![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
TABIAT
Oleh
Dian Nangin
Dulu aku tak
paham mengapa ibuku suka cemberut dan berwajah masam bila ayah berlama-lama di
kedai kopi. Dan berkali-kali. Aksi cemberut itu kemudian diikuti sikap marah dalam diam dengan meninggalkan bantal
(dan seringkali tanpa selimut) di sofa ruang tamu, lalu ia mengurung diri di
kamar dan tidur sendirian.
Tinggallah ayah dengan
‘hadiah’ yang menyambutnya di sofa kala pulang. Ia memilih untuk tidak
repot-repot mendinginkan hati ibu yang sedang panas dengan mengakui
kesalahannya, malah menganggap itu sebagai konsekuensi yang setimpal atas
kesenangan yang ia peroleh di kedai kopi. Perangai itu memicu pertengkaran
lebih dalam lagi, sebab, ibu semakin merajuk karena tak dibujuk dan ayah tak
juga meminta maaf.
Sewaktu
masih kecil, ayah cukup sering membawaku ke kedai kopi. Bukan aku
yang meminta
untuk ikut, tapi itu dilakukan ayah semata demi meredam omelan ibuku yang
selalu mengeluhkan perangai suaminya yang tak bisa menjaga anak barang sebentar
sementara ia sibuk melakukan pekerjaan rumah.
Ayah
tak pernah lupa pergi ke kedai kopi, tiga kali sehari. Pada pagi hari, secangkir
teh susu dan setangkup roti sudah lebih dari cukup baginya untuk melewatkan
sarapan buatan istrinya. Lalu secangkir kopi sebagai pelengkap makan siang
singkat di rumah yang seringkali diakhiri dengan tergesa-gesa, seolah istrinya
tak tahu cara menyeduh bubuk coklat kehitaman itu. Dan bergelas-gelas teh
manis, kopi susu, dan entah minuman apa lagi kala malam yang membuatnya baru ingat
pulang ke rumah setelah waktu menunjukkan batas larut.
Lambat
laun, seiring usia yang terus menanjak, ibu melarang ayah membawaku serta. Tak
baik dan tak sepantasnya anak perempuan selalu mengekor ayahnya ke kedai kopi,
kata ibu. Namun ia tak pernah berhasil menghentikan tabiat ayah untuk pergi ke
tempat para lelaki berkumpul itu. Tinggallah aku yang lalu merengek ingin ikut
sebab pergi ke kedai kopi dan menikmati segelas susu beserta beragam penganan
telah menjadi kebiasaan yang mengasyikkan.
***
Dua
puluh tahun kemudian, baru aku memahami ibuku lewat lelucon yang sesungguhnya
tak lucu. Lelucon yang dihadiahkan hidup padaku. Aku jatuh cinta pada
seorang....pemilik kedai kopi!
Tak pernah ada yang
tahu bagaimana cinta bekerja, sebab ia mudah sekali membius dan membuat
kepayang. Awalnya, aku tak keberatan sekalipun lelaki itu hanya memiliki sebuah
kedai kopi yang telah ia rintis seusai menamatkan SMA. Walau tak memilih
pendidikan tinggi, namun ia mengejar cita-cita dengan sungguh. Di mataku, ia
merupakan lelaki gigih dengan idealisme sendiri dan tak ia izinkan seorang pun
merusaknya.
Melihat kedai tempat
usahanya berjalan menguak kembali kenangan masa kanak-kanak yang terlipat rapi
dalam sudut ingatanku. Aku ingat dulu pernah ikut berbaur dengan kelompok lelaki
di bangku-bangku kayu yang panjang itu, terselip di tengah sosok-sosok bertubuh
besar. Terlupakan di antara serunya perbincangan para lelaki bersuara berat dan
dalam, tapi tak mengapa sebab aku juga sibuk dengan gelas susu dan kue-kue di
hadapanku.
Namun lalu logika
datang menghampiri, menerbitkan keraguan dalam benak, sebab teringat pada ibuku
betapa dulu ia pernah merana karena ayah begitu gemar menghabiskan waktu di
tempat seperti ini. Keraguan lain adalah apakah mungkin nanti kami bisa terus
bergantung pada usaha ini di tengah gempuran usaha lain yang lebih modern dan
kekinian?
“Selama
manusia berjenis kelamin lelaki masih eksis di muka bumi ini, tempat bernama
kedai kopi tak akan mati,” ujarnya meyakinkanku. “Sebenarnya, nyaris tak pernah
ada orang yang betul-betul kehausan yang datang ke kedai kopi. Kopi hanyalah
perantara yang digunakan untuk berbincang-bincang, sementara kedai adalah
wahananya. Medianya.”
Aku
hanya manggut-manggut, namun jauh dalam sudut hati aku setuju dengannya.
Sesungguhnya tak ada yang salah dengan profesi ini. Perihal penilaian baik atau
buruknya tempat ini tergantung bagaimana mereka, para pengunjung, bersikap dan
memperlakukan waktu mereka. Bagaimanapun juga, membuka kedai kopi merupakan
salah satu ladang usaha yang dapat diandalkan untuk mengarungi hidup selama
dijalankan dengan upaya maksimal.
Begitulah, aku berakhir
dalam rengkuhannya. Tak ada penyesalan sebab ia lelaki yang ulet. Sesungguhnya
ia mampu—bahkan lebih—untuk memenuhi segala kebutuhan kami walau aku tak ikut
bekerja. Namun aku tak sanggup hanya berdiam diri, dan lagipula aku tak begitu
suka terlibat dalam urusan kedai kopi, aku memilih sebuah pekerjaan yang sesuai
dengan minat dan pendidikan yang telah kutempuh. Pun, lelakiku tak keberatan,
maka kami asyik dengan kesibukan masing-masing.
Namun, setelah beberapa
waktu berlalu, baru aku menyadari ada konsekuensi lain yang harus kutanggung
demi menikahi seorang lelaki pemilik kedai kopi. Konsekuensi itu tak lain tak
bukan adalah gangguan ketenangan yang berasal dari riuh perbincangan atau gelak
tawa para pengunjung. Kondisi bangunan yang bertingkat dua tak juga
menghindarkanku dari kebisingan itu walau rumah tinggal terpisah dari kedai
kopi yang berada di lantai satu. Suara mereka yang dalam dan besar itu selalu
berhasil menerobos ke atas, mengganggu malam-malamku.
Seperti malam ini. Sorakan-sorakan
kencang membangunkanku dari tidur yang belum juga lelap. Dengan malas aku
membuka mata dan mencoba menyesuaikan penglihatan dengan keadaan kamar yang
remang. Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas lewat seperempat. Dalam hati
aku mengeluh. Setelah beberapa lama menjalankan usaha kedai kopi membuatku
fasih membaca keadaan dan demi mendengar kehebohan di bawah sana, aku
memprediksi kalau pengunjung tak akan kurang dari dua puluh orang.
Dari puncak tangga aku mencuri lihat. Benar
dugaku, hampir tiga puluh lelaki mengerubungi televisi layar datar berukuran
besar yang bercokol di dinding. Sebuah pertandingan sepakbola tampak di layar.
Mata para lelaki itu lekat terpancang mengikuti pergerakan benda bundar yang
berpindah cepat dari satu kaki ke kaki pemain lain. Nafas mereka tertahan
seolah hidup mereka esok hari bergantung pada berapa banyak gol yang akan
diciptakan oleh kesebelasan yang mereka dukung.
Di sisi lain kulihat tumpukan
kartu di meja-meja, kubus dadu, sampah kulit kacang berserakan, serta
ampas-ampas kopi di dasar gelas. Lebih dari itu semua, walau tak tersintesa
persis di pelupuk mata, dapat kulihat istri-istri dan gadis-gadis kekasih para
lelaki muda yang malam ini terabaikan. Kesepian dan tidur sendirian.
Medan, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar