![]() |
Ilustrasi Harian Waspada |
SENYUM
SEHANGAT SENJA
Oleh
Dian Nangin
~untuk
bapak, untuk mamak
Sengaja aku
menunggu di persimpangan jalan. Aku ingat pada jam seperti ini, mereka akan
muncul di belokan itu, tak jauh dari tempatku menunggu. Aku suka pemandangan yang
sederhana ini; sepasang manusia berusia senja melangkah bersisian sambil
bergandengan tangan. Si lelaki akan memegang cangkul di tangannya yang lain,
dan perempuannya akan menenteng sebuah keranjang anyaman berisi rantang dan
botol air yang sudah kosong. Langkah mereka pelan. Sepanjang hari mereka
mengisi waktu dengan bekerja di ladang, mengandalkan sisa-sisa tenaga yang tak
seberapa. Sesungguhnya uang pensiun masih cukup untuk berdua, namun berdiam dan hanya tinggal di rumah akan
membuat mereka bosan dan sakit kepala.
Hari
ini aku pulang. Anak-anak di perantauan selalu ingin pulang. Dan, ayah ibu
adalah tempat untuk pulang. Kadang tanpa alasan khusus, bukan pula karena ada
momen istimewa. Hanya karena ada ketukan ambigu dari dalam hati yang kemudian
kutemukan namanya; rindu.
Pulang, bagiku, kembali
ke titik awal untuk mengisi ulang daya dan energi yang kubutuhkan untuk
kugunakan kemudian di hari esok.
***
Tak
menunggu lama, mereka akhirnya datang. Kemunculan yang persis seperti
bayanganku. Keduanya tak menyadari keberadaanku. Sengaja aku menyembunyikan
diri agar bisa memuaskan diri mereguk pemandangan itu.
Lelaki itu, ayahku.
Bagiku ia tak ubahnya matahari. Ia adalah poros. Tempat bergantung. Salah satu
sumber energi terbesar, energi yang sudah banyak kuserap untuk kehidupanku. Ia
juga baik, menitipkan sebagian cahayanya pada bulan dan bintang-bintang. Hingga
aku tak akan pernah benar-benar terjebak dalam kegelapan sekalipun ia tiada,
untuk sementara ataupun untuk selamanya.
Tapi matahari sering
ditutupi awan mendung. Kadang dipaksa kalah oleh badai. Sering juga ia panas
terik, membara dan membakar. Begitulah adanya, demikianlah perannya.
Namun, ada rumah yang selalu
melindungi dari segala terpaan perilaku matahari. Ia tempat bernaung dari
beragam cuaca. Ibu adalah rumah. Di dalamnya aku akan aman, nyaman, dan terjaga
hangat. Ia menjadi tameng yang berada di barisan paling depan untuk menghalau
apapun yang mencoba mengacaukan seluruh penghuninya.
Rumah dan matahari
hidup berdampingan, menjalankan fungsi masing-masing, menempa dan membentukku
hingga kelak aku juga menemukan fungsi hidupku.
Sewaktu masih kecil
dulu, aku berpikir kesenangan dan kepolosan akan berlangsung selamanya. Masa
kanak-kanak akan abadi. Tak tahu bahwa segalanya semakin rumit ketika waktu
berputar, seiring hidup bergulir semakin jauh.
Sesekali terbit
sekelumit perselisihan. Aku memelihara mimpi yang tak sesuai keinginan ayah
ibu. Aku dan saudara-saudaraku selalu keras kepala serta keras hati, yang lalu
pergi meninggalkan rumah. Mencari wadah yang lebih luas untuk merealisasikan
cita-cita. Mencari sokongan dan dukungan yang lain. Kadang tak lagi menyadari,
bahkan nyaris tak peduli, bahwa sang matahari masih setia menyokong kami dengan
energinya. Bahwa rumah selalu menunggu kepulangan penghuninya.
Pada akhirnya, mereka
yang selalu mengalah dan melunakkan hati. Mereka yang selalu pertama kali
tersenyum, menyapu mega mendung yang menyelimuti langit perseteruan. Sikap yang
menumbuhkan rindu yang tak dapat disangkal.
***
Mereka semakin dekat.
Aku menyadari langkah keduanya sedikit bertambah lambat dari yang terakhir
kulihat. Aku tergugu. Ibu sudah semakin rapuh. Sekuat apapun hatinya, tubuhnya
takkan pernah menang melawan waktu.
Ayah juga tengah menuju
senja. Namun, seperti selalu, ia masih berusaha kuat mengerahkan sisa-sisa
cahayanya; kasih sayang dan cinta yang ternyata semakin indah walau perlahan
tubuhnya terbenam. Malam akan segera turun seiring tubuh itu tenggelam ditelan
tubir barat. Barangkali kebersamaan tak bisa berlangsung selamanya. Namun aku
yakin suatu saat akan datang lagi waktu untuk kembali bersua—aku selalu
memelihara harapan ini dalam hati.
“Jika
kau ingin mengucapkan selamat tinggal, lakukan seperti matahari tenggelam,”
kataku kepada diri sendiri.
Sampai
ketemu besok pagi. Lagi.*
Kini jarak kami hanya
beberapa meter saja. Aku memutuskan keluar dari persembunyian. Memilih bergabung
dengan mereka, berjalan bersama menuju rumah.
DORR! Aku melompat dari balik tiang
listrik dan mengejutkan mereka dengan cara yang sangat kekanak-kanakan. Sikap
yang sesungguhnya tak pantas dilakukan seorang lelaki dewasa pada orang tuanya.
Namun reaksi mereka tak begitu memuaskanku. Ibu hanya membelalak selama dua detik,
lalu melepaskan tangan ayah untuk memelukku. Aku balas memeluk. Ayah tersenyum.
Ibu tersenyum. Senyum yang berasal dari bibir-bibir keriput namun teramat cerah
dan hangat seperti larik-larik cahaya matahari senja yang berwarna keemasan.
Medan,
2017-2018
*Petikan
puisi M. Aan Mansyur yang berjudul ‘Kepada Kesedihan’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar