![]() |
ilustrasi oleh Harian Medan Bisnis |
SATU
HAL KECIL
Oleh
Dian Nangin
Malam yang sudah
jauh merangkak seharusnya membungkusku dengan keheningan. Seharusnya. Namun
semua buyar ketika salah satu kamar rumah tetangga sebelah kembali menyalakan
lampu dan kemudian terdengarlah teriakan-teriakan itu.
Ingin rasanya aku
melempar jendela mereka dengan gelasku yang berisi endapan ampas kopi. Cairan
hitamnya sudah habis kuteguk sebagai amunisi untuk mengarungi malam dengan setumpuk
naskah yang harus kuedit. Sekarang aku nyaris frustasi karena tak bisa melanjutkan
pekerjaanku, tapi juga tak bisa pergi tidur karena kafein dari segelas kopi barusan
telah membuat kedua mata ini tetap nyalang, tak mau terpejam.
Seminggu
sudah aku menghuni rumah ini setelah mengidamkannya sejak lama. Kurelakan
delapan puluh persen tabunganku melayang demi sebuah bangunan di kompleks yang
harusnya tenang ini, ditopang sokongan orang tuaku dan bantuan sukarela dari
kekasihku yang telah bekerja di luar kota.
Aku
bersyukur bisa memiliki tempat yang nyaman dan akan mendukung penuh pekerjaanku
sebagai editor naskah fiksi, yang sesekali juga menulis. Namun, aku tidak minta
‘bonus’ berupa kegaduhan ini.
Awalnya
teriakan-teriakan itu hanya terdengar di pagi atau siang hari, namun kini
mereka sudah keterlaluan. Aku heran, bagaimana bisa para tetangga tidak pernah
mengeluhkan keributan yang makin hari makin menjadi itu?