![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
RINDU
DARI TEPI DANAU
Oleh
Dian Nangin
Embun pagi masih tersampir di ujung
daun-daun mangga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Pagi ke sekian
ratus kembali tiba sejak kepergiannya. Aku berdiri di kusen jendela, membiarkan
angin yang bertiup sepoi dari danau menerpa wajahku. Kupandang pohon mangga
yang berdaun lebat namun sudah lama tak berputik itu, seakan ia tak lagi
menemukan cinta dan gairah musim sebagai alasan untuk kembali berbuah. Pohon
itu berdiri sendiri di pekarangan berpasir. Seolah kami sama-sama terikat dalam
satu predikat sebagai dua makhluk yang kesepian.
Sudah hampir dua tahun dia pergi,
kekasihku yang berambut panjang dan bermata teduh. Tubuhnya semampai, dengan
bibir tipis yang menerbitkan lesung pipi kala tersenyum. Kami pertama bertemu
ketika ia datang dari kampung sebelah, menempati sebuah kamar yang menghadap
danau di penginapan kecil yang dikelola ayahku. Keakraban kami terjalin ketika
aku sedang mengemasi buku-buku tua yang ditinggalkan para tamu yang pernah
singgah di penginapan kami.
“Aku suka membaca,” katanya waktu
itu, membuatku urung membuang buku tak bertuan yang sebagian berbahasa asing itu.
“Kau boleh memilikinya,” tawarku.
“Turis-turis itu datang dan pergi, meninggalkan buku lebih banyak lagi.
Sementara penduduk kampung, kau tahu, para orang-orang tua terlalu sibuk
bekerja hingga tak ada waktu bagi mereka untuk membaca. Sementara anak-anak
muda, perhatian mereka seluruhnya telah diserap oleh teknologi dan dunia maya.”
Matanya berbinar, ia tersenyum.
Sejak saat itulah aku jatuh hati. Ia menempati kamar itu beberapa waktu dan tak
kunjung pergi. Ketika kutanya apa ia tak ingin pulang, ia malah meminta untuk
diizinkan tetap tinggal.
“Orang tuaku sudah tiada. Tak ada
yang menungguku,” jawabnya. “Lagipula, aku sedang menulis sebuah novel. Tempat
dan buku-buku ini memberiku banyak inspirasi.”
Betapa bahagia aku mendengarnya. Demi
kecintaannya pada buku dan kecintaanku padanya, aku membuat sebuah rumah kecil
tak begitu jauh dari penginapan. Buku-buku itu kupindahkan ke sana, agar ia
dapat menyalurkan isi kepalanya tanpa ada yang mengusik.
Setiap hari aku menjenguknya ke
sana. Bila ia sedang sibuk dengan tulisannya, aku memilih berdiam diri sambil
membaca buku, berusaha mengakrabkan diri pada apa yang disukainya. Bila sedang
senggang, kami pergi mengayuh perahu, lalu lalang di atas danau tanpa tujuan,
mengobrol topik yang berganti-ganti. Berbulan-bulan lamanya kami menjalani
aktivitas itu, hingga akhirnya menjadi rutinitas yang menyatu dengan hidup.
Namun, ternyata tak ada yang abadi.
Kupikir kebersamaan kami akan berlangsung selamanya dan kebahagiaanku tak
diinterupsi, namun pemikiran itu terlalu naif. Impian ketika suatu hari aku
akan melamarnya, kami menikah, dan membangun rumah tangga di tepi danau ini
lalu buyar. Tak pernah melintas dalam bayanganku bahwa ketika tulisannya itu
rampung, ia pamit pergi ke kota sebab tak butuh inspirasi lagi. Ia ingin
pengalaman baru.
“Bukankah kau begitu mengagumi rumah
kecil berpagar bambu ini? Bukankah cintamu hanya untuk buku-buku yang walau
sudah usang dan berbau apek ini, kau anggap sangat berharga?” itu yang dulu
kukatakan ketika berusaha menahan langkahnya.
“Memang benar, namun aku yakin akan
ada buku-buku lain yang akan kutemukan di sana nanti. Juga pengetahuan-pengetahuan
baru yang pasti akan berguna kelak,” jawabnya.
Aku hanya mengangguk sambil
menyembunyikan kecewa, tak ingin terlihat egois dengan bersikeras memaksanya
tidak pergi.
“Setelah bukuku terbit, aku akan
kembali untukmu,” janjinya,”jangan khawatir.”
Begitulah. Ia pergi dan aku mulai lagi membangun
mimpi-mimpi. Sepeninggalnya, aku memutuskan untuk menempati rumah kecil itu.
Berharap bisa melipur lara lewat kenangan yang kami miliki bersama di sana.
Tapi nyatanya tidak semudah itu. Rinduku tak kunjung sembuh. Sering aku pergi
mengayuh perahu sendirian, mengitari danau yang pernah kami kitari bersama,
melarungkan rinduku di sana. Sesekali, kutiru tingkah-tingkah tokoh dalam kisah
fiksi itu dengan menulis surat di atas perahu kertas dan melayarkannya pada
riak-riak ombak. Berharap ia berlayar jauh hingga berlabuh di tempat kekasihku
berada. Namun, itu hanyalah sikap sentimental yang cenderung kekanak-kanakan,
sebab kertas-kertas yang lalu basah dan memudarkan guratan rinduku itu kembali
dihempaskan ombak ke pantai. Kekasihku tak pernah mengirim kabar, pun tak
pernah pulang.
***
Maka, inilah yang kulakukan sekarang.
Memanggul ransel yang telah kukemas hingga larut malam kemarin. Kuarungi perjalanan
selama tujuh jam demi menjenguk si penawar rindu. Kutanggungkan rasa bosan yang
melanda. Kuantisipasi kejutan-kejutan yang mungkin kuterima dari kota yang tak
kukenal.
Udara pengap yang asing menyergapku
ketika bus melewati gapura selamat datang. Inikah ibu kota yang
diagung-agungkan itu, tempat kekasihku menjejalkan diri di antara keramaian,
kebisingan, dan kepekatan polusinya? Di bagian manakah dirinya berada?
Sebelum memulai pencarian, kupilih
untuk mengenyahkan penat di sebuah kedai kopi. Kuhirup secangkir kopi hitam
sambil mempelajari situasi, mengira-ngira darimana aku akan memulai rencana
pencarian yang selama ini telah kurancang.
“Ada-ada saja anak
jaman sekarang,” seseorang di belakangku berkomentar.
“Kenapa memangnya?” seorang lain
menyahut.
“Lihatlah cerita pendek ini.
Seseorang, penulis perempuan, menuliskan sebuah cerita cinta. Lumayan bagus. Yang tak kuduga, pesan
yang diikutsertakan di bawahnya.”
“Pesan apa itu?”
“Ia memutuskan kekasihnya yang
berada di kampung.”
Kutolehkan kepala. Sekumpulan lelaki
yang tampaknya para pengemudi becak motor duduk bergerombol, sarapan pagi atau
minum kopi. Gemerisik kertas koran yang berpindah tangan memenuhi
pendengaranku.
“Ckckck. Tingkah anak jaman sekarang
aneh-aneh memang. Baru kulihat ada yang memutuskan hubungan cinta lewat koran,”
terdengar decak bercampur tawa geli.
“Namanya juga anak jaman now,” seseorang menimpali.
“Boleh saya pinjam korannya?”
tanyaku, tak dapat menahan rasa penasaran yang sejak tadi mengusik. Aku membaca
cepat kisah singkat itu. Mataku bergerak liar seolah ingin mengejar kalimat
berikutnya. Kudapati cerita yang dikisahkan di sana sama persis seperti yang
pernah kualami. Ditambah lagi pesan kecil yang memang ada di bawahnya, yang
berisikan keputusan ingin menyudahi sebuah hubungan cinta. Tubuhku terlunglai
di atas bangku kayu. Sepotong nama seperti milikku dan nama kampungku tertera
di sana.
Kupikir pesan itu hanyalah sebuah lelucon, namun
ketepatan nama dan kisah itu terlalu nyata untuk kusangkal. Apalagi baru
terlihat olehku sebuah foto berukuran kecil di sudut halaman. Penulis itu
adalah kekasihku, yang telah mengambil keputusan sepihak tanpa menghiraukan
penantianku selama hampir dua tahun.
“Ada apa anak muda? Kenapa wajahmu tiba-tiba
pucat begitu?”
Aku hanya membisu. Ingin
kukoyak-koyak lembaran koran ini, lalu melemparnya ke tong sampah hingga
menyatu dengan bau-bau busuk yang bersarang di sana.
“Kalau kau sudah tak ingin membaca
koran itu, kemarikan,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Aku juga ingin
membaca cerita pendek itu.”
Aku berdiri. Kulungsurkan bundelan
koran itu ke hadapannya. Kuletakkan selembar sepuluh ribu di atas meja dan
berbalik pergi. Kutinggalkan cangkir kopi yang baru kuminum seteguk. Penatku mendadak
lenyap. Rinduku pudar seketika. Hanya ada amarah bercampur kesedihan yang
kutahan agar tak meruap di kota ini.
Kubungkus kegalauan dalam hati ketika memesan tiket
pulang. Seperti rindu, biarlah kularungkan juga kepedihan ini ke dalam danau. Kekasih,
ah, mantan kekasihku, sudah memberikan jawaban. Begitu tiba-tiba, tapi aku
sudah tak menginginkan penjelasan. Biarlah kuakrabi kembali kesepian bersama
pohon mangga di pekarangan, sampai ada seseorang yang kelak membuatku
mengakhiri kesendirian.
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar