![]() |
ilustrasi oleh Analisa/ Renjaya Siahaan |
BUTET
Oleh
Dian Nangin
“Butet,”
katanya sambil menggenggam selintas telapak tanganku yang terulur. Sontak
mulutku ternganga. Aku menunggu ia menyebutkan nama kedua, ketiga, atau
meralatnya dengan nama asli dan menerangkan bahwa Butet hanyalah nama panggilan—yang
tetap saja belum akan bisa kupercayai.
“Boru
Lumban Tobing,” tambahnya sambil tersenyum. Rautnya menunjukkan bahwa ia sudah
sering melihat ekspresi tak percaya seperti yang disuguhkan wajahku.
Keningku berkerut. Nama itu sangat
tidak cocok dengan mata biru dan kulit putihnya. Pun, penampilannya sama sekali
tidak merepresentasikan nama yang disandangnya. Akan lebih masuk akal bila ia
memperkenalkan diri sebagai Janice, Allicia, Emily, atau nama lain khas
perempuan-perempuan benua Amerika. Orang-orang sering bersikap acuh dengan
berkata apalah arti sebuah nama, namun kini aku ingin menggugatnya karena benar-benar
penasaran akan muasal dan alasan penyematan nama itu pada dirinya.
“Kau...asli Batak?!” Usai bertanya,
aku merutuki diri dalam hati. Pertanyaan bodoh! Dengan sekali pandang, siapapun
tahu bahwa perawakannya ia warisi dari orangtua yang jelas-jelas bukan
keturunan asli Indonesia.
Dengan sabar, ia menjelaskan
silsilah keluarganya dengan singkat. Ternyata, ayah dari kakek pihak ayahnyalah
yang Batak tulen. Buyutnya tersebut menikahi seorang perempuan Belanda. Lalu
lahirlah kakeknya, menikah dengan perempuan Kanada. Butet pun beribukan
perempuan Kanada pula, sebab ayahnya mengikuti jejak sang kakek.
Barangkali yang tersisa dari darah
Indonesianya adalah bahasa Indonesianya yang fasih tanpa tercemar aksen manapun.
Dan juga rambut ikalnya yang berwarna hitam. Sungguh tak kusangka akan
menemukan nama seperti itu di sini, di atas sebuah pesawat yang baru saja take off dari Washington, berisikan
penumpang yang didominasi manusia bertubuh jangkung, berambut pirang dan bermanik mata warna-warni.
Padahal, niat awalku mengajaknya berkenalan hanyalah sekedar untuk
berbasa-basi, agar penerbangan panjang dan melelahkan ini kulalui dengan orang
yang tidak sepenuhnya asing.
“Tapi....mengapa Butet?” tanyaku
nyaris berbisik, berharap tak terdengar, tak ingin keheranan dalam kepalaku
terungkap.
Keningnya berkerut, balas bertanya,
“Memangnya kenapa?”
“Kebanyakan orang pasti tergoda
untuk mengganti nama bila berada atau berasal dari tempat segemerlap Amerika.
Menyesuaikan diri, kata mereka. Begitu mudahnya mereka murtad pada nama lahir
demi sepotong nama lain yang dianggap lebih manjur, bawa hoki, dan ampuh untuk menangguk popularitas.”
“Mereka cuma menggenapkan pepatah
‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” ujar Butet, seakan membela kaum
murtad tersebut sekaligus menunjukkan kerendahan hati.
“Memang benar. Namun, menyesuaikan diri juga
tak seharusnya membuatmu melupakan atau bahkan menghapus jati diri.”
Perempuan itu mengangkat bahu,
memberiku jawaban abu-abu. Ia menyamankan posisi duduknya, mengabaikanku
sejenak. Terdengar suara pramugari yang menyampaikan beberapa informasi, namun
aku tak menyimak seutuhnya karena masih ada beberapa tanya sarat rasa penasaran
akan perempuan yang duduk di sebelahku ini.
“Di sini kau bekerja? Kuliah?”
tanyaku.
“Tidak keduanya. Aku ke sini untuk menjenguk
bibiku. Tepatnya, menghadiri undangan jamuan makan. Ia berulang tahun dua hari lalu.”
Jadi, dia bukan penduduk kota ini?
Aku tak ingin terdengar seperti seseorang yang tengah menginterogasi atau
sangat ingin tahu tentangnya, namun aku juga tak dapat menahan diri untuk tidak
bertanya. “Kau tinggal dimana?”
“Di desa Haranggaol, tepi Danau
Toba. Kau tahu?”
Lagi-lagi aku terkaget. Jawabannya
tersebut menggenapkan ‘keajaiban’ tentangnya. Wajah dan penampilan seratus
persen bule, namun nama, bahasa, dan tempat tinggalnya seratus persen
Indonesia—mungkinkah kepribadiannya juga?
“Kau lahir di sana?”
“Tidak,” jawabnya. “Aku lahir di
Washington. Namun, ketika aku masih duduk di bangku SMA, ayah memutuskan untuk
pindah ke Indonesia. Di sana aku melanjutkan sekolah dan kuliah.”
“Mengapa pindah ke pinggiran Danau
Toba sana?”
Perempuan itu kembali angkat bahu.
“Mengapa tidak? Indonesia juga bagian dari kami. Tanah Batak adalah tempat
dimana urat akar silsilah kami tertanam, maka ke sanalah kami pergi. Ayahku
sudah jemu dengan pekerjaannya. Ia menjual seluruh saham yang ia punya,
menyerahkan beberapa perusahaan kecil di sini untuk dikelola keluarga, lalu
kami pergi menikmati ketenangan hidup.”
Aku menarik nafas sejenak, berpikir
bahwa keputusan semacam itu hanyalah bualan. Zaman sekarang, siapa yang rela
melepas kemapanan demi sesuatu yang terdengar omong kosong? “Lalu, apa yang
dikerjakan ayah dan ibumu di sana?”
“Ayah dan ibuku suka bertani. Mereka
berladang, menanam padi dan bawang merah, serta punya beberapa pohon mangga. Kami
juga memelihara sejumlah kambing dan babi.”
Kupikir, walau telah melepas
pekerjaan dan kemewahan yang mereka miliki di sini, mereka masih akan menganut
gaya hidup ala negara barat di tepi Danau Toba sana; tinggal di villa yang
dibentengi pagar beton menjulang di atas tanah beberapa hektar. Kupikir mereka
akan hidup ala kaum berada, menjaga jarak dengan masyarakat, segalanya cukup
hingga tak perlu mengotori tangan dengan pekerjaan-pekerjaan kasar. Namun, kini
dalam bayanganku tampak ibunya yang berasal dari Kanada itu belepotan tanah di
ladang dan bergaul dengan inang-inang
di pasar.
“Mengapa ayahmu tidak kembali berbisnis
di sana?”
“Ia sudah membuat pilihan dan aku
menghargainya. Lagipula kata ayahku, apa yang diberikan alam sudah cukup untuk
kehidupan. Bahkan apa yang kami kerjakan dan hasilkan dari tanah bumi pertiwi
cukup melimpah. Persis seperti dalam lagu klasik yang benar-benar merepresentasikan
betapa subur tanah Indonesia.”
Aku mendengus. Aku tahu lagu apa
yang ia maksud dan potongan-potongan liriknya melintas begitu saja dalam
kepalaku—lirik-lirik usang yang menurutku tinggal sejarah. Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu,
....ikan dan udang menghampiri dirimu.... tongkat, kayu, dan batu jadi
tanaman....
“Kau sendiri tinggal dimana dan bagaimana
kehidupanmu?” ia balas bertanya, seakan menuntut balik penjelasan tentang
diriku sebagaimana hal-hal yang kutanyakan tentangnya.
Kukisahkan pula secara singkat
perjalanan hidupku, bahwa aku bermarga Sianipar, baru saja menamatkan S2 di
salah satu Universitas di Singapura dan kunjunganku ke Washington untuk
memenuhi undangan wawancara kerja di salah satu gedung pencakar langitnya.
Betapa bangga aku ketika bercerita.
“Tak ada niat untuk kembali ke
kampung halaman?” tanyanya tiba-tiba.
Kusadari bahwa prinsip dan tujuan hidup
kami berlawanan arah. Di atas pesawat ini titik persinggungan kami. Entah apa
yang direncanakan takdir dengan pertemuan ini, aku tak tahu. Aku hanya terdiam.
“Bukannya aku ingin menggurui, tapi
kupikir mengaplikasikan ilmu yang telah diraih untuk membangun kampung adalah
pekerjaan mulia. Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan di sana.”
Kutahan bibit-bibit emosi yang mulai
berkecambah dalam hatiku. Bagaimana bisa ia yang hanya memiliki sepercik darah
Indonesia dalam tubuhnya malah berkhotbah panjang lebar padaku yang murni
keturunan Indonesia tanpa ada campuran apapun?
***
Penerbangan panjang membuat tubuhku
menderita jetlag yang cukup parah.
Bahkan ketika lift yang kutumpangi
mulai bergerak naik, aku sempat sempoyongan dan mengira masih berada di dalam
pesawat. Setiba di depan apartemen, aku menumpukan tubuh ke dinding sembari
menunggu pintu dibukakan dari dalam.
“Mak, aku sudah pulang...” seruku
sembari masuk. Kuseret koperku ke dalam kamar, menumpukkannya bersama tas dan
seabrek barang bawaanku lainnya. Kuputuskan untuk langsung beristirahat. Namun,
aku keluar kamar sebentar dan menuju dapur, mengambil segelas air untuk
melegakan tenggorokanku yang terasa kering. Perhatianku tersita pada ibuku yang
tengah duduk di atas kursi rodanya, menatap keluar dinding kaca.
Sudah hampir dua tahun ini ibu
menderita stroke, membuat
pergerakannya terbatas dan ia tak bisa lepas dari kursi roda. Karena aku ingin
memberinya perhatian maksimal, kuboyong ia bersamaku untuk tinggal di sebuah
apartemen di Singapura. Kubayar seorang perawat untuknya, namun bukan berarti
aku lepas tangan merawatnya. Hanya itu hal terbaik yang bisa kuberikan sebagai
anak.
“Mak?” panggilku lagi. Baru aku
sadar bahwa salamku ketika masuk tadi tak dijawabnya. Apa ibuku tertidur di
atas kursi roda? Sepertinya tidak, sebab kepalanya masih tegak dan dari
pantulan dinding kaca dapat kulihat matanya mengedip-edip.
“Ah, ya, ya?!” ia menoleh dan menyahut
tergeragap, seakan kehadiranku membuatnya teramat kaget. “Kau sudah pulang?”
Aku mengangguk. Usai bertanya
singkat, ibu kembali menatap keluar. Kuikuti arah pandangnya dan mataku
berakhir di taman apartemen di bawah. Tak ada pemandangan istimewa di sana,
hanya beberapa remaja yang duduk-duduk di bangku sambil bermain smartphone¸ bocah-bocah yang bermain
perosotan, serta beberapa ibu yang tampak bercengkerama sambil berjemur dengan
bayinya di bawah matahari sore. Entah apa yang begitu menyita fokus ibu,
menyedot seluruh perhatiannya hingga ia bersikap acuh tak acuh padaku.
Kupilih untuk membiarkan ibu,
mungkin ia tengah memikirkan sesuatu. Nanti ia akan berinisiatif sendiri untuk
mengajakku bicara. Aku merebahkan tubuh di sofa. Kupejamkan mata. Kubolak-balik
tubuhku, kadang terlentang kadang telungkup. Lamat-lamat, kudengar ibu
bersenandung. Kutajamkan pendengaran demi menangkap lagu apa yang mengalun dari
bibirnya.
O
Tano Batak andigan sahat
Au
on naeng mian di di ho sambulokki
Molo
dung biccar mata ni ari
Lao
panapuhon hauma i
Denggan
do ngolu siganop ari
Dinamaringan
di ho sambulokki
Aku terkesiap. Lagu itu kukenal
dengan baik. Walau sudah lebih dua puluh tahun tidak menjejakkan kaki di Tanah
Batak, bukan berarti lagu itu alpa dari pendengaranku. Benakku sibuk bekerja,
apa yang ada dalam pikiran ibu sekarang seiring ia menyanyikan lagu itu?
Benarkah ia tengah merindu? Melintas pula kata-kata Butet di kepalaku. Kutarik
nafas panjang. Aku jadi tak bisa tidur sama sekali.
Medan,
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar