![]() |
e-sertificate |
Saya tidak hendak membahas ide dan cara
bercerita masing-masing peserta, namun saya ingin sedikit menyoroti tatabahasa yang mereka gunakan dalam naskah-naskah yang diikutsertakan pada
lomba tersebut.
Selama melakukan proses penjurian, tata bahasa yang meliputi pemilihan diksi, penulisan (pengetikan), dan penempatannya secara tepat dalam kalimat, serta pemakaian PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) menjadi kesalahan paling fatal yang saya temui. Terdapat banyak sekali error di sebagian besar naskah, seperti typo atau salah tulis/ketik, kesalahan penggunaan kata depan, titik, koma, huruf besar atau kecil, bertebaran dimana-mana.
Selama melakukan proses penjurian, tata bahasa yang meliputi pemilihan diksi, penulisan (pengetikan), dan penempatannya secara tepat dalam kalimat, serta pemakaian PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) menjadi kesalahan paling fatal yang saya temui. Terdapat banyak sekali error di sebagian besar naskah, seperti typo atau salah tulis/ketik, kesalahan penggunaan kata depan, titik, koma, huruf besar atau kecil, bertebaran dimana-mana.
Padahal, tatabahasa merupakan elemen terpenting
dalam menulis cerita. Sebab, kekacauan tatabahasa akan turut pula
mengacaukan pesan yang ingin disampaikan si penulis dalam cerita tersebut. Bahkan,
bisa jadi cerita itu tidak dapat dinikmati dan dipahami pembaca sama sekali.
Sebenarnya saya tidak
ingin menyinggung pihak tertentu, namun, sesungguhnya apa yang para peserta
tuangkan dalam karya-karya tersebut, baik ide maupun pengetahuan tentang cara
menulis yang baik dan benar adalah buah dari apa yang mereka pelajari di
sekolah/institusi pendidikan. Benar, bukan? Menurut saya, inilah potret kecil mengenai apa yang terjadi
dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah, sebab dari
sanalah pengetahuan menulis paling mendasar bermula. Ini merupakan hal yang
sangat perlu dibenahi.
Saya amat antusias
membaca satu demi satu naskah yang diberikan kepada saya, sekalipun
kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan terdapat di 80% naskah. Saya angkat
dua jempol kepada para peserta yang ternyata masih begitu semangat mengikuti
kompetisi menulis. Ini menunjukkan bahwa dunia literasi di negeri ini masih
bergeliat. Alangkah sayangnya bila minat-minat menulis ini tidak didukung
dengan pengetahuan yang memadai.
Mungkin, ya, pengetahuan tidak melulu berasal dari sekolah saja. Orang-orang yang ingin bergelut di dunia menulis memang harus mempersenjatai diri sendiri dengan pengetahuan yang sebenarnya bisa diperoleh dimana-mana, salah satunya dengan banyak membaca dan terus berlatih.
Mungkin, ya, pengetahuan tidak melulu berasal dari sekolah saja. Orang-orang yang ingin bergelut di dunia menulis memang harus mempersenjatai diri sendiri dengan pengetahuan yang sebenarnya bisa diperoleh dimana-mana, salah satunya dengan banyak membaca dan terus berlatih.
[Melalui pengalaman ini, saya jadi mengerti apa yang dirasakan
oleh para redaktur cerpen koran yang menerima kiriman belasan bahkan puluhan
cerpen setiap harinya, dan mereka harus menyeleksi naskah-naskah yang mungkin berasal dari penulis pemula yang masih belum paham cara menulis yang baik dan benar. Saya paham kesabaran mereka diuji ketika ratusan kali membaca kisah klise yang sama, alur yang 'ngawur', penempatan tanda baca yang tidak pada tempatnya, dll 😄]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar