![]() |
ilustrasi oleh Renjaya Siahaan |
DUA
KEKASIH
Oleh
Dian Nangin
Aku sedang sekarat—hidupku
rasanya sudah di ambang batas. Seakan dapat kulihat malaikat maut tengah
tersenyum manis padaku sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa
tergeletak di lantai. Kepalaku berada di pelukan seorang perempuan.
Perempuanku. Wajahnya pias demi melihatku tak berdaya. Ia hanya bisa kutatap di
antara celah sempit kelopak mataku yang nyaris menutup. Kulewati menit demi
menit sambil menghitung dalam hati, memperkirakan berapa lama lagi aku sanggup
bertahan.
Tak sabar menunggu,
perempuanku mondar-mandir di jendela sambil bersedekap. Matanya nyalang
mengawasi jalanan. Bersiap menyambut cinta pertamaku yang sudah ia minta untuk
segera datang.
Dulu, perempuanku ini sungguh
bebal. Ia datang ketika satu-satunya hati milikku telah jatuh pada cinta pertama
yang menjerat begitu kuat. Ia hadir, tanpa ragu mengutarakan perasaan dan kesungguhan
hasratnya ingin menggenggam hatiku.
“Aku sudah ada yang memiliki,” tuturku jujur
waktu itu, meski sudut hati kecilku tak ingin melewatkan perempuan secantik dia.
“Aku
tidak bertanya kau sudah ada yang punya atau tidak. Yang ingin kutahu adalah
jawabanmu, ya atau tidak!”
Selain bebal, ternyata ia
juga bernyali besar.
Cukup lama aku berpikir
dan menimbang. Aku telah menjalin hubungan dengan cinta pertamaku
bertahun-tahun. Lalu perempuan ini hadir menawarkan penyegaran. Kurasa, tak ada
ruginya aku menjalani hubungan lain dengannya. Kehadirannya malah memberiku
keuntungan. Ya, keuntungan untuk bersenang-senang, apalagi?!
Begitulah. Ia
melemparkan diri ke pelukanku, lengkap dengan deklarasi bahwa segala rupa luka
dan penyesalan siap ia tanggung sendiri. Diam-diam aku kagum akan ketabahannya.
Ketika aku sedang bercumbu bersama cinta pertamaku, ia bahkan sabar menanti
giliran. Sabar menungguku memuaskan diri sebelum kemudian berbalik dan
memberinya perhatian yang sama besar.
Barangkali aku lelaki
paling beruntung yang pernah ada. Mana ada perempuan yang rela menyerahkan
dirinya utuh pada seorang lelaki, sementara lelaki itu punya cinta lain yang
takkan pernah ia tinggalkan?
Namun suatu hari aku
tersadar, seolah kepalaku telah diketuk palu agar siuman dari permainan yang
melenakan. Seperti maling yang menyadari bahwa mencuri tidaklah terpuji.
“Apa alasanmu mencintaiku?” tanyaku pada suatu
siang yang teduh dan tenang. Aku tak dapat menunggu waktu yang lebih tepat lagi
untuk mengetahui kebenaran isi hatinya, lalu mengungkapkan apa yang ada dalam
hati dan kepalaku.
“Kau
benar-benar ingin mendengarkan sebuah alasan?” ia balik bertanya.
“Ya.
Tanpa alasan yang kuat, kau takkan bertahan denganku sejauh ini.”
“Aku
hanya...jatuh hati. Padamu. Itu saja.”
Kuaduk
gumpalan rambutku yang ikal gondrong. Kepalaku pusing. Kebersamaan kami selama
ini telah semakin menguatkan perasaannya, sementara aku merasakan sebaliknya—aku
cuma bersenang-senang. Bersamaku ia hanya membuang-buang waktu. Sedangkan aku
bahkan tidak yakin dengan masa depanku sendiri.
“Bersamamu
aku tak takut menjalani ketidakpastian,” ia menanggapiku dengan yakin.
Aku
menggeleng. Lirih, kuujarkan sebuah kalimat klise. “Kau terlalu sempurna. Aku
yang tak pantas untukmu.”
“Basi!”
teriaknya tak terima. Baru kali ini kulihat ia menumpahkan kemarahan yang
selama ini tak pernah tampak.
“Sungguh.
Bersamaku lebih lama hanya akan membuatmu rusak lebih jauh.”
“Kalau
begitu jangan merusakku. Jangan siakan aku,” ujarnya ketus.
Tetap
bersamaku ataupun memaksanya menjauh adalah dua hal yang sama pahit baginya. Aku
berakhir dengan mulut bungkam.
“Mengapa bukan dia yang
kamu usir pergi? Kenapa harus aku?” ia menantangku.
Aku dan cinta pertamaku
telah memutuskan dari jauh-jauh hari bahwa kami akan mengarungi hidup bersama.
Tanpa perlu pengesahan ikrar janji sehidup semati, kami sepakat melangkah
menuju keabadian.
“Aku juga bisa membuatmu lebih baik,” ujarnya,
separuh meyakinkan separuh mendesak.
Seharusnya
sudah kuperhitungkan hal ini sejak awal, bahwa perempuan ini akan menuntut.
Menuntutku untuk memilih. Sebenarnya bukan hanya sekali dua aku pernah berpikir
untuk meninggalkan cinta pertamaku. Namun, saat aku mencoba tegar dengan
berpikir bahwa dunia tak akan berhenti berputar hanya karena kami tak lagi
bersama, saat itu pulalah aku diserang sebuah melankoli bahwa aku tak sanggup
melewatkan hari tanpanya. Tanpa tubuhku dalam dekapannya.
Lalu aku memutuskan
kembali padanya. Sebab, cinta pertama bagiku adalah candu paling fanatik.
Adiktif. Berpisah darinya berarti aku membunuh diri sendiri. “Maaf, aku masih
membutuhkannya.”
Aku
tahu perempuan ini kecewa dan terluka, entah untuk kali keberapa.
***
Sekalipun aku dan perempuan
ini dalam beberapa waktu belakangan saling menyakiti dengan kata-kata dan
keadaan, namun entah kenapa kami seakan terikat. Lihatlah, dengan gugup bercampur harap dia menunggu sesuatu yang akan
merobek hatinya. Ia sibak gorden tiap kali mendengar deru kendaraan mendekat.
Bibirku menumpahkan
seribu raungan sementara tubuhku bergulat dengan sejuta kecamuk rasa sakit
paling gila yang tak tergambarkan kalimat. Barangkali inilah hadiah atas
ketidakmampuanku untuk memilih, akibat dari ketidakberdayaanku mengambil
keputusan terbaik. Walau kini terbersit keinginan untuk membenahi segala yang
porak-poranda, menyembuhkan berlusin luka, dan membuat awal yang baru sebab tak
mungkin aku kembali ke masa lalu, namun semua telah terlambat. Kesempatan kedua
bagiku hanya mimpi. Akhirku telah tiba. Aku melihatnya bergerak mendekat,
dengan seringai lebar sarat kemenangan.
Wajah pias perempuanku
berubah lega setelah cinta pertamaku datang—sekian hari sudah kami tidak
bertemu dan aku sudah sekarat karenanya. Seorang kurir atau apapun namanya,
memastikan ia tiba dengan keselamatan utuh. Perempuanku menerima dengan tergesa,
lantas berlari mendapatkanku.
“Ini cintamu,” ucapnya terbata,
antara pasrah dan tak rela.
Namun,
aku sudah tak mampu bergerak. Seluruh tenagaku yang tinggal secuil bercokol di
tenggorokan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Ingin kuucapkan terima kasih pada
perempuan ini karena telah setia di sisiku walau ia tahu betapa busuk
perangaiku. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
Perempuanku juga tak
menaruh perhatian sebab ia terlalu sibuk menarik laci dan merobek plastik
pembungkus sebuah benda berujung runcing yang kutahu sangat ia takuti sewaktu
masih kanak-kanak. Namun kini kemampuannya sudah terlatih setelah berulang kali
berjuang menyingkirkan ketakutannya, sebab ia lebih takut kehilanganku. Tapi
aku sudah tak dapat lagi merasakan apapun, bahkan ketika ujung jarum menusuk
kulit dan menyebarkan sekian cc zat terlarang namun amat kucintai ke pembuluh
darahku.
“Bertahanlah!”
perempuan itu memukuli dadaku. Cinta menggenangi telaga matanya hingga tumpah
meluber. “Jangan takluk, pengecut!”
Di
jeda kesadaranku, kulihat matanya memantulkan rasa sakit dua kali lebih besar
dari yang kuderita. Matanya yang dulu ibarat cermin yang jernih, kini penuh
gores dan retakan. Di sisa akal sehat di kepala, aku akhirnya menyadari mana
yang lebih berharga. Seharusnya aku tak pernah berkenalan dengan cinta pertama
ini.
Tak ada hal lain yang
ingin kulakukan sekarang kecuali mengecup perempuanku ini untuk kali terakhir, mengisap
habis segala cinta yang dengan sukarela dipersembahkannya di baki yang teramat
rapuh; hati. Ingin kubawa kehangatannya bersamaku ketika dingin paling ngilu
dan menggigilkan datang, lalu merenggutku. Tapi, tak ada negosiasi. Aku diseret
pergi tanpa diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Medan,
2016-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar