![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
MENYAMPAIKAN
KEKALAHAN PADA IBU
Oleh
Dian Nangin
Betapa berat terasa
kekalahan yang kupikul di bahu lelahku. Malam telah pekat. Bintang tak tampak.
Hanya ada bayangan samar bulan di balik awan tipis, seolah ia menunggu waktu
yang tepat untuk keluar dan menumpahkan sinarnya—sinar yang seolah tidak
dijatahkan untukku. Kuharap ibu sudah tidur, namun harapan itu seketika pupus
sebab kulihat masih ada sejumput cahaya yang menerobos ventilasi jendela. Itu
artinya ibu masih sibuk dengan kain-kain jahitan titipan tetangga.
Tepat di depan
pintu, aku berhenti sejenak. Melintas di ingatanku senyum ibu yang mengembang
lebar siang tadi ketika mengiringi kepergianku dari ambang pintu. Senyum itu
menguarkan sejuta harap bahwa aku akan pulang dengan kemenangan.
Tapi sekarang kepalaku
lunglai, hampir-hampir menghantam pintu dan jatuh ke lantai. Malam ini aku
(kembali) menjadi pecundang, menggenapi kekalahanku untuk ke sekian kali. Tak
kuingat apakah ada mimpi buruk yang singgah di tidurku tadi malam, sebab aku
terlalu asyik berkhayal akan melangkah ke podium tinggi dan menerima trofi
penuh percaya diri. Ternyata, aku belum pantas menjadi jawara. Berbekal
sejumlah prestasi dan pengalaman, kukira aku telah menjadi unggul. Nyatanya masih
ada sejumlah kekurangan yang tak bisa kulihat sendiri. Betapa pahit rasanya
kekalahan dan lebih pahit lagi ketika aku harus menyampaikannya pada ibu malam
ini.