![]() |
ilustrasi oleh Harian Analisa |
HITAM
PUTIH
Oleh
Dian Nangin
Pintu berderit kencang dan
menghantam dinding setelah dibuka dengan sembrono oleh Ayu, pacarku. Terpaksa
kuhentikan gerakan tanganku pada tuts piano yang tengah memainkan sebuah lagu yang
baru separuh jalan.
Ayu duduk di sebelahku
dengan nafas terengah-engah. Titik-titik keringat membuat anak-anak rambut
menempel di sisi-sisi wajahnya.
“Kenapa lagi?” Ini
bukan kali pertama aku menghadapi Ayu dengan mood yang sedang berantakan.
“Kacau!” katanya sambil
menghembus nafas kencang. “Tiga jam sudah rapat dilakukan, tapi sampai sekarang
konsep perayaan hari guru belum diputuskan.”
“Kenapa begitu?”
sahutku.
“Menyebalkan.
Teman-teman punya pendapat yang beda-beda. Dan, parahnya lagi, semua bersikeras
bahwa pendapat mereka paling bagus. Susah untuk menyatukan suara,” jawabnya
dengan wajah merengut. “Aku memutuskan untuk break sebentar.”
Benakku berusaha
merangkai kata yang tepat untuk menghiburnya. Kalau tidak, bisa jadi mood-nya kacau berkepanjangan dan aku
berakhir sebagai pendengar sepanjang sisa hari ini.
“Mungkin
lebih baik hidup ini dua warna saja. Hitam putih. Kayak ini...” katanya dengan
tangan terulur menekan-nekan tuts piano secara acak hingga terdengar nada-nada
sumbang.
Aku
menarik nafas panjang sembari membetulkan letak kacamataku. “Walau hitam putih
juga bukan berarti nggak ada
keberagaman.”
“Maksudnya?”
“Kamu
bilang hidup lebih baik dua warna kayak tuts piano ini. Tapi ia juga punya
tujuh nada hingga beberapa oktaf. Kalau piano cuma punya satu atau dua nada,
pasti nggak enak dimainkan dan didengar. Musik dan lagu yang dihasilkan juga
nggak akan bagus.”
“Aku
nggak mengerti main piano.”
“Kadang
kamu nggak dituntut untuk mahir bermain. Sekedar bisa menikmati saja sudah
cukup.”
“Aku
juga nggak tahu cara menikmati,” sahutnya datar.
“Yah,
belajarlah menikmati,” jawabku dengan kesabaran yang terjaga.
“Kalau
aku nggak ingin belajar?”
“Sayang. Sangat
disayangkan. Hidup ini cuma sekali dan berlalu begitu saja tanpa kamu menikmati
sebuah perbedaan.”
Aku merasa heran dalam
hati. Entah apa yang dulu membuat aku jatuh cinta pada gadis berambut panjang
dengan lesung pipi ini. Tak banyak persamaan yang kami miliki. Aku pecinta
musik klasik dan bercita-cita menjadi pianis handal, namun ia sendiri jarang
mendengarkan permainan pianoku. Bikin ngantuk, katanya.
Sementara
ia sangat gemar dan pintar beroganisasi. Tahun lalu ia terpilih sebagai ketua
osis dengan kemenangan mutlak. Guru-guru menyenanginya dan prestasi belajarnya
tak juga menurun walau ia juga disibukkan segudang kegiatan lain di luar kelas.
Ia mudah membaur dan dikenal hampir seluruh penghuni sekolah. Sedikit berbeda
denganku yang lebih suka mengurung diri di ruang musik, jadi aku bisa
konsentrasi melatih kemampuanku.
“Sudah, balik ke
ruangan sana! Teman-teman yang lain pasti sudah menunggumu,” ujarku sambil menepuk
punggungnya. “Jangan sampai hal-hal kecil kayak perbedaan pendapat memecah
kebersamaan. Sebagai ketua osis, tentu kamu bisa menjadi penengah. Terlebih
lagi ini menyangkut perayaan hari guru—teman-teman semua tentu ingin memberi ide
yang terbaik dan maksimal. Kamu pasti
bisa mengambil keputusan yang bijak. Kan katanya mau jadi pemimpin yang
baiikkk...”
Ayu
menghadiahiku senyum tipis. Aku yakin perasaannya sudah lebih baik, walau mungkin
rasa kesal yang menggerogoti hatinya belum sepenuhnya sirna.
“Oke. Sori kalau aku
udah ganggu. Kamu juga terusin latihannya. Katanya mau jadi pianis hebaaat...”
ia beranjak dengan langkah ringan.
Aku
tersenyum mengiringinya keluar ruangan. Sebuah pemahaman hinggap di benakku.
Mungkin tidak banyak persamaan di antara aku dan Ayu, namun sikap kami yang
saling mendukung untuk hal-hal positif yang ingin masing-masing kami lakukan
telah menjadi perekat dua hati kami hingga kini.
Ketika pintu telah
tertutup, jemariku kembali menari di atas hitam putih tuts piano, menyelesaikan
lagu yang tadi belum usai.
Medan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar