![]() |
Harian Rakyat Sultra |
MEMBACA
PERTANDA
Oleh
Dian Nangin
“Bagaimana kalau seorang dari kita meninggal,
Bu?” kulontarkan pertanyaan itu pada ibu dengan nada polos. Ibu beberapa kali
membawaku ke rumah duka untuk melayat kerabat atau rekan kerjanya. Alih-alih
bergabung dengan kawan sebaya atau asyik menjilati es krim sementara para orang
tua sibuk menumpahkan tangis di ruang duka, aku justru mengamati raut setiap
orang. Kuterka-terka seberapa dalam hati mereka terluka ditinggal orang yang
mereka kasihi.
“Kalau mati, ya tinggal
ditanam di tanah,” sahut ibuku enteng, seolah prosesinya tak ubahnya
melemparkan ayam-ayam peliharaannya yang mati ke dalam sebuah lubang sedalam
setengah meter lalu menutupnya kembali dengan tanah sembari mengumpat pada
tikus atau musang yang telah menggigiti unggas-unggas itu.
Aku tak tahu apakah jawaban
ketus itu dipengaruhi emosi sebab sudah beberapa kali anak-anak ayam peliharaan
ibu yang baru menetas mati digigit mamalia-mamalia itu. Pupus sudah harapannya
melihat anak-anak ayam yang baru menciap-ciap itu untuk tumbuh besar, hingga
akhirnya tiba waktunya untuk bertelur dan beranak pinak atau diolah menjadi
lauk.
Atau, barangkali aku masih terlalu
kecil untuk menerima sebuah jawaban logis dan agamis.
Kata ibu, masih terlalu
dini bagiku untuk memikirkan kematian. Aku baru saja meniup lilin ulang tahun
berangka tujuh ketika perhatianku terpusat pada ajal. Kebisingan dalam kepalaku
bermula ketika kepergian nenek. Kematian terasa begitu nyata ketika ia berada
begitu dekat denganku.
Pada suatu malam, sehari
sebelum nenekku pergi untuk selamanya, aku melihatnya bercakap-cakap dengan
kakek yang telah lama berpulang. Kakek yang hampir tak kukenal kalau bukan
kuingat tahi lalat di sisi kiri hidungnya yang sering kulihat di selembar foto
usang. Mereka berbincang dengan gestur seperti percakapan mereka sehari-hari di
hari-hari aku belum lahir—aku yakin begitu walau aku tak pernah melihatnya
langsung. Tak kutahu pasti apa yang menjadi topik perbincangan mereka, namun
tampak keduanya sangat akrab seolah belum pernah berpisah.
Nenek memakai pakaian
terbaiknya seperti hendak menghadiri pesta pernikahan. Ia kemudian pergi
digandeng kakek yang perawakannya sedikit lebih muda dari nenek. Mereka tak
menghiraukanku yang memanggil-manggil hingga suaraku parau. Padahal, tak pernah
sekalipun nenek mengabaikanku sebab aku cucu bungsu yang amat dimanjakannya.
Mereka hilang ditelan entah apa.
Esoknya,
sepulang sekolah, aku mendapati rumah telah ramai dengan orang-orang berpakaian
hitam berwajah kelam. Aku yang masih mengenakan seragam disambut tangis sambil didekap erat oleh beberapa orang
sekaligus. Mereka meratapkan betapa malangnya nasib kami semua karena ditinggal
nenek yang di mataku hanya tampak tertidur di tengah ruangan.
Beberapa
hari kemudian setelah rumah sepi dari para pelayat, ketika hendak makan malam,
aku duduk diam tanpa menyentuh isi piringku kendati anggota keluarga yang lain
mulai melahap hidangan.
“Mengapa kau tak makan?”
tanya ibu.
“Menunggu nenek,” jawabku
polos. Yang lain berhenti mengunyah, lalu meletakkan sendok dan garpu.
“Dania,”
kata Ibu dengan suara lembut. Sungguh kentara betapa keras ibu menahan duka
dalam nada suaranya karena aku telah mengingatkannya lagi pada rasa kehilangan
yang masih segar. “Nenek sudah meninggal. Ia sudah dikubur kemarin. Kau tidak ingat?”
“Nenek
tidak meninggal. Ia sedang pergi ke pesta,” sanggahku. “Kita harus menunggunya
makan malam, bukankah begitu yang selalu kita lakukan?”
Wajah-wajah
mereka tampak bingung. Beberapa menggelengkan kepala, menganggap aku tengah
mengigau dan belum dapat menerima kenyataan.
“Kapan
kau melihat nenek pergi ke pesta?” tanya ibu lebih lanjut.
Aku
menengadah, menatap langit-langit. Mengingat-ingat. “Sekitar lima hari lalu. Ia
pergi bersama kakek. Mereka berpakaian
bagus.”
Ibu
menghembuskan nafas panjang, menyeka air yang baru jatuh dari matanya, lalu
menjelaskan padaku. “Itu adalah sebuah pertanda yang kau terima lewat mimpi.”
“Pertanda?”
keningku berkerut.
“Ya.
Itu cara nenek berpamitan padamu. Ia bersama kakek, kaubilang? Dan mereka
pergi? Kakek menjemput nenek. Kau hanya belum paham.” Ibu lalu memandang ketiga
saudaraku satu persatu. “Ada lagi yang merasa menerima mimpi, atau firasat,
atau pertanda mengenai kematian nenek?”
Kepala-kepala
menggeleng. Berarti hanya aku.
“Baik.
Sekarang, mari kita makan,” kata ibu menutup perbincangan dan kembali
menyendoki nasi ke mulut. Aku mengunyah sambil berpikir. Kakek menjemput nenek
dalam mimpiku. Apakah mereka telah kembali bersama sekarang?
Bagiku, pertanda tersebut
sangat berkesan. Tapi, aku menjadi berhati-hati akan mimpi. Bisa jadi bunga
tidurku pada suatu malam adalah pertanda akan kepergian seseorang untuk
selamanya.
***
Waktu
dan usia lalu memaksaku menjadi dewasa, serta menghadiahiku hal-hal duka
lainnya. Lebih sering aku menghadiri upacara pemakaman dibanding pesta pernikahan.
Semakin sering aku memikirkan kematian, semakin sering ia datang menyapaku.
“Kemarin
kami masih nongkrong dan minum kopi sambil bercerita tentang masa lalu. Tak kusangka
beberapa jam kemudian…” kata seorang kawan sambil menutup mulut, tak sanggup
menyelesaikan cerita yang sudah mampu ditebak semua orang. Waktu itu kami
tengah melayat seorang teman lama yang baru meninggal karena kecelakaan. Sejak
saat itu aku meneliti setiap pertemuan. Mungkin saja itu akan jadi yang
terakhir.
“Andaikan
aku tahu bahwa ajakannya bersua akan menjadi pertemuan kami yang terakhir, aku
pasti datang,” sesal sepupuku yang baru kehilangan kekasihnya. Ia mengaku tak
tahu mengapa ia enggan untuk bertemu pada suatu malam minggu dengan pemuda yang
telah mengisi hatinya selama tiga tahun terakhir.
Kepalaku penuh. Mimpi,
pertemuan, perpisahan, penyakit, dan segala pertanda lainnya. Hidupku menjadi
tidak tenang. Kuungkapkan kegelisahan itu pada ibuku lewat telepon. Kini jarak
memisahkan kami. Ibu tetap di kampung, aku berada di belahan bumi lain.
“Memang beginilah hidup,
usah kau pusingkan. Jalani setiap kejadian yang datang,” katanya. Klise, tapi
kutelan jua semua kalimatnya itu.
Kegelisahan yang sama masih
merong-rongku bertahun-tahun berikutnya. Semakin lama semakin tak tertahankan. Di
tahun ketiga setelah tinggal di ibukota negara Paman Sam, aku memutuskan pulang
kampung. Sesuatu mendesak hatiku, agar aku segera menjenguk perempuan tua itu.
Perjalanan panjang kutempuh
dengan kegelisahan yang tak jua pudar. Di gerbang desa, aku turun dari bus
kampung. Hatiku serta merta lega melihat ibu berlari-lari menyongsongku. Tak ia
pedulikan jalan licin sehabis hujan. Kejadian berikutnya berlangsung cepat. Ibu
terpeleset, tubuhnya tumbang ke kubangan lumpur. Kulemparkan semua bawaanku dan
berlari mendapati ibu.
Detik selanjutnya kami
sudah di atas mobil bak terbuka yang melaju kencang menuju puskesmas. Jejak
kakiku meninggalkan bercak lumpur di lantai ketika menggendong ibu ke IGD.
Dokter jaga memeriksa ibu dan menggeleng. Aku terpaku. Beku. Dalam sekejab,
ibuku berlalu. Nafasnya tak dapat kugenggam. Nyawanya tak bisa kutahan agar
tetap dalam raganya bersemayam. Berusaha kuserap hangat tubuhnya selama mungkin
sebelum menjadi dingin. Para perawat kemudian memintaku menyingkir agar mereka
dapat mengurus jasad ibuku. Aku berjongkok di pojok ruang. Mengepit kepala di
antara lutut, mengaduk-aduk rambut.
Baru kusadari, kegelisahan
itu adalah pertanda. Lalu….apa?
Medan,
2019-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar