Dok. Pribadi |
PEKERJAAN
SAMPINGAN BAGI PECERPEN
Oleh
Dian Nangin
Aku hampir tertidur
kalau saja ceret di atas kompor tidak bersiul nyaring dan memulihkan kembali
kesadaranku. Dengan malas aku bangkit dari kursi bambu dan menyeret kaki menuju
dapur. Kuseduh kopi untukku sendiri. Bersama cangkir yang mengepulkan uap, aku
berjalan menuju pintu depan dan melayangkan pandang. Tak tampak seorangpun
sejauh jangkauan mata.
Hampir dua minggu kedai
kopi tempatku bekerja sepi pengunjung. Padahal dulu, aku berpikir bahwa salah
satu pekerjaan sampingan paling sempurna untuk seorang penulis cerpen adalah dengan
menjadi pegawai kedai kopi. Atau, mungkin kebalikannya. Pekerjaan sampingan
seorang pegawai kedai kopi sebaiknya adalah penulis cerpen. Kedua pekerjaan itu
saling melengkapi satu sama lain.
Mungkin
tidak ada teori yang mendukung kalimat di atas, murni pengamatan dan
pengalamanku belaka. Namun,
bukankah pengalaman di lapangan kadang lebih
menentukan ketimbang sekedar teori?
Sejujurnya, bekerja
sebagai pegawai kedai kopi awalnya tak ada niat untuk hal lain kecuali untuk
memperoleh tambahan uang. Sudah menjadi rahasia khalayak bahwa hidup dengan
mengandalkan honor cerpen saja adalah sebuah lelucon, maka aku—mau tak
mau—mencari pekerjaan sampingan. Dan, tampaknya tak akan ada yang mau
memperkerjakan seorang lelaki yang hampir lima tahun menggeluti dunia fiksi tanpa ijazah sarjana
dan tanpa pengalaman kerja apapun. Mereka—orang-orang yang tak pernah paham
tentang bidang ini—menilaiku tak lebih dari seorang pemalas karena hanya
bergelut dengan kertas-kertas, buku, dan tumpukan kata dalam kepala.
Aku juga tak punya
banyak pengetahuan tentang seluk beluk minuman serbuk berwarna cokelat
kehitaman itu. Hanya kedai kopi di persimpangan menuju empat desa ini yang mau
menerimaku. Kopi hasil ramuanku itu tidaklah begitu mengagumkan, tapi
setidaknya orang-orang masih sanggup menelannya dan sejauh ini belum ada
keluhan maupun tuntutan.
Dan....setelah beberapa
hari menjalani pekerjaan itu, aku seolah dihujani ilham. Sembari meramu air
mendidih bersama kopi, gula, dan kadang susu, telingaku tegak demi menampung
beragam cerita dari mulut-mulut pengunjung yang tak henti berceloteh.
Mulut-mulut yang menjelma peti harta karun bila aku cermat mendengar.
Agaknya perlu
kusampaikan bahwa aku adalah tipe pecerpen yang tak begitu piawai berimajinasi.
Tak juga pintar menerjemahkan kegelisahan yang menggerogoti jiwa. Namun aku
amat suka bermain dengan kata-kata begitu satu dua potong ilham hinggap di
kepala. Sebut aku manusia oportunis karena memposisikan diri pada kondisi yang
menguntungkan. Tapi itu sah-sah saja, bukan?
Nah,
demikianlah alasan mengapa aku menganggap bahwa bekerja di kedai kopi cukup
sempurna untuk pecerpen. Tapi sebaiknya jangan menjadi pemilik. Cukup menjadi
pegawai saja. Bila posisiku sebagai pemilik, bisa jadi konsentrasiku
diinterupsi dengan diajak duduk bersama dan terlibat dalam percakapan, meladeni
perbincangan orang-orang yang kukenal hingga telingaku tak bisa mendengar
dengan teliti pembicaraan kelompok pengunjung lain. Sedangkan dengan menjadi
pegawai, aku harus terus sibuk tanpa ada kesempatan untuk leyeh-leyeh sejenak. Lagipula, bukankah pegawai yang baik adalah
pegawai yang selalu tampak sibuk di mata bosnya?
Namun,
tentu untuk menjalani dua pekerjaan ini, aku harus memelihara dua konsentrasi
yang sama tinggi. Konsentrasi yang pertama untuk melakoni pekerjaan meramu
minuman dan menghidangkannya, sedangkan konsentrasi yang kedua adalah untuk
mendengar celotehan setiap bibir.
Profesi
ini menawarkan kesempatan untuk bertemu banyak orang. Mungkin ada banyak titik
keramaian lain yang bisa didatangi, namun mereka yang singgah ke kedai bukan
sekedar orang yang sepintas lalu berpapasan denganku. Lebih dari itu. Pengunjung
kedai minum biasanya tinggal untuk beberapa lama—berbeda dengan pengunjung toko
pakaian atau toko elektronik. Aku menerima banyak sikap, melihat sejumlah
reaksi, dan sedikit banyak mempelajari sifat. Mereka menawarkan calon tokoh dan
latar yang nyaris tak terhingga sebab mereka membawa cerita dari banyak tempat
dan waktu.
Kedai
kopi adalah sumur cerita yang selalu meluap, meluber. Namun tentu bisa dikatakan
demikian bila kedai ramai pengunjung. Bila tidak, aku akan berakhir beradu
tatap dengan gelas yang menganggur, butiran gula serta bubuk kopi yang rindu
diseduh.
***
Suatu hari datanglah
situasi seperti yang kusebutkan di atas; sebuah keanehan. Aku tidak tahu apakah
hal serupa juga terjadi kedai-kedai kopi di luar sana. Setelah hari-hari penuh
kejayaan dan usaha kedai kopi ini meraup untung yang sangat besar, tiba saat
ketika semua itu berbalik seratus delapan puluh derajat.
Ketika itu kedai ramai
pengunjung seperti biasa. Aku tak menemukan sesuatu yang ganjil, hingga di
sela-sela kesibukan aku menyadari bahwa mereka semua berlaku bak patung. Diam,
kaku, dan dingin. Mereka menyesap isi cangkir masing-masing dalam hening. Aku
berusaha membuat bunyi-bunyian, namun tak ada yang menoleh atau memberi
perhatian. Tak seorangpun terdistraksi.
Keadaan ini berlangsung
sekian lama, hingga akhirnya keramaian itu perlahan surut. Pelanggan kedai
menghilang satu persatu, tak berkunjung lagi, tak kutahu rimbanya. Omset kedai
perlahan menyusut. Di luar ekspektasi. Kedai kopi yang selama ini kuanggap
sebagai sumur cerita yang kujadikan sumber ide alternatif bagiku kini kering.
Kedai kopi memasuki masa kelam ketika hari
demi hari berlalu tanpa seorang pun pengunjung, tak peduli aku menunggu hingga
dini hari. Tak ada apapun lagi yang bisa kulakukan, sebab segala hal yang mungkin
untuk kukerjakan telah kuselesaikan. Seantero kedai bersama segala perkakasnya
telah bersih. Pekarangan kembali indah setelah segala jenis rumput dan gulma
kusingkirkan. Akhirnya aku benar-benar beradu tatap dengan gelas yang
menganggur serta toples-toples berisi bubuk kopi yang isinya tak pernah lagi
berkurang sejak kedai ini kehilangan pelanggannya.
Sekian lama bergantung
pada kisah-kisah yang meluap dari bibir para pengunjung kedai, sekarang aku
mati kutu, mati langkah. Aku butuh ilham penyegar. Maka aku memilih bertahan
kendati pemilik kedai selaku bosku telah putus asa dan berniat menutup usaha
ini. Kupelihara harapan hari demi hari, berdoa semoga semua ini akan berlalu
dan masa-masa kejayaan itu kembali datang.
***
Kusesap kopi yang telah
dingin seiring waktu bergulir. Aku baru menelan satu teguk ketika dari jauh
tampak pergerakan sesosok manusia. Aku memicingkan mata dan serta merta
bersemangat ketika ia tampak datang menuju kedai.
Seiring langkah lelaki tersebut melangkah ke
arah kedai, aku sibuk memutar otak, memikirkan cara bagaimana aku bisa mengorek
cerita darinya. Aku tak ingin—tak boleh melewatkan kesempatan ini. Sudah sangat
lama aktivitas menulisku mandek sejak kepalaku ikut kerontang sejak sumur ide
ini mengering. Maka kupasang senyum paling ramah dan wajah bersahabat ketika
pengunjung itu datang mendekat.
Namun harapanku langsung
buyar ketika si pengunjung tersebut memesan secangkir kopi pahit dengan suara
pelan nyaris lirih. Aku baru akan bertanya ulang ketika ia menunjuk sebaris
nama pada buku menu. Lalu ia melangkah menuju meja di sudut ruang. Bahkan
langkah kakinya pun senyap, padahal aku telah memperhatikan baik-baik bahwa
kakinya masih menjejak bumi. Ia bukan hantu, bukan pula makhluk jadi-jadian.
Aku berpikir lebih
keras, berusaha menemukan cara paling jitu agar aku memperoleh ilham dari
kedatangannya. Sembari meramu secangkir kopi, dua suara dalam benakku berdebat,
apa sebaiknya aku mencampur kopi pesanannya dengan beberapa tetes sianida?
Medan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar