Ilustrasi oleh Harian WASPADA |
RAHMAT
Oleh
Dian Nangin
—Untuk abangku, R.E. PA
Lama kupandangi wajah
lelaki ini. Namun ia seakan acuh tak acuh padaku, lebih memelihara keintiman
bersama sebatang kretek dan asap putih yang bergulung-gulung di udara usai
ditiupkan kuncup bibirnya.
Kuteguk kopi hitam yang
mulai dingin dan serta merta aku mengernyit.
“Terlalu pahit?”
Ternyata ia menangkap reaksiku.
“Sedikit. Tapi enak,
kok,” jawabku.
Aku terbiasa
mengonsumsi kopi sachet, sesekali
pergi ke kafe demi secangkir kopi dengan gula dan krimer ramuan barista
profesional. Kini lidahku terkaget-kaget ketika diserbu minuman dengan nama
yang sama tapi rasanya begitu berbeda. Namun ada sesuatu di balik kopi ini yang
membuatku mampu meneguk dan menyesap esensinya. Sebab kopi ini ditanam sendiri
oleh lelaki ini, diolah sendiri pula dengan cara tradisional. Ia juga memaksa
untuk menyeduh sendiri dan menghidangkannya bagiku.
“Kau begitu jarang
datang. Biarkan aku menjamumu,” katanya beralasan.
Diam-diam aku dilanda
haru. Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap di hati. Pekerjaanku di kota begitu
serakah, menyita sebagian besar waktuku dan hanya menyisakan sedikit kesempatan
pulang ke kampung untuk menengoknya.