![]() |
Ilustrasi Banjarmasin Post |
PENCARI
HENING
Oleh
Dian Nangin
Tak ada yang
menyambut kedatangan perempuan itu kecuali gerbang kota yang telah usang dan
doyong. Wajah dan penampilannya sarat lelah, tapi tampak segurat harap akan
sesuatu yang telah lama menggelayuti hati dan pikirannya. Ia serupa musafir
yang telah melakukan pengembaraan yang jauh namun belum juga menemukan tempat
perhentian yang tepat.
Perempuan
itu memasuki kota sembari bertanya-tanya, apa yang tengah dilakukan penduduknya
hingga mereka tak sempat menaruh perhatian pada gerbang utama sampai
terbengkalai begitu? Bukankah penampilan dan kesan pertama yang diberikan
‘wajah’ kota akan mewakili keseluruhan isinya?
Memasuki tengah kota,
manusia tampak berseliweran. Berkelompok dan berduyun-duyun. Sebagian besar
memperlengkapi diri dengan umbul-umbul dan atribut. Mereka menyerukan yel-yel,
meneriakkan slogan-slogan dengan kencang. Tampaknya sesuatu yang besar tengah
berlangsung.
“Apa
yang sedang terjadi di sini?” perempuan itu bertanya pada seorang pedagang kaki
lima yang terlihat benar memanfaatkan keramaian itu untuk mengeruk keuntungan.
“Mereka tengah
melakukan aksi damai.”
“Aksi damai?” perempuan
itu bertanya dengan kening berkerut. Tak habis pikir dengan makna damai yang tersintesa
di benaknya dengan apa yang tersaji di hadapannya. “Apa kedamaian akan datang
lewat hiruk pikuk itu?”
Si pedagang kaki lima kini
tak menjawab sama sekali. Agaknya ia berpikir bahwa pertanyaan perempuan itu
sebuah retorika. Namun, perlahan terbit secercah harapan dalam hati perempuan
tersebut. Kalau orang-orang ini benar tengah memperjuangkan damai, barangkali
ia telah berada satu langkah lebih dekat dengan apa yang ia cari. Maka
perempuan itu memutuskan membaur bersama keramaian tersebut, berusaha
beradaptasi dengan hingar bingar yang selama ini selalu ia hindari. Berpikir
bahwa bila ia sanggup bertahan sebentar saja, ia akan memperoleh apa yang
selama ini susah payah ia cari.
Waktu
bergulir menuju tengah hari. Matahari membara. Namun tak seorangpun surut dari
keramaian itu. Pemimpin aksi memandu yel-yel hingga suaranya serak, meneriakkan
poin-poin masalah yang ingin ia perdengarkan entah pada siapa. Baru perempuan
itu paham bahwa mereka ingin memprotes undang-undang yang ditetapkan
pemerintah, undang-undang yang dianggap merugikan kelompok mereka.
Baru satu jam berlalu,
perempuan itu merasa tersesat dan tak dapat bertahan. Maka ia menguak kerumunan
itu dan berusaha menjauh sambil menahan mual, berpikir bahwa situasi semacam
itu sama sekali tak cocok untuknya.
Bukan satu dua kali ia
mendapati kerumunan memadati kota-kota yang ia kunjungi. Baru beberapa waktu
lalu ia keluar dari sebuah kota yang gemar berdebat, adu pendapat. Apa saja
bisa menjadi sumber perdebatan, segala hal dapat menjelma umpan yang memancing
perselisihan.
Puncaknya
adalah ketika momen pemilihan walikota tiba. Debat yang menjadi agenda wajib
serta tak pernah absen itu berlangsung alot dan mendebarkan. Suasana menjadi
lepas kendali ketika masing-masing kubu pendukung bersikeras mengagungkan
pilihan mereka dan entah sengaja atau tidak mulai menyinggung hal-hal sensitif
yang tak perlu didengungkan. Alhasil, adu mulut tak terhindarkan. Situasi
memanas. Perempuan itu memutuskan angkat kaki secepat mungkin, sepenuhnya yakin
bahwa apa yang ia cari tak ada di kota itu.
Pada
kunjungan-kunjungan sebelumnya, perempuan itu juga menemukan kota yang tengah ‘bergejolak’.
Seluruh penduduknya tumpah keluar untuk mendemo wakil rakyat yang telah
ketahuan korupsi namun tak juga mengaku. Si wakil rakyat telah merugikan negara
dalam jumlah besar, namun ia masih juga berkilah walau bukti-bukti yang
mendukung telah dibeberkan. Orang-orang marah besar, memilih turun tangan sebab
tak ada cara lain untuk melengserkan si wakil rakyat. Mereka berpikir
pemerintah dan pihak-pihak berwenang terlalu lambat bertindak.
Lalu,
tak ketinggalan kota yang dijuluki tak pernah tertidur. Kota yang senantiasa
riuh siang atau malam, seolah dua pembagian waktu itu tak punya perbedaan. Jalanan
selalu dipenuhi kendaraan, aktivitas terus berputar, orang-orang terus
bergerak.
Dan,
kota ini pun tak ada beda dengan kota-kota sebelumnya. Namun perempuan itu
memilih tak menyerah—terlalu dini untuk berhenti. Ia tak tahu apakah yang
dicarinya masih jauh atau sudah dekat, namun ia tetap bertekad untuk
mendapatkannya, seakan seluruh esensi hidupnya bergantung akan hal itu.
“Tampaknya
kau bukan penduduk kota ini. Apa yang membawamu ke sini?” seseorang yang berada
di kerumunan tiba-tiba bertanya.
“Aku
tengah mencari sesuatu,” perempuan itu menjawab.
“Apakah
gerangan?”
“Hening.”
“Kau
mencari hening?” lawan bicaranya tampak berpikir sejenak, lalu menyahut dengan
jawaban yang jelas-jelas bertujuan untuk mengolok. “Barangkali kau bisa
menemukannya di hutan.”
Perempuan
itu terdiam sesaat, lantas menggeleng prihatin. Melintas di benaknya berita
yang muncul di surat kabar harian kemarin; beberapa kelompok manusia egois nan
oportunis membakar hutan demi kepentingan mereka sendiri. “Bahkan, hutan sudah
habis digasak demi menampung hingar bingar manusia.”
Tak
ada yang menanggapi. Entah mereka pura-pura tak mendengar, atau mendengar namun
tak peduli, atau mendengar namun tersindir dan memilih diam. Perempuan itu menghela
nafas. Bukan hanya sekali dua pula ia menemukan situasi semacam itu; tak
seorang pun paham isi hatinya. Mereka selalu berada di persimpangan yang
berlawanan. Perempuan itu ingin keheningan, kedamaian. Namun orang-orang itu
justru menikmati hiruk pikuk yang memuakkan.
Tanpa menunggu lebih lama, ia mengemasi
barang-barangnya. Perempuan itu melanjutkan pencarian, tanpa menoleh ke
belakang dimana aksi damai berakhir rusuh dan berbagai pihak terlibat bentrok
yang semakin beringas.
Medan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar