tahu, aku
akan merindukan bintik-bintik kecokelatan yang menghiasi wajahnya.
Medan, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar