Halo, Februari!
Selamat tinggal Januari! Tak terasa tahun
2020 sudah sebulan berlalu. Bagaimana harimu? Hidupmu? Beranjak dengan ceria?
Atau sudah kelelahan dihajar berbagai problema dan cobaan? Kalaupun, ya, mari
lupakan sejenak. Ada banyak hal menyenangkan dan berkesan yang patut dikenang.
Dan, ini kenanganku—kenangan kami.
Sebelum kembali ke dalam jeratan rutinitas
yang tak kenal ampun, saya bersama adik, abang dan saudara sepupu menyusun
rencana untuk bepergian pada tanggal 14 Januari 2020. Here we go…
1.
Situs Budaya Puteri Hijau di Desa Seberaya, Kec. Tiga Panah, Kab. Karo
Pada pagi hari pukul 09.30, kami berangkat.
Setelah mengisi bensin mobil, perjalanan dimulai. Adik sepupu selaku pengemudi
memacu mobil menuju Simp. Ujung Aji, masuk ke dalam dan terus mengemudi
mengikuti lekak-lekuk jalan aspal, berbelok ke sebuah persimpangan, terus
melaju hingga tiba di sebuah gapura berwarna hijau.
Tujuan kami yang pertama:
Situs Budaya Puteri Hijau Desa Seberaya. Setelah bertanya kepada seorang petani
yang tengah menyiangi padinya, kami menemukan situs itu tidak jauh dari gerbang
masuknya. Situs tersebut berada di sebuah bukit rendah dengan sejumlah anak
tangga untuk mencapainya. Namun, demi melihat lokasi situs tersebut, kami
terdiam dan berpandangan. Hal pertama yang ditangkap mata adalah kesan mistisnya.
Tak ada pemandu atau apapun
yang dapat digunakan sebagai sumber informasi. Kami menaiki anak tangga dan mengucap
salam dengan pelan, lalu melihat-lihat sekeliling situs, mengintip sedikit ke
dalam ruang utama dan mendapati keadaan yang kotor: puntung rokok, bunga-bunga
busuk dan kering, mungkin bekas ziarah para pengunjung yang entah kapan.
Sekeliling situs dipenuhi semak belukar, dikelilingi pohon-pohon besar dengan
cabang ranting yang sebagian telah rapuh dan patah, sebagian telah landai ke
atas bangunan. Beberapa bendera merah-putih kecil nan usang yang diikatkan pada
ujung tangkai kayu berkibar lemah. Sungguh pemandangan yang memprihatinkan.
Setelah berseluncur sejenak di google, saya mengetahui
bahwa yang berada di situs budaya ini adalah peninggalan gulungan rambut sang
Puteri Hijau yang konon terkenal kecantikannya (untuk kisah lengkapnya, silakan
baca sendiri di google hehe). Ditambah dengan lubang tempat lahir Puteri Hijau dan kedua saudaranya: seekor
naga bernama Ular Simangombus dan Meriam Puntung. Turut pula Lau Pirik yakni
tempat mandi Puteri Hijau.
2.
Museum Letjen Jamin Ginting
Next destination!
Masih searah dan tidak terpaut
jarak yang jauh dari situs budaya Puteri Hijau, kami menuju Museum Letjen Jamin
Ginting. Setelah tersasar sebentar hingga ke Desa Semangat, kami akhirnya tiba
di museum disambut sepi. Tentu saja, karena kami berkunjung pada hari kerja.
Tiket masuk sebesar Rp. 5000/orang.
Desain bangunannya cukup
megah dan modern dengan sedikit sentuhan lokal. Museum dengan dua lantai ini
memamerkan replika barang-barang tradisional Karo di lantai satu, sedangkan
lantai dua berisi barang-barang pribadi peninggalan Jamin Ginting serta dokumentasi
perjalanan hidupnya.
Museum ini telah menjadi ikon Desa Suka
selaku tempat kelahiran sang pahlawan nasional. Selain dapat menikmati berbagai
pajangan peninggalan Jamin Ginting yang tentunya menambah pengetahuan, museum
ini juga menawarkan tempat berfoto yang oke.
3. Mengelilingi Pedesaan
Barangkali, apa yang
kami lakukan selanjutnya terkesan buang-buang waktu atau buang-buang bensin.
Sebab, kami membiarkan roda mobil menggelinding membawa kami menelusuri
sejumlah desa di Kabupaten Karo, desa yang telah singgah namanya di telinga
sejak kami masih kecil namun tak pernah kami kunjungi. Namun, kegiatan ini tak
akan sia-sia, sebab jelas menambah pengetahuan dan membuat mata terbuka lebih
lebar, mengenali sisi-sisi lain dataran yang kami tinggali. Mobil mengikuti
lika-liku jalan aspal, membawa kami mengitari Gunung Sinabung, berusaha sedekat
mungkin dengannya namun masih dalam jarak aman.
Kami melintasi tanggul-tanggul lintasan
lahar dingin, menjenguk sepintas desa-desa yang telah ditinggalkan penduduknya
dan pergi mengungsi, melihat rumah dan tempat-tempat ibadah yang terlantar dan
mulai dijajah ilalang hingga ke atap-atapnya. Berhenti di jalan yang sepi dan
berdiri di tepi, merentangkan tangan menikmati angin kencang, hingga numpang
berpose di ladang jagung orang.
4. ‘Menyentuh’ Danau Lau
Kawar
Puas
berkeliling tanpa tujuan, kami mengisi perut di sebuah rumah makan yang dipilih
secara acak bernama—mohon jangan ketawa—BPK Pok Ame-Ame J Setelah kenyang dan
meluruskan kaki sebentar, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Danau Lau
Kawar.
Danau Lau Kawar berada di kaki Gunung
Sinabung, tepatnya di Kec. Naman Teran, Kab. Karo, Sumut. Terdampak letusan
Sinabung, kunjungan turis turun drastis. Beberapa sisi gunung memang tampak
gersang, namun pemandangan yang disuguhkan oleh danau yang diapit perbukitan
yang dipadati pepohonan hijau sangatlah memesona. Lokasi Danau sepi ketika kami
tiba. Hanya segelintir pemancing ikan yang tengah menunggui kail mereka serta
sebuah keluarga yang masih bertahan tinggal di tepi danau.
Kami duduk di bangku kayu menghadap danau,
menikmati semilir angin, secangkir teh manis dingin dan pemandangan anak-anak
kecil yang tengah asyik berenang. Kami turut larut dalam kegembiraan mereka yang seakan tak ambil pusing dengan bencana Gunung Sinabung yang berkepanjangan atau tentang hidup yang serba tak pasti. Mereka memperlihatkan kebahagiaan kanak-kanak murni.
Tak ada aktivitas lain di sana. Sungguh
sunyi. Saya bayangkan, dalam keadaan normal sebelum Gunung Meletus, pastilah
tempat ini ramai dikunjungi mengingat keindahan alamnya serta luasnya tanah lapang
yang cocok dipakai untuk piknik hingga kemping. Kami
lalu memuaskan diri berkeliling, mereguk sebanyak-banyaknya pemandangan, dan
menyentuh dinginnya air danau lalu menyimpannya dalam ingatan.
5. Menjemput Malam di
Pemandian Air Panas Desa Semangat Gunung
Pukul
lima sore, kami bertolak dari Danau Lau Kawar dan melaju menuju Berastagi.
Singgah sebentar di Desa Jalan Udara untuk membeli gorengan, lalu tancap gas menuju
Doulu. Tujuan akhir kami adalah pemandian air panas Pariban untuk merendam
tubuh di kolam air panas belerangnya untuk melepaskan penat.
Matahari
perlahan terbenam seiring kami asyik mengobrol dalam kolam sambil memijit-mijit
betis.
Sesungguhnya,
ini adalah perjalanan yang teramat sederhana. Barangkali tempat yang kami
kunjungi bukanlah tempat favorit banyak orang atau bukan destinasi yang tengah
viral. Namun, tak mengapa, sebab esensinya bukanlah tujuan tersebut. Kali ini,
bagi kami, perjalanan bukanlah perkara hendak kemana, namun dengan siapa.
Sekian
Awal Februari 2020
Catatan: semua gambar/foto yang disertakan dalam tulisan ini adalah dokumentasi pribadi. Harap cantumkan sumber bila ingin mengkopinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar