![]() |
ilustrasi oleh Harian Banjarmasin Post |
JATAH
Oleh
Dian Nangin
Pur melongokkan
kepalanya ke luar barisan dan mendapati bahwa antrian masih cukup panjang di
depan, pun jauh mengular di belakangnya. Ia tak paham apa sebab musabab angka
kematian di penghujung tahun ini cukup tinggi, entah mengapa pula mereka
terpilih sebagai jiwa-jiwa yang tak diizinkan melangkah ke tahun yang baru. Sementara
manusia-manusia lain masih punya waktu untuk meneruskan hidup, mereka justru
terjebak dalam antrian sebelum menerima keputusan akan melangkah ke dalam surga
atau mendekam di neraka.
Namun menunggu dalam antrian
itu tak serta merta membuatnya bosan, sebab ada sebuah layar yang cukup lebar terpasang
jauh di depan, mempertontonkan semacam rekaman kehidupan. Berbagai tingkah dan
tindak-tanduk
seseorang semasa hidupnya diputar di sana, berlaku sebagai
pertimbangan Tuhan sebelum memutuskan tempat yang layak bagi mereka. Cukup
menghibur menyaksikan hidup orang lain, sekaligus juga was-was menunggu rekam
jejak hidup sendiri dipertontonkan.
Melihat deretan
jiwa-jiwa yang berjejer di depan dan belakangnya, Pur berkecil hati. Ia merasa
terkucil berada di tengah-tengah mereka yang semasa hidupnya tergolong ‘orang
besar’. Apalah ia dibanding pemuka-pemuka agama, para politisi, anggota dewan,
profesor-pengusaha-orang hebat dan penting lainnya. Ada pula seorang lelaki
yang menemui ajal ketika sedang melakukan sembahyang di rumah ibadah. Ia
mengenalnya karena lelaki itu menjadi perbincangan belakangan ini. Sebuah
kematian yang istimewa, kata orang-orang.
Tiba-tiba ia menyesalkan
mengapa akhir hidupnya berbarengan dengan ‘orang-orang besar’ itu. Kalau Pur
meninggal bersamaan dengan para pengayuh becak, kuli-kuli kasar di pasar, pengemis-pengemis
di lampu merah, para pemulung atau mereka yang masuk golongan wong cilik
lainnya, barangkali perasaannya akan lebih baik.
Para pembesar setiap
tahun punya agenda untuk bagi-bagi amplop pada anak-anak yatim. Para politisi
telah berlelah-lelah menguras keringat demi kepentingan khalayak namun masih
berbaik hati untuk menyumbang sembako gratis untuk kaum tak mampu. Para orang
pandai dan profesional lainnya sibuk dengan pekerjaan mereka memberi dedikasi
terbaik bagi nusa dan bangsa. Pemuka agama semasa hidupnya dihabiskan hanya
untuk mengabdi pada Tuhan—sudah pasti akan menerima tempat terbaik.
Pur merasa tak
melakukan apapun yang cukup berarti untuk disandingkan dengan segala yang telah
dilakukan orang-orang besar itu. Pur juga tak dapat memahami bagaimana cara
kerja Tuhan hingga memiliki semua rekam jejak milyaran manusia di bumi sana. Kalaupun
ada semacam kamera milik Tuhan yang ditempatkan entah dimana untuk mengabadikan
kehidupan manusia, bisa jadi ia tak tampak dimanapun, sebab ia demikian kecil,
tersisih, dan tak penting. Ibarat dalam sebuah drama atau lakon sandiwara, ia
tak akan dapat peran apapun. Maka ia mengingatkan diri agar tak kecewa bila
kelak Tuhan dan para punggawa-Nya tak begitu memperhitungkannya.
“Purnama Sati...!” Perempuan
itu mendengar namanya disebut. Gilirannya akhirnya tiba setelah penantian
panjang yang dilalui penuh kesabaran. Ia menunggu dengan gugup sekaligus
penasaran, seperti apa kehidupannya selama ini dalam pengamatan Tuhan.
Menutup usia di angka
tujuh puluh tahun telah memudarkan ingatan Pur akan masa kecil dan remajanya. Tak
ada yang istimewa dan patut dibanggakan mengenai hidupnya. Ia mewarisi
kesederhanaan yang diturunkan oleh orang tuanya. Barangkali ada satu dua hal
pahit yang terjadi untuk mewarnai kebahagiaannya yang juga tak seberapa.
Hidupnya sungguh datar-datar saja sekalipun ia berusaha melakoninya dengan baik.
Namun peristiwa-peristiwa getir yang terjadi beberapa tahun belakangan masih
kental dalam ingatannya, seolah baru terjadi kemarin.
Setelah beberapa tahun
menikah, suaminya selingkuh dan menikah lagi. Pur memilih bercerai. Ia juga tak
dianugerahi seorang anak. Pur menghidupi diri dengan menjual aneka gorengan di
depan sebuah gang kecil kumuh sarat rumah-rumah kos mahasiswa yang kuliah di
sebuah universitas tak jauh dari sana.
Pur tak punya
keterampilan lain kecuali memproduksi makanan berminyak itu, yang cenderung
dihindari orang-orang. Paling-paling yang membeli hanya tetangga yang sama
melarat dengan dirinya—yang selalu memakan dua potong namun hanya mengaku satu,
atau para mahasiswa miskin yang keuangannya lebih sering minus dan kerap
mengutang padanya. Merekalah orang-orang yang mengesampingkan panduan makan
sehat dan tak punya pilihan selain menjejalkan makanan berminyak-minyak
tersebut ke dalam lambung agar tak terdengar senandung musik keroncong.
Demikianlah profesi yang Pur tekuni selama
bertahun-tahun. Profesi yang tak memberinya kemapanan. Berbeda dengan para
pembesar yang kebanyakan status dan taraf hidupnya kian meningkat dari tahun ke
tahun, Pur malah semakin terpuruk. Tren hidup sehat dan kemajuan teknologi kian
memurukkan usahanya. Saat orang-orang tak lagi perlu repot-repot melangkah
keluar rumah demi urusan perut, warung sederhana Pur hanya disinggahi
orang-orang gila yang banyak berkeliaran di lingkungannya.
Pur menunduk, entah
malu entah sedih. Seperti duganya, sungguh tak sebanding ia dengan para
pembesar itu. Ia tak akan pernah jadi pahlawan hanya karena beberapa potong
gorengan yang ia berikan pada manusia-manusia kumal dan kelaparan itu. Memang
benar bahwa ia adalah seorang janda, namun orang-orang gila itu bukan nabi. Pur
memberi mereka makan tanpa dijanjikan mukzijat yang menjamin persediaan tepung
dan minyaknya yang tidak seberapa tak akan pernah habis.*
Namun, walau
berkali-kali kehabisan modal, ia mampu bertahan meski pelanggan tetapnya
sebagian besar adalah orang-orang gila itu. Tiap kali mereka datang mengulurkan
tangan, Pur pun memberi tanpa menerima bayaran atau sekedar ucapan terima
kasih. Kadang tak ia sadari bahwa dengan hati ikhlas ia telah menyisihkan jatah
untuk manusia tak berakal sehat itu. Mereka adalah jiwa-jiwa yang tak terjamah
tangan para pembesar yang dermawan, luput dari perhatian para politisi, dan
jarang dimasukkan dalam daftar doa si pemuka agama. Hanya segelintir orang yang
menaruh peduli pada mereka.
“Surga...!”
Pur terhenyak mendengar
keputusan itu. Hatinya penuh syukur dan bahagia tak terperikan. Dugaan bahwa
Tuhan mungkin tak memperhitungkannya ternyata salah besar, malah Tuhan telah
menyediakan upah atas segala yang telah ia lakukan berupa jatah surgawi. Ke
sanalah Pur pergi, bergabung dengan jiwa-jiwa yang semasa hidup lurus dan jujur
jalannya.
Medan,
2017
CATATAN: *Mengacu
pada kisah tentang seorang janda di Sarfat dengan Nabi Elia yang tertulis dalam
Perjanjian Lama kitab 1 Raja-Raja pasal 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar