![]() |
ilustrasi oleh Analisa |
TANPA
SAYAP
Oleh
Dian Nangin
“Sampai
jumpa, Tiara.” Diva memeluk erat sahabat karibnya itu ketika akan melepasnya
pergi ke bandara. Tiara akan lanjut kuliah ke negeri seberang, ia sudah
diterima di sebuah universitas di Australia. Ada sebongkah iri yang menyelimuti
hati Tiara. Sebagian besar teman-temannya bahkan mampu menyeberangi lautan dan
melintasi benua untuk mengejar mimpi mereka, namun Diva sendiri tak berdaya
untuk menjemput cita-cita di ibukota.
Malam
harinya, gadis itu merebahkan tubuh sambil menatap seragam sekolah penuh
coretan yang tergantung di dinding. Ada sebaris ucapan selamat berpisah, ada
pula tertulis janji untuk bertemu kembali. Matanya membaca nama demi nama yang
tergurat di sana, nama-nama yang memiliki impian tersendiri.
Nama-nama yang
kini mengarungi jalan masing-masing untuk mewujudkan mimpi itu. Hanya Diva yang
tampaknya tak akan bergerak kemana-mana.
Walau tak pernah lupa
menyelipkan cita-cita dalam doanya setiap malam, tapi Diva tidak berani untuk
mengatakannya pada kedua orang tuanya. Kasihan ayah, kasihan ibu. Mereka sudah
terlalu tua untuk kembali dibebani. Dua tahun lalu angkot butut ayah akhirnya
rusak totak setelah belasan kali masuk bengkel. Akhirnya ia beralih profesi menjadi
petani kecil-kecilan dan mengolah sepetak lahan di halaman belakang rumah. Di
sana ia menanam berbagai sayur-sayuran untuk dijual ibu di pasar pagi. Diva
selalu ikut ke pasar membantu sang ibu.
Baru
seminggu Diva melepaskan seragam putih abu-abu. Gadis itu berpikir untuk
mengikuti jejak Mayang, kakak perempuannya yang mengambil kursus menjahit
setelah hanya menamatkan SMP, sama seperti dua saudara laki-lakinya yang lain,
yang langsung mencari pekerjaan masing-masing. Diva sendiri sudah sangat bersyukur
bisa bersekolah hingga SMA. Berbekal keahlian menjahit, seperti sang kakak,
Diva akan berjuang untuk masa depannya kelak.
Namun,
hati Diva seakan berontak. Meski tahu bahwa segala keterbatasan merintangi
jalan, cita-cita dalam hatinya tidak padam begitu saja. Ia tetap belajar dengan
keras. Ia melamar beberapa beasiswa, mana tahu keberuntungan berpihak padanya.
Dan, benarlah. Di penghujung SMA, kerja kerasnya berhasil. Sebuah keberuntungan
menghampirinya. Salah satu universitas bersedia memberikan beasiswa.
Tapi, ternyata hidup bukan
tentang keberuntungan semata. Setelah menggenggam satu kesempatan, tantangan
lain segera menghadangnya. Dibutuhkan biaya transportasi untuk bisa tiba di
universitas itu, juga untuk akomodasi, hingga kebutuhan-kebutuhan kecil yang tidak
bisa dihindari. Diva menghitung seluruh uang tabungannya hingga ke pecahan
terkecil, tapi jumlahnya masih belum cukup. Gadis itu menghela nafas panjang, mencoba berbesar
hati. Mungkin memang sebaiknya ia mendaftar kursus menjahit saja.
Diva memejamkan mata. Walau
tak akan mampu meraih mimpinya, ia berharap akan ada bunga tidur yang indah
yang singgah dalam lelapnya.
***
“Diva!
Bangun, Nak…”
Gadis
itu meregangkan tubuh. Ia mengingat-ingat, rasanya ia baru tidur beberapa jam
saja. Kenapa pagi tiba secepat ini?
“Kita
harus berangkat sekarang.”
Diva
memaksa tubuhnya untuk bangkit. Ia masih cukup lelah, tapi ia tahu ia harus
bangun pagi kalau tidak ingin dagangan sayur mereka hari ini tidak akan laku,
yang berarti mereka tak akan memperoleh uang masuk sama sekali. Ia bergegas
keluar kamar sembari menguap.
Namun,
ia melihat pemandangan yang tak biasa. Bukannya mendapati tumpukan sayur, ia
malah melihat beberapa tas dan koper butut yang entah berisi apa berderet di
dekat pintu. Ayah ibunya juga tengah bersiap-siap, berpakaian rapi, seolah
mereka akan menempuh perjalanan jauh.
“Menurut
perhitungan ayah, kita akan tiba lusa pagi buta. Semoga masih belum terlambat,”
sang ayah berkata.
Diva
mengerutkan kening, tak paham. “Maksud ayah?”
Pasangan
yang akan beranjak menuju usia senja itu menatapnya sambil tersenyum penuh arti.
Tahu-tahu sang ibu mengeluarkan bundelan kertas dari salah satu tas. Diva
terkesiap. Itu adalah surat-surat lamaran beasiswa yang selama ini ia simpan
rapi di bawah kasurnya.
“Ini
cita-cita kamu, kan? Kenapa selama ini kamu sembunyikan dari ayah dan ibu? Ayo,
kita harus usahakan bersama. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan begitu
saja.”
Diva
merasa masih berada di alam mimpi ketika ia masuk ke kamar mandi dan mengguyur
tubuhnya dengan air dingin. Bahkan ia masih tak percaya ketika di luar rumah
telah menunggu mobil angkot ayah yang lama tak beroperasi, kini telah menyala
dengan mesin berdengung. Entah kapan ayah memperbaikinya lagi. Diva juga
melihat ibunya menyimpan dengan rapi sejumlah uang tunai beserta sebuah buku
tabungan. Jumlah yang tertera di dalamnya membuat gadis itu bertanya-tanya,
sejak kapan sang ibu mulai menabung dengan menyisihkan sedikit pendapatan
mereka yang tak seberapa? Dan itu semua untuk dirinya?
***
Semua
baru terasa nyata ketika Diva menjejakkan kaki di pelataran universitas negeri
yang telah mencatatkan namanya sebagai salah satu calon mahasiswa. Sedikitpun
tak tersisa penat yang seharusnya hinggap di tubuhnya setelah perjalanan
teramat panjang yang tak pernah ia alami sebelumnya.
Gadis itu kini selangkah lebih dekat
menuju cita-citanya. Masa depannya
yang ia duga akan berakhir menjadi tukang jahit, kini berbelok. Penuh kejutan.
Diva bersiap melayang terbang untuk menggapai impiannya.
Walau tanpa sayap, ada ayah ibu yang masih mampu menjulangnya tinggi dengan
segenap kekuatan mereka. Diva menoleh. Kedua orang tuanya masih tampak berdiri
di belakangnya. Bergandengan tangan. Mata
berkaca-kaca, namun bibir tersenyum bangga.
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar