Rabu, 16 April 2014

PULANG

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with www.thebaybali.com & Get discovered! 





Aku terbangun ketika seorang pramugari menggoyangkan bahuku pelan. Kulayangkan pandanganku ke luar jendela, dan tampak segalanya masih berwarna putih. Pramugari itu menawarkan snack dan minuman. Aku menguap kecil sebentar sambil menutup mulut dengan tangan, lalu mengangguk.
Aku baru saja kembali dari sebuah penjalanan panjang. Keliling dunia, kalau boleh aku menyebutnya begitu, meski kenyataannya aku hanya mengunjungi beberapa negara asia dan eropa. Dan aku sedang dalam perjalanan menuju ‘rumah’, dan tak sabar ingin mengunjungi ‘kekasih lama’.
 Aku yakin ketika aku menyebut rumah, kamu pasti membayangkan bangunan tempat tinggal yang nyaman. Aku tak akan menyalahkan apa yang kamu bayangkan, namun bukan rumah seperti itu tepatnya maksudku. Rumah bagiku adalah tanah tempat aku dilahirkan. Telah banyak negara kujelajahi, namun entah kenapa hatiku tertambat kuat di Indonesia. Aku juga punya rumah dengan arti yang sesungguhnya, namun aku tak yakin kepulanganku akan di terima kembali oleh ayah bunda.
Akan kuceritakan sedikit padamu mengenai diriku. Aku hanyalah anak adopsi yang berasal dari sebuah panti asuhan, yang diangkat menjadi anak oleh sepasang suami istri yang telah menikah dua belas tahun, tapi tak juga dikaruniai anak. Aku berusia sembilan tahun waktu itu.
Aku menjadi anak emas hingga di penghujung masa SMP ku, lalu bunda dinyatakan mengandung. Lalu lahirlah adik laki-lakiku, Rangga. Tentu saja konsentrasi bunda yang sejak awal hanya fokus padaku, kini terpecah menjadi dua. Namun aku tidak cemburu, karena aku sadar posisiku. Aku juga tidak menemukan perbedaan yang terlalu berarti dari sikap ayah bunda padaku sejak kehadiran Rangga. Kasih sayang mereka bagi sama rata.
Bunda bahkan punya sejuta planning untukku, karena ia ingin aku menjadi kakak yang patut jadi teladan bagi Rangga. Ia menyarankanku ikut kursus ini itu, ikut kompetisi sana sini. Ia juga melibatkanku mengurusi butik dan salonnya. Aku turuti semuanya, kulakukan dengan ulet dan tekun, meski aku tahu bahwa apa yang kujalani sekarang bukanlah yang kuinginkan. Semua keberhasilan, predikat juara, dan kebanggaan lainnya kupersembahkan bagi mereka, sebagai ungkapan terima kasih.
Tapi ada satu hal yang tak pernah mereka tahu, bahwa aku telah lama menabung demi satu impianku: melakukan perjalanan ini. Pernah suatu kali kusinggung pada bunda mengenai keinginanku ini, namun bunda tak setuju dan tak mau berkompromi.
Aku meninggalkan rumah setahun lalu, tepat ketika aku mengakhiri SMA. Aku ingin melakukan perjalanan, perjalanan yang sangat panjang dan jauh. Dan dapat ditebak dengan mudah, kepergianku tidak direstui doa ayah bunda.
Bukankah kita sendiri yang tau apa yang kita inginkan? Ketika itu aku berpikir bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku tak ingin menjadi boneka bagi orang lain. Tak ada seorangpun yang dapat mendikteku. Kuputuskan tetap pergi, meski di belakangku bunda terus mengomel-ngomel. Semoga saja tak ada sumpah-serapah dalam kalimat-kalimatnya dulu. Itu kini yang kuharapkan.
Bepergian seorang diri ke luar negeri bukan masalah bagiku. Mungkin terdengar sedikit mencemaskan, namun aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku menyimpulkan bahwa darah berani dan nekat ini mengalir dari orang tua kandungku, meski aku tak kenal dan tak tahu keberadaan mereka sekarang. Sedangkan bunda tak terlalu suka alam dan bepergian apalagi ala backpack, kecuali dengan pesawat kelas bisnis dan hanya ke tempat yang bergengsi, menurutnya.
Pernah beberapa kali aku menelepon ke rumah, namun selalu diangkat oleh Bik Sumi. Ia menyatakan rindu dan khawatir dengan keadaanku. Darinya aku mengorek tentang kabar ayah, bunda, dan Rangga. Ia mengatakan bahwa bunda terkesan cuek bila Bik Sumi menyinggung tentangku. Namun suatu kali ia tak sengaja memergoki bunda masuk ke kamarku, lalu memandang fotoku dengan tatapan sedih. Hal ini memunculkan sedikit rasa percaya diriku bahwa bunda masih mengharapkan kepulanganku, meski aku tak yakin seratus persen.
Satu hal yang membuat hatiku berbunga-bunga adalah ketika belakangan teman playgroup Rangga bermain ke rumah. Adik kecilku itu dengan bangga memperkenalkanku ke teman-temannya melalui foto keluarga yang di pajang di ruang tamu. “Ini kakakku, Kak Gadis,” ucap Bik Sumi dengan menirukan suara cadel Rangga. Sementara ayah jarang di rumah, tapi dari ekspresinya yang di tangkap Bik Sumi sehari-hari, tampak ayah juga selalu memikirkanku.
Aku tak sabar ingin segera tiba, namun aku juga bingung, apa yang akan kulakukan nanti. Aku sebenarnya telah sangat bahagia dengan perjalananku, petualanganku, namun rasanya ada yang kurang. Ada yang belum lengkap. Ada suatu dorongan raksasa dalam hatiku, yang terus memaksaku untuk pulang.
***
Aku kini tengah reuni dan bercengkerama dengan ‘kekasih lama’ yang tadi telah kukatakan padamu. Jangan berpikir bahwa kekasih yang kumaksud berbentuk seorang cowok dengan badan proposional, good looking, dan penuh cinta. Kekasihku ini adalah sebuah pulau indah di ‘rumahku’, dan aku telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama ketika dulu kami sekeluarga liburan ke sini di awal-awal aku diangkat jadi anak. Aku tak bisa melupakannya, selalu lekat dalam pikiranku, meski banyak pulau yang tak kalah indah yang telah kukunjungi. Aku tak akan pernah putus cinta dengannya. Dan di sinilah aku, The Bay Bali.
Aku duduk di pasir putih tanpa alas. Kupandang laut lepas dengan pikiran mengawang-awang. Tampak seorang bocah bule, kira-kira berusia lima tahun, berlari tak sabar menuju bibir pantai yang dijilati ombak. Papan surfing mini terkepit di ketiaknya. Seorang laki-laki muda tergopoh-gopoh mengejarnya.
Aku memperhatikan mereka berdua asyik belajar surfing di ombak yang kecil-kecil. Anak yang mengenakan rompi pelampung itu tampak sangat antusias. Ayahnya mengangkatnya, lalu mendudukkannya di atas papan surfing mininya, kemudian mendorongnya pelan-pelan.
Go, Daddy, go...” teriaknya riang sambil mengepalkan tangan kanannya ke udara. Ketika ia terjungkir dari papannya karena ombak menghempaskannya hingga terlepas dari pegangan ayahnya, ia meringis. Tapi ia tak berhenti mencoba. Ia minta dinaikkan lagi ke papan surfingnya.
Aku jadi teringat ketika pertama kali mencoba mengendalikan papan surfingku sendiri. Awalnya aku masih takut-takut, kagok, sering terjungkir, bahkan beberapa bagian tubuhku pernah terluka karena menghantam papan surfingku sendiri ketika terjatuh. Hingga suatu hari aku sudah mampu berdiri sendiri dengan gagahnya di atas papan panjang itu. Aku sudah mampu menantang ombak yang ada di depanku, di lautan manapun yang telah kukunjungi. Kukatakan padamu bahwa salah satu kebahagiaanku adalah ketika aku berhasil menguasai mereka semua. Rasanya aku tak takut pada apapun lagi.
***
Aku bangkit dan sedang menepuk-nepuk celanaku ketika seseorang menyentuh bahuku.
“Joe....” seruku takjub begitu melihat siapa di belakangku. Aku melompat kepelukannya, namun segera kulepas sambil meringis dan mendapati hatiku malu karena kelakuanku tadi. Joe hanya tertawa sambil mengacak rambut pendekku.
“Segitu kangennya, ya, sama aku?” godanya. Ia adalah sahabatku di panti asuhan. Kami sangat akrab, bahkan seperti ia sudah kuanggap sebagai kakak laki-laki. Dulu aku sampai menangis ketika harus berpisah dengannya karena aku telah lebih dulu bertemu orang tua angkat. Namun ia menenangkanku, mengatakan bahwa hubungan kami akan baik-baik saja. Kami tetap satu sekolah hingga kelas dua SMP, namun ia harus pindah karena ia juga diangkat jadi anak oleh orang lain.
“Tadi aku enggak yakin kalau orang yang kulihat adalah kamu. Tapi setelah kupastikan, aku memang enggak salah orang,” katanya.
“Wah, bisa kebetulan begini ya?!”
“Bukan kebetulan. Ini memang sudah seharusnya terjadi,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti. Sungguh di luar dugaan. Kami telah terpisah sekian tahun, tahu-tahu bertemu di tempat elok ini.
“Udah lama di Bali?”
“Belum. Baru tadi pagi landing di sini. Kamu?” jawabku, seraya balik bertanya.
“Aku sudah seminggu di sini. Ada proyek bisnis keluarga, tapi hari ini aku free.”
“Kalau gitu boleh dong kamu jadi tour guide sehari?” gurauku. Joe mengangguk cepat, seolah tak perlu berpikir untuk mengiyakan permintaan asalku tadi.
“Ke sana yuk, dijamin nggak akan boring...” ucapnya sambil menggamit lenganku. Aku menurut. Aku merasa sangat beruntung hari ini. Aku bisa mengunjungi kekasih lama, sekaligus bertemu sahabat lama.
Kami tiba di kawasan yang tema dan konsepnya seperti lingkungan kehidupan bajak laut. Ada rumah-rumah pohon, tenda terbuka di sana sini, bahkan lengkap dengan sebuah kapal yang menghadap laut. Nuansanya sangat lain dari pantai-pantai kebanyakan. Seandainya bisa memilih, aku ingin tinggal di tempat seperti ini. Akan sangat menyenangkan setiap hari bisa melihat deburan ombak, juga belaian angin laut yang sepoi-sepoi.
“Aku dengar kamu pergi dari rumah, ya?” tanya Joe pelan. Dengar? Dia dengar darimana? Apakah aku sudah setenar itu sampai semua orang tahu tentangku?
“Ya,” sahutku singkat.
“Apa kamu enggak kepikiran keluarga kamu?”
“Aku kepikiran kok. Tapi aku ingin bebas mencoba hal lain, mencari kesenanganku sendiri.”
Tampak olehku sepasang orang tua yang telah berusia senja duduk selonjoran di sebuah tempat dari bambu yang di rancang sedemikian rupa dengan posisi digantung di bawah dahan pohon yang besar dan kuat, hingga menyerupai ayunan. Mereka duduk berdampingan. Si suami tampak menggoda istrinya, lalu keduanya tertawa bersama, tampak bahagia menjalani ujung hari  mereka.


Kami berhenti di bawah sebuah pohon, tepat di depan anak-anak tangga yang juga tersusun atas bambu-bambu. Di atas kami tampak bangunan tree house yang sangat indah.
“Kamu enggak akan meraih kebahagiaan dengan mengorbankan orang lain, kan?” tanya Joe. Aku tersentak. Pertanyaan Joe mengusikku.
“Enggak ada yang jadi korban, kok.”
“Siapa bilang? Ayah bunda kamu yang baik itu adalah korban atas keputusan kamu. Kamu tahu mengapa mereka mengadopsi anak? Karena mereka ingin mencari kebahagiaan melalui kita.” Joe mulai menapaki tangga bambu itu.
“Mereka enggak kasih izin. Bunda ingin aku kuliah dengan jurusan yang dia mau, sementara aku ingin backpakingan. Pendapat kami bentrok.” sahutku cepat sambil mengekor langkahnya.  
“Semua perbedaan pendapat pasti punya solusi. Percayalah. Hanya saja semua orang sibuk mementingkan diri sendiri dan terlalu menuruti egonya...”
Kami telah tiba di lantai paling atas. Aku terdiam dan sedikit merasa tersinggung mendengar kalimatnya yang secara tidak langsung menuduhku. Meski demikian, aku merasakan kebenaran kalimat-kalimatnya. Aku seharusnya lebih berpikir matang dan membicarakan semua dengan baik-baik.
“Kamu benar, Joe.”
“Hanya keluarga tempat untuk kembali, kan? Dulu keluarga kita adalah panti asuhan, tapi kini kita punya keluarga sendiri. Kita harus menjaganya dengan baik.”
Joe selalu lebih bijak dan lebih dewasa dari aku. Dan ia telah membuatku sadar. Kutarik nafas panjang, lalu berucap,” kamu sangat benar. Aku ingin pulang, dan.....minta maaf.” Setelah mengucapkan kalimat itu, aku menemukan apa yang kurang dalam kebahagiaanku dan untuk apa aku pulang.


Kami terdiam sambil memandang ke bawah. Arena kapal Pirates sedang ramai-ramainya. Aku tertarik dengan keriuhan anak-anak berkostum bajak laut di bawah sana. Mereka asyik berkejar-kejaran mengitari sebuah kapal yang seolah telah dihempaskan oleh ombak besar hingga terdampar ke tempat ini. Anak-anak itu bermain perang-perangan, saling mengklaim daerahnya sendiri, dan bertindak seolah merekalah pemimpin perompak yang gagah dan garang. Suasana ramai dengan suara teriakan, tawa canda, dan berbagai ekspresi lainnya. Para orang tua tampak mengawasi mereka sambil sibuk memotret tingkah lucu bocah-bocah itu.
Tanpa sengaja, aku menangkap bayangan anak kecil yang sepertinya kukenal. Namun ia segera berlari ke sisi lain kapal, hingga hilang dari pandanganku. Rangga? Apa benar itu tadi Rangga? Aku mengedarkan pandanganku lebih luas, berharap menemukan sesuatu untuk memperjelas dugaanku.
“Ada apa?” tanya Joe. Sepertinya perubahan sikapku tertangkap olehnya.
“Rangga. Sepertinya aku melihat adikku di sana tadi,” jawabku sembari menunjuk kapal pirates yang masih tak berkurang riuhnya.
“Kamu yakin? Coba hubungi ayah, atau bunda kamu saja untuk memastikan...”
Segera kukeluarkan ponsel dari saku celana pendekku, lalu menelusuri deretan kontak. Bukan ayah atau ibu yang ingin kutelepon, melainkan rumahku di Jakarta sana. Dan seperti yang sudah-sudah, Bik Sumi lagi yang menjawabku. Tanpa basa basi, aku langsung menanyakan Rangga.
“Tuan, Nyonya sama Den Rangga lagi ke Bali, Non.”
Benar sangkaku. Berarti tak ada yang salah dengan penglihatanku barusan, bocah itu memang Rangga.
“Acara apa, Bik?” tanyaku penasaran. Sejak Rangga lahir, ayah menjadi sangat sibuk, lebih sibuk ketika telah mengadopsiku. Beliau adalah ayah yang sangat baik dan bertanggung jawab. Tumben sekali di hari kerja begini ayah bisa meluangkan waktu untuk pergi jalan-jalan.
“Kan Den Rangga ulang tahun, Non. Kemarin Rangga mintanya jalan-jalan ke Bali. Non Gadis dimana?”
Aku menepuk dahi, lalu mematikan telepon tanpa menghiraukan pertanyaan Bik Sumi.
“Benar, Joe. Yang kulihat tadi memang Rangga. Ia ulang tahun hari ini. Bik Sumi bilang mereka ke sini untuk merayakannya,” jawabku sedikit gelisah. “Kenapa bisa serba kebetulan begini?”
“Bagus!” Joe mengangguk-angguk.
“Bagus apanya?”
“Bukannya tadi kamu bilang kamu mau minta maaf dan berkumpul lagi dengan mereka? Ini momen yang memang sudah di rancang Yang Di Atas. Bukan kebetulan.”
Kuacak rambutku hingga kacau. Niat awalku ke sini hanya untuk menenangkan pikiran sebelum pulang ke Jakarta, menemui ayah dan bunda. Namun semua berbanding terbalik.
Kutatap Joe penuh harap. “Kamu temani aku, ya...”
Ia mengangguk.
***
Aku dan Joe kini berdiri di depan restoran Bebek Bengil. Keluargaku ada di dalam sana, begitu kata Joe, setelah ia kutugasi melakukan penguntitan kecil-kecilan. Joe menggenggam tanganku sambil menuntunku masuk ke dalam restoran itu.
“Tangan kamu dingin banget, Dis,” bisiknya. Aku hanya mengangguk kecil. Aku sedikit gugup, cemas membayangkan bagaimana reaksi ayah dan bunda yang sudah setahun tidak bertemu anaknya, maksudku anak adopsinya. Masihkah mereka peduli? Atau mereka telah lupa padaku, dan cukup bahagia dengan kehadiran Rangga?
Suasana restoran yang nyaman membuatku sedikit rileks. Lalu tampak olehku, keluarga kecilku duduk di depan sana. Jarak kami hanya dipisahkan beberapa meja saja. Rangga yang duduk di samping ayah tiba-tiba menoleh dan menyadari keberadaanku.
“Kak Gadis...!” serunya. Aku rindu suaranya yang menggemaskan itu, sudah sangat lama aku tidak mendengarnya. Ayah dan bunda turut menoleh dan terlihat sangat kaget. Mungkin mereka tidak menduga aku tiba-tiba hadir di depan mata mereka.
Joe mendorong bahuku dengan lembut, mengisyaratkan agar aku melangkah maju. Aku menatapnya, meminta dukungannya agar aku mampu untuk menekan egoku dan berjalan menyongsong Rangga yang kini turun dari kursinya, lalu berlari ke arahku.  Rangga tampak begitu bahagia melihatku kembali. Dapat kutangkap binar-binar ceria di mata bulatnya dan bibirnya yang tersenyum lebar. “Kak Gadis... Kak Gadis...!”
 Beberapa pengunjung sampai menoleh karena mendengar suara berisik Rangga yang memanggil-manggil namaku. Ingin rasanya kulupakan bahwa saat ini aku berada di tempat umum, kemudian aku berlari menyambut Rangga, lalu meraihnya ke dalam pelukanku. Namun aku hanya mampu melangkah dengan canggung. Rangga meraih tanganku, lalu menarikku menuju meja tempatnya semula. Ayah menatapku, dengan ekspresi yang tak dapat kuterjemahkan, apakah ia senang atau kesal, atau apa. Namun tiba-tiba ia bangkit dan memelukku. Aku sama sekali tak menyangkanya, dan kubalas pelukan itu dengan erat.
“Maafkan Gadis, Yah. Gadis enggak tahu terima kasih,” bisikku lirih.
“Enggak apa-apa,” jawabnya lembut. Aku sangat bersyukur karena ayah menunjukkan reaksi seperti yang kuharapkan. Kulirik bunda. Wajahnya beku, ia bahkan tak memandangku. Aku menarik nafas panjang sembari berusaha meruntuhkan sisa-sia gengsi dan egoisku.
“Bunda,” panggilku. Ia tak bergeming. Kutundukkan kepalaku, sedikit menyesal akan sikapku padanya ketika memutuskan pergi dulu. Bunda mengangkat wajahnya, dan tatapan kami bertemu. Aku kaget mendapati matanya telah sembab.
“Bun, sori, Gadis...” belum kuselesaikan kalimatku, namun bunda memotongnya cepat.
“Kamu, ya...” hardiknya, tampak kesal. Aku pasrah menerima kemarahan ibu. “Kamu memang juara membuat ibu marah, kesal, sedih, juga...kangen!”
“Maafin Gadis, Bu,” ucapku pelan. Aku dan ibu berpelukan sambil menangis sesenggukan. Aku tak menyangka ibu demikian merasa kehilangan. Aku benar-benar merasa bodoh dan tak berarti.
“Kamu jangan pernah mengulanginya lagi, atau bunda takkan memaafkanmu.” Aku mengangguk. Ada yang lega di sudut hatiku dan semua kecemasanku berakhir sudah. Setelah bunda melepaskan pelukan dan sedikit lebih tenang, aku baru sadar telah mengabaikan Joe. Dengan gerakan kepala aku mengisyaratkan Joe untuk mendekat.
“Joe, kamu juga di sini?” tanya ayah begitu melihat Joe. “Dia pernah beberapa kali datang ke rumah sejak kamu pergi. Dia nanyain kamu terus. Bik Sumi yang cerita....” ujar ayah tiba-tiba, membuat Joe menunduk, menyembunyikan wajahnya. Mungkin ia malu karena kelakuannya dibongkar ayah tepat di depanku.
“Aduh, ini semua pada kenapa sih? Rangga nggak sabar mau makan bebek,” celetukan polos Rangga mencairkan suasana.
“Tenang saja. Bebeknya nggak akan terbang, kok,” sahut Joe mencoba lucu. Ia berhasil karena kini kami tertawa. Oh, aku melupakan sesuatu. Kudekati Rangga dan tanpa ia sangka-sangka, aku memeluknya.
Happy birthday, ya, sayang...” ucapku. Kucubit pipinya sebelum menciumnya. Joe juga mengikuti apa yang kulakukan. Rangga tampak malu-malu, namun ia tersenyum lebar. Kami duduk bersama dengan nuansa penuh kehangatan. Waitress datang dengan nampan penuh makanan karena ayah memesan lagi untukku dan untuk Joe. Aku tertawa melihat Rangga hampir meneteskan air liur ketika melihat makanan yang berlimpah itu.
Rangga terlihat sangat rakus dan kini ia asyik dengan bebek keduanya. Aku takjub. Setahun berpisah dengannya, sepertinya ia telah tumbuh dengan perut yang lebih besar dan elastis hingga mampu menampung banyak makanan. Tapi tak apalah, hari ini ia ulang tahun, biar saja ia makan sebanyak ia mau. Dan kuakui, hidangan bebek ini memang sungguh istimewa, hanya saja aku malu untuk minta tambah.
***
Pagi ini sungguh indah, dan ini pagi terbaik dalam hidupku. Aku berjalan beriringan dengan Joe menuju pantai Nusa Dua. Ups, ada Rangga juga. Ia memaksa ikut dengan kami, sementara ayah dan bunda masih terlelap karena semalaman kami begadang untuk bercerita dan melepas kangen. Aku juga kembali menerima omelan-omelan bunda karena aku tak seharusnya bersikap sesukaku sendiri. Namun tak masalah, aku memang pantas menerimanya.
Joe menggenggam tanganku, sementara Rangga berjalan di depan kami sambil asyik berceloteh sendiri, mengomentari apa saja yang dilihatnya.
“Aku senang kamu sudah pulang. Semoga kamu tidak akan pergi lagi.”
Kupandang mata Joe. Aku tak mau berpikir berlebihan, namun rasanya ada yang beda dengan tatapannya itu, tidak sama seperti kemarin. Temanku sejak kecil ini tersenyum manis, membuatku terhipnotis untuk tersenyum pula.
“Aku sayang kamu,” bisiknya di telingaku. “Aku akan sangat bahagia kalau kamu mau tinggal di sini,” tambahnya lagi sambil menempatkan tangan kananku di dadanya,”selamanya...”
Aku baru sadar kalau ternyata sumber bahagia Joe adalah aku. Aku tersenyum dan memandang jauh ke depan. Hatiku mengangguk mendahului kepalaku, lalu berbisik, inilah sebenarnya kebahagiaan yang kucari, semua terasa lengkap kini. I’m back home for this true happines.