![]() | |
ilustrasi oleh Harian Analisa |
PEREMPUAN-PEREMPUAN
DI KAKI GUNUNG
Oleh
Dian Nangin
Cukup sepotong
kokok pertama ayam yang bertengger di dahan jambu belakang rumah sebagai alarm pagi dan perempuan itu spontan
terjaga. Ia tak lantas bangkit karena pergerakannya barusan membangunkan anak
balitanya dan ia harus menepuk-nepuk punggung si anak agar kembali terlelap.
Pagi masih begitu muda untuknya, belum saatnya ia bangun. Setelah si anak
tenang dan kembali tidur, baru perempuan itu bangkit dan menjaga bunyi langkah
kakinya ketika keluar bilik kecil itu.
Pintu belakang
mengeluarkan suara derit yang kentara ketika dibuka. Serta merta segenggam abu
tumpah menyiram wajahnya. Perempuan itu terbatuk-batuk sambil mengibaskan
tangan. Dalam kegelapan ia menoleh dan mendongak jauh ke atas, ke arah yang selalu
akrab di matanya. Batinnya berkata pasti gunung api di arah selatan itu meletus
lagi tadi malam. Entah pukul berapa, entah untuk kali ke berapa.
Sambil bersedekap, ia
melangkah keluar. Daster tipis dan lilitan sarung di pinggangnya tidak cukup
hangat untuk mengusir dingin. Tapi, bagaimanapun, ia harus menunaikan tugasnya
pagi ini. Ia menuju ke tumpukan kayu bakar di sisi rumah dan mengambil
beberapa. Segera ia menyusunnya di tungku dan menyalakan api. Nasi ditanak dan
air ditanggar. Ia berjinjit meraba bagian atas lemari usangnya dan menarik
bungkusan plastik. Ia mengeluh ketika memeriksa isinya, mendapati satu dari
lima ikan asin kering yang dihematnya minggu ini telah raib. Pasti tikus yang
selalu menjajah lemarinya beraksi lagi. Kelengahan selalu menyisakan kerugian,
turut pula penyesalan.
Ia kembali keluar
rumah. Tanpa bantuan cahaya, perempuan itu merangkak-rangkak di bawah pohon
jambu dan meraba sangkar ayam peliharaannya. Setelah beberapa kali menyentuh
kotoran unggas itu, barulah ia mendapati tiga butir telur yang tergeletak
berdekatan. Perempuan itu tersenyum. Walau tidak begitu mewah, namun ia
bersyukur masih mampu mengisi lambung anak-anaknya hari ini. Ia lantas memasak lauk dengan gegas.
***
“Kami pergi sekolah,
Mak.”
Dua kepala bocah
melongok di ambang pintu belakang. Mereka mendapati sang ibu tengah mencuci
perkakas dapur di luar.
“Sarapan kalian sudah
dihabiskan?”
Kedua bocah tersebut
mengangguk berbarengan. Perempuan itu tergopoh-gopoh bangkit sambil
menggosok-gosokkan tangannya yang basah ke dasternya. Kening dua putranya
dicium bergantian—kebiasaan tanda cinta yang tak pernah terlewatkan. Ah, perempuan
itu sendiri tengah berjuang agar tidak kehilangan cinta untuk anak-anaknya, untuk
suaminya, pun untuk dirinya sendiri. Situasi sulit begitu mudah mengenyahkan
semangat hidup. Sikap putus asa seringkali menghampiri.
Bagaimana tidak? Sejak
bencana gunung meletus itu melanda, ladang-ladang tak bisa lagi diusahakan.
Benih-benih enggan tumbuh. Seandainya pun ada tunas-tunas baru yang muncul dari
dalam tanah, mereka harus berjuang mati-matian untuk hidup dan perjuangan
mereka selalu kandas sebelum membuahkan hasil.
Pun, tak ada gunanya
pindah ke kota sebab akan membutuhkan biaya hidup yang tidak sedikit.
Menyesuaikan diri dengan kehidupan kota pun biasanya lebih sulit, sebab sedari
kecil mereka telah terbiasa dengan tanah, cangkul, serta kesederhanaan hidup di
kampung kaki gunung api itu. Yang dapat dilakukan hanyalah tetap memelihara
harapan.
***
“Dapat
apa tadi, Bang?”
Perempuan
itu bertanya pada sang suami yang baru kembali dari mengantri bantuan
pemerintah di balai desa. Walau tak begitu suka menerima bantuan sebab itu
berarti mengharap belas kasihan orang lain, namun mau tak mau mereka tetap
berusaha mendapatkannya. Persediaan sembako semakin menipis. Asap dapur
terancam tak mengepul. Sang suami sejak lama telah mengurangi kuantitas
kunjungan ke kedai kopi sebab jumlah rupiah dalam pundi-pundi semakin
memprihatinkan.
“Hanya
ini. Persediaannya sangat terbatas. Tidak semua kebagian. Dan, aku harus
mengalah pada para lanjut usia.”
Lelaki itu menyerahkan
sebungkus plastik kresek. Ketika dibongkar, isinya hanyalah tiga bungkus mi
instan dan sekaleng susu kental manis. Jauh dari cukup untuk mengisi perut lima
anggota keluarganya, apalagi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.
“Mau kemana, Bang?”
perempuan itu bertanya lagi ketika melihat sang suami kembali keluar rumah dengan
map butut terkepit di antara lengannya.
“Ke kota bersama
beberapa teman. Mungkin ada pekerjaan dan rezeki yang bisa kudapatkan hari
ini.”
Perempuan itu
mengiringi kepergian lelakinya dengan keraguan yang membubung. Sudah beberapa
kali sang suami mencoba hal yang sama di hari yang lalu, namun belum juga
membuahkan hasil. Maklumlah ia, sebab ijazah SMP atau SMA mungkin tak akan
‘laku’ di belantara kota. Semoga saja ada pekerjaan-pekerjaan kasar yang
mengandalkan tenaga untuk dilakukan demi sedikit uang.
Setelah menyelesaikan
semua pekerjaan dalam rumah, perempuan itu pergi keluar. Ditatapnya ke
sekeliling sambil memutar otak. Dan, selalu ada ide-ide yang melintas di
kepalanya—kadang ide yang bisa diterima akal, kadang ide yang tak masuk logika.
Ia bergegas mengambil cangkul dan keranjang bambu. Anak bungsunya dititip pada
tetangga, seorang wanita tua.
Dengan kaki telanjang,
ia menyusuri tanah abu-abu. Serupa merapal mantra, ia memohon-mohon dalam hati
supaya gunung itu tidak mengumbar amarahnya hari ini. Angin kencang menerbangkan
debu yang memerihkan mata dan menyesakkan paru-paru, namun itu tak menghentikan
langkahnya. Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah
ladang-ladang yang kini gersang.
Ia menekuri bekas-bekas
tanaman yang telah hangus oleh lahar dan debu panas, menerka-nerka yang mana
kira-kira ubi rambat, singkong, talas, atau apapun yang bisa dimakan. Dengan
cangkulnya ia mulai menggerus tanah, mencangkul, dan mengeluarkan segala buah
tanaman yang mampu ia temukan.
Di
tengah kekhusyukannya menggali, ia mendengar suara kemerosok dari beberapa
arah. Hatinya ciut, khawatir ada petugas yang tengah berpatroli dan
memergokinya melintasi zona aman serta masuk ke wilayah yang dilarang. Ia
mengangkat kepala dan memandang ke sekeliling. Namun, bukannya mendapati
petugas patroli, yang ia temukan malah perempuan-perempuan lain. Mereka juga tengah
mengerjakan hal yang sama seperti ia lakukan. Menggali tanah, berusaha menemukan
umbi-umbian, berjuang mempertahankan hidup.
Medan,
2018
Singkat padat jelas. Cukup mengisahkan perjuangan hidup di daerah Gunung berapi yang meletus.
BalasHapus