PATAH
Oleh
Dian Nangin
Setelah berjalan bersama
begitu jauh, bergandengan tangan melewati kerikil hingga batu besar yang
menghadang, menapaki jalan yang tak selalu mulus, ia meminta kami berhenti
tepat selangkah sebelum tiba di tujuan akhir. Tujuan akhir yang akan
mengantarkan kami pada awal yang baru. Ia memilih berbalik dan pergi. Mustahil
bagiku untuk melanjutkan perjalanan seorang diri, sebab perjalanan ini
diperuntukkan bagi dua orang.
Tanpa menoleh lagi, ia
meninggalkanku beserta sejumlah pekerjaan yang berat untuk dilakukan; menarik
ratusan undangan yang telah disebar, membatalkan segala rencana yang telah
disusun matang.
Tak lupa menguatkan mental untuk menghadapi komentar
orang-orang. Barangkali inilah mimpi terburuk yang pernah kualami kala terjaga.
Ponsel yang kulempar jauh dariku berkedip secara
berkala. Aku sudah tak menghitung berapa pesan yang masuk ke sana. Cukup lelah
aku menanggapi lautan simpati yang entah darimana saja datangnya. Seandainya
aku punya cangkang, ingin aku meringkuk di dalamnya tanpa niat untuk keluar
dalam waktu dekat. Masih terlalu pahit bagiku untuk membuka diri setelah gagal
mencecap kebahagiaan yang tinggal sejangkau lagi di hadapanku.
Namun, bagaimanapun
juga hidup harus berlanjut. Hari baru tiba dengan sebuah kesadaran bahwa aku
punya profesi yang menuntut untuk kutunaikan. Dunia profesional di negeri ini
tak pernah memberi excuse untuk orang
yang tengah patah hati. Padahal aku ingin tidur lebih lama dan baru bangun saat
aku sudah siap menghadapi semesta.
Aku bangkit dari tempat
tidur ketika sayup suara orang yang tengah bercakap-cakap menyentuh
pendengaranku. Siapa yang telah datang bertamu sepagi ini? Aroma tanah basah
menyeruak dari luar jendela. Semalaman hujan turun dan menyisakan gerimis di
pagi yang belum lagi seutuhnya terjaga.
Di ambang pintu aku
terpaku. Tampak lelaki itu di sana, duduk rikuh ditemani ibuku yang rautnya tak
kalah muram dengan cuaca di luar. Entah apa yang tengah ia sampaikan pada ibuku
dengan kepala tertunduk. Ah, wajah itu masih saja memunculkan kenangan yang
belum jauh berlalu. Kenangan yang kemudian mematahkan hatiku hingga menjadi
kepingan yang tak terhitung. Ia menoleh. Aku membeku. Dingin dari telapak
kakiku yang berpijak pada lantai mengirimkan gigil sampai ke hati.
Ibu bangkit,
meninggalkanku dengan sebuah isyarat agar aku duduk dan berbicara dengan lelaki
itu. Kuteguk teh sembari mengumpulkan kekuatan. Ada rasa asing yang
menyelimuti, seolah kami terpisah ribuan mil meski sekarang sedang duduk
berhadapan dan baru kemarin membuka simpul hubungan yang telah mengikat kami
selama empat tahun.
“Apa kabar?”
Rasanya aku ingin
tertawa sembari memaki demi mendengarnya bertanya. Setelah mengacaukan hatiku,
masih terpikir olehnya untuk menanyakan keadaanku? Tak adakah basa-basi lain
yang paling masuk akal untuk ditanyakan selain ‘apa kabar’?
“Baik.”
Rasanya ingin aku
mengutuk bibir ini, karena masih saja sanggup memberi jawaban yang berlawanan
dengan kondisiku yang sebenarnya. Aku
sekarat, bajingan! Itulah makna yang tersembunyi di balik kata ‘baik’ yang
seharusnya kuteriakkan tepat di depan hidungnya.
“Maaf. Aku sadar sudah
menyakitimu. Aku juga remuk,” sahutnya sembari menunjuk dada,” di dalam sini.”
“Kalau begitu kenapa?”
tanyaku. Ia pasti paham tanpa perlu kujelaskan lebih jauh. Luka itu masih cukup
basah untuk ia lihat sendiri.
Ia hanya membisu. Lama.
Entah sedang menyusun alasan lain, entah memang tak ingin menjawab. Sebab bila
ia menjawab, pasti akan terbit debat panjang seperti yang sudah-sudah.
“Apa ada wanita lain
yang mengisi hatimu? Kalau ya, katakan padaku siapa dia. Aku ingin mengucapkan
selamat. Cinta yang dia beri padamu pastilah lebih besar dari yang kau dapatkan
dariku.”
“Tidak,” dia menyangkal
cepat. “Tidak ada wanita lain.”
“Lalu apa?” cecarku.
“Kau tak yakin padaku? Setelah sekian lama?”
“Bukannya aku tak yakin
padamu. Aku hanya masih meragukan diriku sendiri,” sahutnya lirih, mengulang
jawabannya yang lalu. Namun rautnya datar. Tak tampak penyesalan atau kesedihan
di sana. Apa dia sudah begitu lihai menyembunyikan segala perasaannya? Ataukah...aku
yang kini tak lagi mampu membaca wajah itu?
“Aku tahu pernikahan
adalah satu ibadah yang mulia. Tapi niat yang mulia itu tak cukup didasari
cinta, tak baik pula diawali dengan keraguan,” katanya dengan sikap bijak yang
memuakkan.
Aku mendengus. Bagiku,
cinta adalah sebuah tombol panas. Ia adiktif dan melenakan. Kadang cinta juga
memilih berkhianat, membuat mereka yang mendewakannya jadi sinting.
“Aku akan menunggumu
sampai kau yakin,” kataku terbata, kaget mendengar kalimat itu terucap begitu
saja dari mulutku. Terang-terangan mengungkapkan betapa aku masih mendamba
dirinya.
“Kau hanya akan
membuang waktumu.”
“Tak mengapa,” sahutku
bersikeras.
“Jangan keras kepala.”
“Kau tega!!” Aku
meledak. Ia telah menekan tombol panas itu tepat pada momen kritis yang melumpuhkanku.
Tak ada upaya apapun yang ia lakukan untuk menyembuhkanku, tak juga kata maaf
sebab ia tak lagi manjur.
Kedatangannya pagi ini
menjadi penegas perpisahan karena ia berkata akan pergi jauh ke tempat yang tak
lagi berhak untuk kuketahui.
“Dulu aku memintamu
baik-baik. Sekarang aku ingin melepasmu baik-baik. Aku pamit,” katanya. Ia
menjabat tanganku sepintas dan berlalu begitu saja.
Ia telah berpakaian
teramat rapi, bersepatu, lengkap dengan aroma parfum yang kukenal baik. Ia
sungguh akan pergi rupanya. Meninggalkanku dengan tampilan baru bangun tidur
dan tanpa antisipasi. Aku tak ingin ia pergi, namun kakiku tak juga bergerak
untuk menahannya. Hanya bisa kupuaskan mataku memandang buram punggungnya dari
balik pintu kaca yang basah oleh gerimis.
Namun walau demikian
aku tak memilih mengambil tindakan huru-hara untuk menunjukkan kalau hatiku
tengah terluka. *Aku tidak ingin menjerit-jerit, berteriak-teriak. Mengamuk,
memecahkan cermin, membakar tempat tidur. Aku hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pagi ini.* Menyeret
langkah-langkah lambat di bawah rinai yang melayang bersama daun-daun berguguran.
Bersama satu kesadaran
yang perlahan merayap, aku membuka pintu dan menyusulnya. Ia sudah berada di
luar gerbang. Di bawah rintik hujan yang membasahi rambutku, kuikuti jejaknya.
Aku menunggu toleh kepalanya yang tak kunjung kudapatkan walau sekali saja, tak
peduli seberapa lama aku menunggu. Hingga ia menghilang di belokan jalan.
Medan,
2017
Keterangan:
*Petikan
puisi Sapardi Djoko Darmono dengan judul ‘Pada Suatu Pagi Hari’. Puisi telah
diedit oleh penulis semata demi kepentingan cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar