![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
MATAHARI
DI MATA IBU
Oleh
Dian Nangin
Ingin kutegur ayam
jantan yang berkokok sebab ia membuatmu bangun terlalu dini, Ibu. Langit masih
gulita, namun kau telah menyeret langkah keluar kamar dan memulai aktivitas. Kelopak
mataku masih enggan membuka, namun hatiku lebih tak tega membiarkanmu berkutat
sendiri di dapur yang dingin. Kupaksa tubuh untuk bangkit dan segera menyusulmu
ke dapur, untuk bersama-sama menyiapkan sarapan dan bekal makan siang di ladang
nanti.
“Tidurlah sebentar
lagi,” katamu menghalauku. “Pagi belum tiba. Kau pasti masih mengantuk.”
“Tidak, Ibu, aku sudah
cukup tidur,” kuambil alih pisau dari tanganmu untuk mengupas bawang. Lagipula,
sejak dulu aku sudah biasa bangun cepat untuk belajar atau membantumu. Walau
kini aku bagian dari segelintir anak kampung ini yang berhasil duduk di salah
satu universitas terbaik di ibukota, bukan berarti aku bisa bertingkah bak putri
raja. Tak ada alasan bagiku untuk menuntut perlakuan istimewa.
***
Langit belum seutuhnya terang
ketika kau mengajakku berangkat. Perjalanan menuju ladang harus ditempuh sejak
fajar belum terbit. Pula, pekerjaan yang kita lakoni hari ini menuntut waktu dan
tenaga yang tidak sedikit. Berbekal terang yang masih temaram, kita susuri
jalan bersemak menuju ladang di sisi lain gunung.
Gegas langkahmu sulit
untuk kusejajari. Nafasku terlalu cepat jadi berat. Adakah kakiku sudah terlalu
dimanjakan oleh kemudahan transportasi di kota? Kau berjalan di depanku,
menerabas aral dan ilalang, agar lebih mudah jalan yang kulalui.