Diceritakan
kembali oleh Dian Nangin
“Kabulkanlah permohonan hamba, ya,
Allah,” demikian perempuan janda itu mengakhiri doanya. Tak pernah jemu ia
memanjatkan doa yang sama tiap malam, betapa ia menginginkan seorang anak. Suaminya
telah mati. Mereka tak pernah dikaruniai anak. Si janda tua hidup dalam sepi.
Hanya doa yang ia miliki, serta keajaiban yang mustahil namun tetap ia yakini. Ia
lalu pergi tidur, berharap esok hari keajaiban akan menghampirinya.
Tapi, tak ada keajaiban
kendati ia sudah berdoa semalam suntuk. Hidup harus terus berlanjut. Perempuan
janda itu bertani sepanjang hari. Petangnya ia masuk ke hutan untuk mencari
kayu bakar. Ketika sedang mengikat kayu-kayu kering yang berhasil dikumpulkannya,
ia melihat bungkusan aneh di bawah pohon besar tak jauh darinya. Bergegas ia
membuka bungkusan itu dan kecewalah hatinya. Isinya hanya biji mentimun, bukan seorang anak seperti yang
ia harapkan.
Kekecewaannya
disela langkah-langkah berat yang datang mendekat. Si janda membalikkan badan dan
hadir di depannya sesosok raksasa. Raksasa itu tertawa menggema, menggetarkan tanah dan pepohonan. Janda tersebut
mematung. Wajahnya pucat.
“Jangan
takut, perempuan tua! Aku tidak akan menelanmu hidup-hidup,” katanya. “Kau
menginginkan seorang anak, bukan?”
“Y-ya,”
jawab perempuan itu tergagap.
“Tanamlah
biji timun itu, maka kau akan memperoleh seorang anak,” ujar sang raksasa
sembari menunjuk bungkusan di pangkuan perempuan itu. “Tapi ada syaratnya;
kelak anak itu dewasa, kau harus menyerahkannya padaku untuk kumakan.”
Saking
senangnya akan memiliki anak, tanpa pikir panjang, janda tersebut langsung
mengiyakan. “Baik, baik, akan kuserahkan padamu.”
***
Lekas
ditanamnya biji tersebut. Tak lupa ia siram agar cepat tumbuh. Beberapa hari kemudian
muncul pucuk hijau kecil, turut pula berpucuk harapan perempuan itu bahwa ia
akan segera menimang seorang anak walau ia tak tahu bagaimana mendapatkannya.
Ia merawat dan menyiangi tanaman tersebut dengan telaten.
Hari,
minggu dan bulan berlalu. Tanaman itu berbunga dan berbuah banyak. Namun, ada
satu buah yang tampak mencolok; ukurannya sangat besar, berbeda dari timun
lainnya, juga warnanya tidak hijau, melainkan kuning keemasan.
Ketika
timun tersebut sudah masak, si perempuan tua memetik dan membawanya pulang
dengan susah payah sebab ukurannya sangatlah besar. Ia membelah timun itu
dengan hati-hati. Betapa kagetnya ia mendapati seorang bayi perempuan terbaring
di dalamnya. Ia segera mengeluarkannya dengan senyum rekah. Bayi tersebut
dinamainya Timun Mas.
Tak
pernah luput satu haripun perempuan janda itu menimang Timun Mas. Anak
perempuan tersebut tumbuh dengan baik dan berperangai baik pula. Ia ikut ibunya
setiap hari ke ladang. Tugas-tugas kecil yang diberikan padanya pun
diselesaikannya dengan baik. Tahun demi tahun berlalu. Betapa perempuan janda
itu menyayangi Timun Mas, merasa hidupnya telah utuh. Ia tak pernah lagi merasa
sepi.
***
Kebahagiaan
perempuan janda itu nyaris sempurna kalau saja si raksasa yang pernah
menemuinya di hutan tidak merusak mimpinya suatu malam. Ia lupa pernah berjanji
dengan si raksasa. Kini ia merasa cemas dan gugup.
Melihat ibunya demikian
gelisah membuat Timun Mas terusik. “Mengapa Ibu terlihat tak tenang hari ini?
Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu?”
Perempuan
itu lalu mengutarakan rahasia yang selama ini ia simpan—ujung pangkal
kegelisahannya. “Anakku, sebenarnya Ibu pernah membuat perjanjian dengan seorang
raksasa. Ia mengatakan ibu akan mendapatkan seorang anak bila menanam biji
timun. Dari sanalah kau berasal.”
“Lalu,
perjanjian apa yang Ibu buat dengannya?”
“Ibu
harus menyerahkanmu padanya begitu kau dewasa. Ia akan memakanmu. Kemarin ia
menagih janji itu lewat mimpi Ibu. Tapi, Ibu tak ingin berpisah denganmu.”
Seketika
kegelisahan turut menggerogoti hati gadis itu. Ia juga tak ingin berpisah
dengan sang ibu. “Aku tak mau jadi makanan raksasa, Bu.”
Seolah
baru mendapat ilham, perempuan itu tiba-tiba berseru, “Kau bersembunyilah di rumah.
Ibu akan pergi sebentar untuk menemui seseorang!”
Perempuan itu melangkah lebar-lebar menuju
punggung gunung. Jantungnya turut berdebar, sadar ia tengah dikejar waktu. Ia
menemui seorang petapa sakti yang ia harap dapat memberinya petunjuk cara menyelamatkan
Timun Mas.
***
Timun
Mas menuruti perintah ibunya dengan baik. Mengingat cerita sang ibu bahwa ia
akan dijadikan santapan oleh raksasa membuatnya bergidik. Dikuncinya pintu
rapat-rapat, juga jendela. Ia merasa ada yang tengah mengintainya di luar sana,
namun ia tak berani mengintip keluar.
Ketukan
di pintu membuatnya terlompat. Ia memasang telinga, waspada akan bunyi mencurigakan. Ketika ia mendengar suara sang
ibu, barulah ia bergegas membuka pintu.
“Anakku,
pergilah melalui pintu belakang!” titah sang ibu dengan nafas memburu. “Raksasa
itu tengah menuju kemari. Pergilah cepat. Bawa ini!”
Ia
menjejalkan sebuah kantong pemberian si petapa sakti ke tangan Timun Mas, juga
serangkaian perintah. Gadis itu sendiri sudah gemetar ketakutan.
“Jadilah
berani, Nak. Doa Ibu besertamu!”
Tiba-tiba
terdengar suara gemuruh di atas atap rumah mereka, disusul suara menggelegar
memanggil perempuan janda itu. Ibu Timun Mas keluar dan mendongak menatap
raksasa yang dulu pernah ditemuinya itu.
“Aku datang untuk menagih janjimu,
perempuan tua!”
“Anakku
sedang tidak ada di rumah.” Perempuan itu berbohong, mengulur waktu agar Timun
Mas sempat melarikan diri. Namun, terlambat. Si raksasa melihat Timun Mas
berlari keluar lewat pintu belakang. Segera ia tinggalkan si perempuan tua dan
mulai mengejar.
Timun Mas berlari pontang-panting. Langkah si raksasa berdebum di belakangnya.
Ketika tangan si raksasa hendak menangkapnya, ia ingat perintah ibunya untuk melemparkan isi kantongnya. Ia melempar benih-benih
mentimun yang
langsung berubah menjadi ladang mentimun yang berbuah banyak. Si raksasa berhenti sebentar untuk makan timun-timun
itu. Setelah kenyang, ia kembali mengejar buruannya.
Ketika si raksasa kembali mendekat, Timun Mas melemparkan duri-duri. Duri tersebut tumbuh menjadi hutan bambu yang memperlambat jalan
raksasa itu. Tubuhnya menjadi terluka, yang membuat
kemarahannya memuncak. Ia semakin gigih mengejar.
Kali ini, Timun Mas melemparkan garam yang sontak berubah
menjadi lautan luas. Meski
kelelahan, si raksasa mengerahkan segenap tenaganya untuk berenang ke tepian,
lalu lanjut memburu gadis itu.
Timun Mas pun sudah kelelahan, namun terus berlari karena si raksasa lekat di belakangnya.
Ia melempar isi
kantongnya yang terakhir; terasi. Terasi tersebut berubah
menjadi kolam lumpur yang dalam. Raksasa itu terhisap ke
dalamnya.
Pergerakannya dikunci oleh lumpur pekat. Semua upayanya membebaskan diri
sia-sia dan akhirnya mati tenggelam.
***
Timun
Mas pulang dengan tubuh lelah dan compang-camping. Ia memanggil-manggil ibunya,
mengabarkan kemenangannya melawan si raksasa. Keduanya berpelukan sarat
bahagia. Akhirnya, mereka sepenuhnya merdeka dari kekangan rasa takut, dan
dapat melanjutkan kehidupan, saling menyayangi. Selamanya.
(bila ingin menyalin atau membagikan tulisan ini, harap disertakan sumbernya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar