Suatu pagi, pintu rumah
saya diketuk dengan ritme yang menandakan sebuah ketergesaan. Saya menyahut,
dengan santai membuka kunci serta gerendel pada pintu besi. Si pengetuk,
seorang tetangga yang beberapa tahun lebih muda, tampak panik bercampur excited. Ia nyaris mengomel karena saya
bergerak lamban.
“Ada apa sih?” tanyaku.
“Ini urgent, Kak,” sahutnya cepat.
Setelah masuk, ia
membeberkan hal mendesak tersebut dan saya hanya bisa menarik nafas. Hal urgent itu tak lebih dari
ketidakmampuannya menyusun kata-kata untuk membalas pesan WA dari HRD sebuah
perusahaan tempatnya kemarin mengantarkan surat lamaran kerja pertamanya.
“Apa susahnya membalas
itu?” tanyaku.
Saya melihat pesan di
layar ponselnya. Tampak beberapa pertanyaan berkenaan tentang pribadi si
pelamar dan juga mengenai pekerjaan yang dilamar. Saya berpikir sebentar, lalu
mengembalikan ponselnya.
“Jawab saja dengan
jujur dan sopan.”
“Iya, tapi bagaimana
merangkai kalimatnya?!” katanya dengan wajah memelas.
“Katakan begini,
bla…bla…bla…” kucoba membantu sambil mondar-mandir mengerjakan beberapa hal.
“Wah, iya, benar! Itu
maksudku!!” Tangannya bergerak cepat di layar ponsel untuk mengetik balasan
pesan tersebut. Kepalanya menoleh ke kanan kiri untuk mengikuti pergerakanku. “Gimana
tadi, Kak? Aduh, aku cepat kali lupa. Coba ulangi…”
Saya sendiri belum
pernah berhadapan atau setidaknya berurusan dengan HRD suatu perusahaan, tapi
saya tidak mengalami kesulitan menghadapi situasi semacam itu. Mungkin karena
bukan saya langsung yang mengalaminya hingga saya bisa lebih tenang, entahlah.
Pertanyaan si tetangga membekas di benak saya untuk beberapa saat. Dari mana
saya belajar menyusun kata-kata seperti itu?
Mata saya langsung
melirik tumpukan novel yang menyesaki meja belajar di sudut ruangan. Saya tidak
pernah membaca buku pedoman melamar kerja. Saya menyadari bahwa mungkin
kata-kata tadi saya temukan di salah satu novel yang pernah saya baca.
Dari mana saya belajar?
Dengan membaca.
dokumentasi pribadi |
Pertama kali menyadari
bahwa saya suka membaca novel, saya menganggap kegiatan itu tak lebih dari
hiburan (saya tidak suka nonton televisi), jadi pengisi waktu kosong, dan
sebagainya. Tapi, seiring berlalunya waktu dan semakin beragam genre cerita yang saya baca, saya
menyadari bahwa membaca kisah-kisah fiksi itu memberi banyak manfaat.
Coba telusuri lewat google, kita akan disuguhi banyak sekali
manfaat membaca fiksi. Sewaktu menelaahnya,
saya mendapati bahwa sebagian besar yang saya temukan sesuai dengan yang saya
alami, seperti:
a. melatih
keterampilan berpikir: cerita fiksi dibangun dengan konflik dan solusinya.
Pembaca diajak untuk memahami konlik berikut pemecahannya agar dapat menikmati
kisah dalam novel tersebut.
b. menumbuhkan
sikap simpati dan empati: pembaca dapat melihat sebuah situasi melalui sudut
pandang yang lain. Kita juga dapat berdiri di posisi seorang tokoh yang ditimpa
berbagai peristiwa dalam cerita dan merasakan apa yang dialaminya. Manfaat yang
satu ini akan menjauhkan orang yang suka membaca dari sikap nyinyir.
c. memperkaya
kosakata: novel yang baik disusun berdasarkan diksi yang baik pula dan itu
dapat menjadi sebuah referensi bagi pembaca untuk memperbanyak kosakata. Kelak,
tabungan kosakata tersebut akan berguna dalam komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Contoh nyatanya adalah kejadian di pagi hari yang telah saya
ceritakan di atas.
d. menambah
pengetahuan: walau berlabelkan fiksi, cerita-cerita dalam novel juga mengandung
pengetahuan. Banyak novel yang dilatari oleh sebuah lokasi yang nyata, juga
dengan kondisi yang sebenarnya. Dalam novel genre kuliner, kita bisa menemukan
resep-resep masakan yang layak dicoba, dan sebagainya.
dokumentasi pribadi |
e. melatih
keterampilan menulis: setiap penulis yang cakap adalah pembaca yang handal. Ya,
mustahil kemampuan menulis seseorang dapat berkembang tanpa dipupuki dengan
asupan bacaan yang berkualitas. Saya sendiri menerapkan metode ini, yakni
membaca sebanyak-banyaknya, bukan hanya untuk keterampilan menulis tapi juga
untuk mendapatkan ide dan memperluas wawasan.
Kini, bagi saya membaca novel bukan lagi
sekadar hiburan semata, namun telah menjadi kebutuhan. Membaca sudah menjadi
rutinitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar