RUMAH
INANG
Oleh
Dian Nangin
Inang
sebenarnya ingin memprotes dengan keras anak-anak dan para menantunya yang
tengah berunding di hadapannya, namun tubuhnya yang tak berdaya hanya
duduk kaku di atas kursi roda.
Batinnya bergemuruh mendengar hal yang sungguh tak ia inginkan; mereka sepakat
untuk menitipkannya ke panti jompo. Kesepakatan lainnya adalah menjual rumah
milik Inang yang kini sudah tak ada lagi yang mengurusnya, sebab nyaris dua
tahun terakhir Inang dirawat di rumah sakit karena menderita stroke.
Kedua bola mata Inang bergerak, berusaha menjangkau sebanyak mungkin pemandangan
dalam rumahnya.
Menikmatinya dalam lirih. Ia
perlahan menyusuri bagian dalam bangunan yang setidaknya telah berusia satu
abad ini.
Rumah ini juga peninggalan orang tuanya yang
diwariskan padanya. Di sanalah berlangsung masa kecil Inang hingga ia menikah
dan menjalani kehidupan dengan suami serta keempat anaknya, ribuan hari
lalu, dalam banjir duka ataupun luapan suka.
Kehidupan terus
bergerak dan berubah. Anak-anak tumbuh dewasa dan Inang menua. Ketika mereka sudah sukses di kota, Inang juga
terkena perciknya. Putra putrinya yang telah menjalani kehidupan modern
menjejali rumah tua Inang dengan barang-barang canggih produk masa kini. Padahal,
seperti kebanyakan para orang tua yang tinggal di kampung, mereka selalu ingin
bertahan dalam kesederhanaan. Namun, kesederhanaan itu tak lebih dari sebuah
kekolotan di mata mereka—anak-anak yang
telah mencicipi kehidupan modern.
Mereka pikir kecanggihan
itu akan membuat hidup Inang lebih mudah, namun nyatanya membuat situasi
perempuan tua itu makin rumit. Ia harus memaksa otaknya yang juga sudah tua
agar mampu mempelajari dan beradaptasi dengan barang-barang tersebut. Sering
sisi melankolinya muncul, berpikir bahwa bila ia menghadapi perubahan itu bersama-sama
dengan suaminya, barangkali bebannya tidak akan seberat itu.
Namun malang, lelaki
itu sudah meninggal dua puluh tahun silam. Meninggalkan Inang berjuang sendiri
untuk menyokong kehidupan anak-anaknya lewat sepetak lahan dengan bertani.
Berjuang bertahun-tahun hingga semuanya mencapai kesuksesan masing-masing.
Sayang, kesuksesan itu tidak disertai dengan pengertian akan apa yang
sesungguhnya diinginkan ibu mereka.
Hati Inang ngilu.
Kalau benar anak-anaknya akan menjual rumah ini, maka ini menjadi kali terakhir
bagi mereka untuk berada di dalamnya. Rumah itu memang sudah sangat tua,
bermodel rumah panggung dengan debu menempel dimana-mana. Tentu tak ada satu
pun anaknya yang ingin menempatinya, sebab kenyamanan dan kemewahan rumah ini
tak sebanding dengan bangunan megah bergaya barat yang mereka miliki di kota.
Dalam diam, Inang
seakan hanyut ke dalam dunianya sendiri. Ia telusuri jerejak-jerejak jendela
yang dihiasi tirai sederhana yang ia jahit sendiri. Foto-foto tua yang
menggantung di dinding. Hasil-hasil prakarya anak-anaknya semasa sekolah
terpajang di lemari kaca yang tak lagi berkaca. Meja makan yang dibuat sendiri
oleh suaminya. Bunga-bunga plastik usang yang telah menjadi dekorasi rumah itu selama
bertahun-tahun. Rembesan air hujan di langit-langit. Tumpukan tikar lapuk di salah satu sudut. Tak ketinggalan barang-barang elektronik
kiriman anak-anaknya yang tak pernah ia sentuh. Televisi besar berlayar datar
yang ditutupi sehelai kain. Lemari pendingin yang kosong. Penanak nasi yang tak
pernah digunakan. Kipas angin yang jarang difungsikan.
Inang termangu. Bocah
laki-laki dan perempuan berlarian di sekitar kursi roda tempatnya teronggok,
menendang-nendang bola plastik sambil tertawa terpekik-pekik. Cucu-cucu yang
berisik. Tak ada yang memahami raut sendu dan katup bisu bibir Inang.
Delapan orang dewasa
mengeliling meja dengan map-map terbuka di atasnya. Beberapa lembar kertas
dibaca bergantian. Mereka terus berunding, belum ditemukan kata sepakat. Map-map
berpindah ke sana ke sini. Telunjuk-telunjuk mengarah pada kertas satu ke
kertas lainnya. Tak peduli pada Inang yang nelangsa.
Inang mencoba
bicara, mengeluarkan bebunyian dari tenggorokannya yang senantiasa terdengar
ganjil. Putri bungsunya menoleh.
“Ada apa, Bu? Apa
yang Ibu inginkan? Minum? Makan? Ke kamar mandi? Ibu ingin tidur?” perempuan
bertubuh gempal itu memberondong Inang dengan pertanyaan yang biasa ia ucapkan,
sama sekali tak menangkap maksud lain dari suara aneh ibunya.
Inang berbicara
lagi. Namun yang terdengar hanyalah geraman dan lenguhan yang tak mudah
diartikan. Ditawarkan segelas air, Inang menggeleng. Disodorkan sepiring
penganan ringan, Inang juga menggeleng. Didorong menuju kamar mandi, Inang tak
bergerak. Dibaringkan di kasur, Inang menolak. Anak-anak yang kebingungan itu
memilih melanjutkan perundingan.
Setelah perundingan selesai, beberapa lelaki
asing datang—calon
pemilik rumah serta lahan Inang yang baru. Perempuan tua itu tak berdaya
menolak sebab anak-anaknya berusaha meyakinkannya, bahwa itu adalah pilihan
terbaik. Mereka sudah cukup mapan hingga mampu melepas lahan kecil beserta
rumah usang di atasnya. Inang membatin lirih, menyesalkan betapa kini uang sudah
mampu mengambil alih segalanya, termasuk membeli kenangan. Seakan sejarah
selama puluhan tahun yang tergores di dalam rumah itu tak lebih berharga
dibanding segepok uang yang bisa ludes dalam hitungan menit.
Ketika tanda tangan
Inang kemudian tergurat, anak-anak dan menantunya bergantian menepuk lembut
bahunya, mengelus punggung tangannya, seolah ingin menenangkan hatinya dengan
ketulusan namun Inang tahu semua palsu belaka.
“Terima kasih, Bu,
terima kasih,” putra sulungnya berucap dengan nada bangga, seolah Inang baru
saja melakukan sebuah tindakan heroik.
Ah, ya! Inang baru
saja menjadi pahlawan, juruselamat. Ia berkorban, mengalah demi menyelamatkan
anak-anaknya dari kerepotan atas keharusan mengurus dirinya yang sudah tak
berdaya. Inang harus memikul pilunya hati sebab akan digelontorkan ke panti
oleh putra-putri yang pernah bersemayam di rahimnya sendiri.
***
Panti Jompo Surya.
Itulah nama tempat
dimana Inang akhirnya berlabuh. Rumah asing yang menggantikan rumah tuanya yang
penuh kenangan. Kedatangannya disambut dengan keramahan dan kehangatan yang
hambar. Seorang perawat di sana menuturkan pada Inang bahwa sesungguhnya, walau
para penghuni panti jompo itu sudah memasuki usia senja, mereka masih bisa
bersinar terang.
“Seperti sang surya,”
katanya sembari tersenyum sumringah.
Inang mencibir dalam
hati. Sungguh kata-kata yang manis, namun ia tahu itu hanya bualan semata.
Mereka semua memang sudah berusia senja. Tinggal menunggu waktu yang hanya sebentar
lagi untuk terbenam. Menjadi tiada. Ditangisi sebentar dan lalu terlupakan.
Anak-anaknya, dengan
rasa puas tersirat di wajah, merasa tempat itu cukup sempurna untuk
mempercayakan ibu mereka. Mereka pamit setelah masing-masing memberi ciuman
singkat di pipi atau kening Inang, berjanji akan sering kembali untuk
menengoknya.
Namun, perempuan tua
itu seakan telah mati rasa. Ia hanya mendapati kekosongan dalam janji itu, tahu
benar bahwa kepentingan dan kesibukan mereka berada di atas segalanya hingga
untuk sekedar mengurus wanita yang telah melahirkan dan membesarkan mereka pun
mereka tak punya waktu.
Inang menatap
punggung-punggung itu pergi menjauh dengan pandangan yang mengabur karena
penglihatannya memang sudah memburuk, ditambah air yang menggenang di pelupuk
matanya. Air yang perlahan jatuh satu demi satu.
Medan,
2017-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar