dok. pribadi |
YANG
TAK KEMBALI
Oleh
Dian Nangin
Lelaki
itu terbangun ketika derit pintu besi karatan yang didorong oleh seorang wanita
paruh baya terdengar menjerit-jerit. Semakin lama semakin kencang, membuat
ngilu tulang. Wanita itu lalu mengibas-ngibaskan sapu lidinya ke arah si lelaki.
“Pulang
sana! Tidur, kok, di rumah orang!” katanya menggerutu.
Pulang
kemana? Lelaki itu tak punya tempat untuk dituju. Lagi pula ia merasa tidak
sembarang tidur di rumah orang, hanya
menumpang merebahkan tubuh di bangku kayu reyot di teras toko wanita itu.
Apakah itu memiliki makna yang sama? Lelaki tersebut tak ambil pusing. Kibasan
sapu lidi itu semakin cepat. Ia bergegas bangkit dan menyingkir sebelum sapu
lidi itu singgah di tubuhnya.
Matahari
perlahan berpijar. Lelaki itu menengadahkan hidung untuk menghirup udara segar
sambil melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal, keluar dari gang yang sarat
bangunan. Ia membasahi tenggorokan dengan seteguk air mineral dari botol yang
dipungutnya di tepi jalan. Ia meregangkan tubuh sambil menyapa sekelompok burung
gereja yang hinggap di kabel-kabel listrik. Mereka tak balas menyapa karena
sedang asyik menyisir bulu-bulu mereka dengan paruh masing-masing. Santai, tak
terburu-buru.
Lelaki itu meneruskan
perjalanannya. Ia adalah manusia paling bebas.
Tak dikejar rutinitas. Ia
menganggap setiap jengkal dataran sebagai tempat tinggal. Langit menjadi atap
maha luas. Ia juga menyamakan diri dengan burung-burung yang leluasa
mondar-mandir di udara dan sesuka hati menempati pohon-pohon. Atau seperti
cacing yang bebas menyusup ke bagian manapun di dalam tanah.
Karena ia orang yang
bebas, maka ia bisa mengonggok dimana saja. Ah, ralat! Ia bebas mengonggok di
setiap tempat sebelum diusir manusia-manusia yang merasa berhak seperti wanita
paruh baya tadi. Manusia-manusia berhak adalah mereka yang telah membeli permukaan
bumi berdasarkan patokan serta ukuran-ukuran. Manusia, dengan hak yang mereka
miliki, merasa punya kuasa untuk memojokkan manusia lain yang kurang beruntung.
Dan, ia bukan salah satu dari mereka. Tidak lagi.
Barangkali lebih baik
menjadi cacing, pikir lelaki itu. Ia yakin di bawah sana tak ada batasan teritorial,
setidaknya bagi makhluk-makhluk yang hidup di dalam tanah. Kadang, ia ingin
melontarkan tanya yang terbit dalam benak: Hei,
cacing! Apa di dalam sana ada kaummu yang menjadi gelandangan? Ia tahu
pasti para cacing akan menjawab tidak. Mereka semua tentu hidup dengan tenteram,
tanpa peduli batas-batas dan hak kepemilikan yang diklaim manusia-manusia di
atasnya. Satu-satunya hal yang harus dihindari cacing-cacing itu adalah muncul
ke permukaan agar tidak dipatuk ayam.
Namun, ia tak pernah sempat mengutarakan tanya itu pada
cacing-cacing dan menambah predikat gila untuk melengkapi status gembelnya.
Walau tak punya rutinitas pasti, lelaki itu juga orang sibuk. Sibuk
menggelandang. Ia adalah gelandangan sejati. Siapa yang mau berguru datang
padanya.* Tak peduli digusur, digiring untuk ditertibkan, atau diculik lalu
ditatar, ia selalu pulang pada tempatnya yang hakiki: jalanan.
Ia pernah mendengar bahwa manusia-manusia terlantar
seperti dirinya dipelihara oleh negara. Itu sangat benar dan betapa ia ingin
berterima kasih kepada pemerintah karena masih membiarkannya berkeliaran di wilayah
negara ini, mengais tong-tong sampahnya, dan bukannya mengenyahkannya dengan
ditenggelamkan ke laut lalu menjadi santapan ikan—ikan yang lalu menjadi
konsumsi orang-orang seperti yang dianjurkan Ibu Menteri.
***
Lelaki itu mengawali harinya dengan berkunjung ke warung
Bu Yun, seorang perempuan murah hati pemilik warung makan di ujung jalan. Ia
sering menongkrongi warung perempuan itu untuk mendapatkan satu dua buah tempe
goreng, yang ia nikmati sambil menonton televisi. Kalau televisinya tidak
dinyalakan, lelaki itu tetap menongkronginya. Ia menyapu pekarangan yang jarang
kotor, atau membantu mengisikan air bersih ke dalam ember-ember, demi mendapatkan
seporsi nasi, dengan atau tanpa lauk, dan cukup bersyukur dengan siraman kuah
santan berminyak-minyak.
Melalui tayangan televisi yang lebih sering diabaikan
pengunjung itu si lelaki mengisi kepala dengan acara-acara berbobot. Agak
mengherankan. Ia tak suka acara sinetron, gosip, maupun program-program hiburan
penuh drama yang tak berfaedah. Boleh
dikatakan, ia termasuk gelandangan pintar sekalipun dirinya tak memegang
semacam kartu yang menjamin kepintaran seseorang.
Lelaki itu memegang perutnya, benar-benar kelaparan
karena kemarin malam ia tak makan. Nasi sisa yang disimpannya dalam sebuah plastik
kresek dan ia kepit seharian disambar seekor kucing yang langsung hilang entah
kemana. Kalau kucing itu juga gelandangan, ia berpikir masih bisa memaafkannya.
Sesama gelandangan juga harus saling tolong menolong. Tapi, kalau ternyata ia
kucing yang berasal dari sebuah rumah dan sebenarnya hidup berkecukupan dan
mencoleng makanan hanyalah kegiatan iseng baginya, si lelaki bertekad tak akan
memberi ampun dan berencana menendangnya bila suatu waktu mereka kembali
bertemu.
Warung Bu Yun sudah ramai oleh pelanggan. Perempuan itu
bersama dua pekerjanya sedang sibuk meracik pesanan, mengisi piring-piring dan
mangkuk, mengantarnya ke sana sini, kembali dengan piring kosong, dan mengulang
prosedur yang sama. Lelaki itu melambaikan tangan, sekedar memberi tahu kalau
ia sudah datang. Bu Yun hanya tersenyum sekilas, lalu kembali sibuk.
Lelaki tersebut duduk di sisi warung dengan mata
menengadah ke salah satu pojok kedai dimana televisi tengah menyiarkan acara bincang
pagi diselingi informasi-informasi ringan. Pagi ini, acara itu disela oleh
sebuah berita kehilangan. Sebuah keluarga, kira-kira begitu, berdiri berderet
di layar. Mata mereka sembab. Seorang gadis kecil memeluk sebingkai foto yang
memperlihatkan sepotong wajah lelaki tua yang pandangan matanya tengah
menerawang entah kemana.
Si perempuan muda—ibu si gadis kecil—dengan suara
seraknya karena habis menangis, menginformasikan bahwa ayahnya yang berusia
senja telah meninggalkan rumah. Lelaki itu tercenung. Matanya tiba-tiba
berkabut. Ingin ia usir secercah kenangan pahit yang menyeruak dalam kepalanya,
namun tak berhasil. Ia ingat pernah berada di layar televisi seperti itu. Tepatnya,
ia adalah lelaki yang berada dalam bingkai foto. Wajahnya dalam foto itu jauh
lebih muda dari usianya sekarang, berpakaian resmi dengan jas dan dasi yang
serasi, rambut tertata rapi, tatapan fokus, dan senyum yang terhormat.
Ia ingat ayah dan ibunya juga tampil di televisi dengan
berlinang air mata. Sang ibu sesenggukan ketika memintanya pulang, namun lelaki
itu tak pernah berniat untuk kembali. Ia bertekad untuk menghapus masa lalu
yang tak ingin ia ungkit lagi, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia tahu pasti,
orang tuanya menempuh cara ini karena sudah putus asa setelah mengerahkan
sejumlah orang untuk mencari, lengkap dengan sejumlah cara yang mereka anggap
ampuh tetapi tidak.
Ketika orang-orang suruhan ayahnya menyisir ibu kota dan
negara yang diperkirakan sebagai tempat pelariannya, ia tengah berjalan-jalan
santai di sebuah pedesaan dengan kumis dan janggut yang tak dicukur hingga ia
tak mudah dikenali lagi. Ia keluar masuk desa dan menjelajahi kota-kota kecil
di kaki gunung, jauh dari hiruk-pikuk ibukota yang dibencinya. Ia sepenuhnya
telah bebas dari aturan-aturan ayahnya yang mengekang, kemewahan yang terasa
hambar, serta kewajiban mewarisi perusahaan raksasa sang ayah serta sifat
diktatornya. Ia mendapati bahwa hidup menjadi dirinya terasa menyenangkan
dan…keputusan yang tepat! Ketika persediaan uangnya habis, ia terdampar di
warung Bu Yun, yang lalu ‘memeliharanya’ hingga kini.
Lelaki itu menghela nafas, kembali memperhatikan berita
di televisi. Perempuan itu mengatakan ayahnya pergi pada malam tiga hari yang
lalu dan tak ada kabar hingga kini. Dengan resah, ia menjabarkan informasi
detail tentang ayahnya itu: tahi lalat di bawah mata kiri, pakaian yang ia
kenakan terakhir kali, rambut dan kumis berwarna kelabu, serta perkiraan waktu
ia meninggalkan rumah. Ia juga menyebutkan nomor ponsel serta alamat yang cukup
lengkap.
Informasi penutup: bagi yang menemukan dan memberi
informasi keberadaannya akan diberi hadiah sepantasnya.
Si lelaki menelusuri wajah penuh kerut dalam bingkai
figura itu. Kasihan sekali kau, kakek tua!
Ia membatin. Hingga di usia senjamu, kau
masih diikat oleh mereka. Aku tahu kau pergi untuk mencari kebebasan, namun
kini kau dijadikan buronan. Apakah kau sudah mencicipi hidup bebas di luar
sana, sepertiku?
Informasi tambahan: orang tua itu sudah kehilangan daya
ingat pengaruh usia. Dan, ia juga sedikit kehilangan akal sehat.
Lelaki itu tak dapat menahan rasa geli yang berputar-putar
dalam perut laparnya. Ia tertawa
terbahak-bahak. Sungguh lucu! Kadang, manusia memang harus menjadi seseorang
yang kehilangan akal sehat agar bisa mendapatkan kebebasannya, agar terlepas
dari belenggu pikiran dan aturan-aturan.
Mereka; anak, menantu, dan cucu itu sedikit pun tak peka.
Anggota keluarga mereka yang hilang itu adalah orang yang ingin merdeka.
Sekarang mereka mengumandangkan berita kehilangan dengan harapan dapat menawannya
kembali. Dalam hati si lelaki berdoa sungguh-sungguh, semoga pemilik raut
kosong dalam bingkai foto itu tidak pernah ditemukan. Pergilah
yang jauh, kakek tua! Reguklah esensi kebebasan! Bertemanlah dengan burung dan
cacing-cacing!
Medan,
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar