![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
MATAHARI
DI MATA IBU
Oleh
Dian Nangin
Ingin kutegur ayam
jantan yang berkokok sebab ia membuatmu bangun terlalu dini, Ibu. Langit masih
gulita, namun kau telah menyeret langkah keluar kamar dan memulai aktivitas. Kelopak
mataku masih enggan membuka, namun hatiku lebih tak tega membiarkanmu berkutat
sendiri di dapur yang dingin. Kupaksa tubuh untuk bangkit dan segera menyusulmu
ke dapur, untuk bersama-sama menyiapkan sarapan dan bekal makan siang di ladang
nanti.
“Tidurlah sebentar
lagi,” katamu menghalauku. “Pagi belum tiba. Kau pasti masih mengantuk.”
“Tidak, Ibu, aku sudah
cukup tidur,” kuambil alih pisau dari tanganmu untuk mengupas bawang. Lagipula,
sejak dulu aku sudah biasa bangun cepat untuk belajar atau membantumu. Walau
kini aku bagian dari segelintir anak kampung ini yang berhasil duduk di salah
satu universitas terbaik di ibukota, bukan berarti aku bisa bertingkah bak putri
raja. Tak ada alasan bagiku untuk menuntut perlakuan istimewa.
***
Langit belum seutuhnya terang
ketika kau mengajakku berangkat. Perjalanan menuju ladang harus ditempuh sejak
fajar belum terbit. Pula, pekerjaan yang kita lakoni hari ini menuntut waktu dan
tenaga yang tidak sedikit. Berbekal terang yang masih temaram, kita susuri
jalan bersemak menuju ladang di sisi lain gunung.
Gegas langkahmu sulit
untuk kusejajari. Nafasku terlalu cepat jadi berat. Adakah kakiku sudah terlalu
dimanjakan oleh kemudahan transportasi di kota? Kau berjalan di depanku,
menerabas aral dan ilalang, agar lebih mudah jalan yang kulalui.
Kau juga petikkan
aku stroberi liar dan jambu hutan yang sedang masa berbuah.
“Apa kau akan malu pada
teman-teman kotamu bila mereka tahu kau punya ibu sepertiku?” kau bertanya dengan
tangan tangkas menjulurkan galah untuk menggapai gerombolan jambu ranum di
dahan yang tinggi. Usiamu yang menginjak pertengahan empat puluh tak juga mengurangi
kegesitan masa mudamu, tak juga menumpukkan lemak di tubuh rampingmu.
Entah nada suaramu
serius atau sekedar iseng, namun pertanyaan itu terasa menyengat hati.
Dibanding dengan para wanita modern di kota, yang berseragam licin dan wangi
dan menduduki kursi-kursi empuk perkantoran, seperti ibu para sahabatku yang
ujung jemarinya bahkan tak pernah menyentuh tanah, jelas kau tak sebanding.
“Aku tidak malu!” jawabku.
Jelas, tegas. Kau memang hanya seorang petani, namun kau pejuang tangguh nomor
satu di hidupku, yang tak pernah menyerah pada sulitnya hidup apalagi sejak
ayah tiada.
Tiba di ladang, kau
segera mengerahkan segenap tenaga untuk mulai bekerja. Tak semenit pun terbuang
untuk bermalasan. Tanganmu cekatan membongkar brankas-brankas tanah, mengeluarkan
harta yang telah kau tanam berbulan-bulan. Untuk setiap butir kentang yang kau
temui, kau ucapkan syukur. Bumi adalah ibu, katamu. Ia menghidupi kita, sudah
sepatutnya kita berterima kasih.
Kuikuti
jejakmu, bekerja dengan giat. Tanah menyusupi sela-sela kuku. Namun, tak ada
waktu bagiku untuk mengaduh atau mengeluh. Waktu terus memburu. Kentang harus
selesai dipanen tengah hari nanti agar bisa langsung dibawa ke pasar dengan
mobil pikap kampung yang berkeliling hanya satu kali sehari untuk mengangkut
hasil-hasil tani ke pasar tradisional. Kita hanya punya beberapa menit untuk
makan siang sekaligus menghela tenaga.
Hasil kerja yang meremukkan
tulang dikemas dalam karung-karung, berangkat ke pasar. Berdebar keras jantungku
ketika mobil pikap rombeng yang kita tumpangi terbatuk dan tersendat ketika
mendaki tanjakan, dan berdesir dingin darahku sewaktu rodanya seakan mencelus
di jalanan menurun. Sedetik saja supir lengah dan kehilangan kontrol atas mobil
tua ini, kita akan berakhir di dalam jurang di sisi kanan jalan.
***
Tiba
di pasar, kudongakkan kepala ke langit dan mendapati arak-arakan awan hitam. Ingin
kukutuk hujan yang turun sore ini, sebab aku tahu ia akan sangat menyulitkanmu
berjualan, Ibu. Sudah lama aku mengenal tabiat pasar tradisional ini yang
kering berdebu kala kemarau, sementara hujan akan menciptakan kubangan lumpur
dan dingin yang menggigilkan tulang.
“Tunggu
di sini!” titahmu sembari mendorongku ke bawah naungan tenda di tengah pasar, sementara
kau melayani tengkulak yang tengah menaksir karung-karung kentang kita.
Takkan pernah kulupakan
pemandangan ketika kau tawar menawar dengan si tengkulak di bawah guyuran gerimis.
Lumpur mulai menggenang. Sementara aku berteduh di bawah tenda, berdesakan
dengan orang-orang. Rinai air yang berjatuhan dari tepi tenda memburamkan
pandanganku.
Kukuh kau sodorkan
angka, namun tengkulak itu menawar dengan tajam. Ia mencibir bahwa permintaan
sedang turun drastis. Betapa rendah nilai komoditas pertanian belakangan ini. Giliranmu
yang menyangkal. Harga pasar takkan membuatmu meraup keuntungan banyak, tapi
kini ia menawar tanpa perasaan. Aku tahu kau akan bersikeras. Si tengkulak
meneliti tiap karung kentangmu, benaknya pasti tengah mengkalkulasi berapa
keuntungan yang bisa ia keruk.
“Lihat, hujan akan
semakin deras,” si tengkulak menunjuk langit. “Kau tahu kalau kentang tak baik
dalam keadaan basah. Lebih baik segera kupindahkan ke dalam trukku. Itupun bila
kau setuju dengan harga yang kuajukan.”
Kau menggeleng. Tengkulak
itu mengangkat bahu, lalu melengos pergi. Kau terpaku beberapa jenak, berpikir
keras untuk mengambil keputusan dalam waktu singkat. Lekas kau tahan lengan si
tengkulak, lalu berkata lesu,” Baiklah, aku setuju.”
Akhirnya kau terima jua
penawaran itu, Ibu. Tak ada pilihan, katamu. Cuaca dan harga sedang buruk.
Bisa-bisa dagangan tak laku sama sekali. Masih untung ada yang mau membeli! Keputusan
yang terbaik adalah menerima berapapun rezeki hari ini dengan berbesar hati.
Kita lalu pulang sambil
bergandengan tangan. Kepala kita terbungkus plastik kresek. Hujan semakin deras.
Deru langkah kita menggegas. Dingin kian melibas tapi dari genggaman tanganmu mengalir
cinta yang hangat, cinta yang membuatku tetap hidup.
***
Ingin
kupangkas jarak yang membentang agar aku dapat mengunjungimu lebih sering, Ibu.
Libur singkat akhir pekan tak juga melumerkan rinduku—andai saja bisa
kuhabiskan waktu beberapa hari lagi bersamamu. Tapi, rutinitas kuliah di kota
telah menuntutku untuk segera kembali.
Kau jejalkan uang hasil
penjualan kentang kemarin ke dalam tasku dan menyisakan sedikit untukmu, sangat
sedikit. Dan, selalu begitu.
“Tak
mengapa,” katamu ketika aku bertanya. “Hidup di kota butuh biaya besar. Keperluan
kuliahmu di akhir semester ini juga tengah membludak, Ibu paham itu. Ibu tak
apa-apa. Hidup di kampung jauh lebih mudah. Ibu tinggal menggali singkong, atau
memetik bunga pepaya, atau merebus telur-telur ayam kita. Jangan khawatir! Ibu
tak akan kekurangan suatu apapun. Pergilah.”
Ingin kugugat semesta,
Ibu. Hasil penjualan yang kau terima teramat tidak sebanding dengan kerja keras
menanamnya di tanah, merawatnya berbulan-bulan hingga berbuah, memanennya
hingga ujung-ujung kuku nyaris berdarah, dan lalu berdebat dengan para
tengkulak yang bersikeras menawar murah di pasar tradisional yang berkubang
lumpur. Orang-orang bilang hidup ini sesungguhnya adil, namun kutemukan
kenyataannya berlawanan.
Kulempar pandangan mata
keluar kusen jendela kayu rumah kita dan mendapati arak-arakan awan putih nun jauh
di angkasa. Andaikan bisa, hendak kulontarkan tanya pada mereka tentang nasib
yang diguyurkan semesta pada kita. Mengapa hidup sebagai keluarga petani begitu
menyedihkan? Namun, kuingat kau pernah berkata bahwa mempertanyakan, apalagi
menggugat nasib, adalah tindakan tiada ada guna. Nasib setiap orang sudah
dijatahi senang susah, mujur malang, serta suka duka sesuai porsinya masing-masing.
Tapi, bagiku hidup tak
pernah terasa mudah. Hanya bisa kucari kekuatan dari perjuangan dan
pengorbananmu yang sepanjang waktu tersintesa tepat di depan mataku. Pun hanya
bisa kugenggam kata-katamu, Ibu. “Bertahanlah, Nak. Belajarlah yang tekun. Kelak
kau sukses, semua akan jadi lebih baik.”
Baik, Bu, bersabarlah
juga sebentar lagi. Aku akan menghapus semua kesusahanmu. ‘Kan kuterbitkan
matahari dari dalam matamu, Ibu.
Medan,
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar