Rabu, 27 Agustus 2014

Anak-Anak Sinabung 'Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu'

Pada tanggal 16 Agustus kemarin aku bersama seorang adik sepupu pergi mengunjungi sebuah posko pengungsi letusan Gunung Sinabung yang bertempat di UKA, Kabanjahe.Sebenarnya kami diundang oleh seorang kenalan yang mengelola sebuah rumah singgah untuk anak-anak Sinabung yang dinamakan 'Rumah Pandai'. Kami diminta untuk membawakan kebaktian singkat, atau lebih tepatnya dinamakan sebagai pendalaman alkitab untuk anak-anak, karena adik sepupuku tersebut kuliah di jurusan Teologi di sebuah kampus di Yogyakarta.

Jadilah Sabtu pagi itu kami menyediakan waktu ke sana. Awalnya kami, terlebih aku, agak sedikit was-was mengantisipasi apa yang akan terjadi di sana, mengingat ini pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan anak-anak pengungsi tersebut setelah sekian lama bencana ini melanda daerah kami.

Tapi ternyata semua diluar dugaan. Anak-anak yang berasal dari berbagai desa di kaki Gunung Sinabung itu sangat ceria. Sekitar empat puluhan anak menyambut kami dengan hangat. Mereka tidak susah dipandu bernyanyi dan tidak sulit diatur.  Mereka bernyanyi dengan gembira sambil bertepuk tangan, seolah mereka selalu menantikan waktu seperti ini. Sungguh, mereka sangat semangat! Aku menyadari kegiatan seperti ini memberi penyegaran bagi anak-anak ini selama tinggal di pengungsian, hampir setahun lamanya.

Yang muncul kemudian adalah sedikit sesal di hati karena tidak berinisiatif untuk mengunjungi mereka sejak awal-awal. Padahal ini merupakan pengalaman yang amat berharga.

Sekilas, mereka hanya kanak-kanak yang melewatkan setiap harinya dengan bermain dan tawa. Tapi sebenarnya mereka juga menyimpan tangis yang memilukan hati. Ketika anak-anak itu dibawa berdoa dengan metode meditasi, hampir semua menangis ketika dalam doa disebutkan penderitaan mereka, orang tua, kampung halaman, sekolah, dan sanak-saudara mereka.

Aku terpaku ketika diam-diam pengajar di sana berbisik sambil menunjuk beberapa anak yang sudah tidak punya ayah, atau tidak punya ibu lagi. Doa bercampur isak tangis dari mulut-mulut kecil itu membuatku terdiam dan merenung. Aku kemudian beranjak menuju seorang anak berbadan tambun dan memeluk tubuhnya yang berguncang pelan karena tangis.

"Semoga Tuhan segera memerdekakan mereka dari segala derita, cobaan dan tekanan hidup saat ini. Semoga Tuhan menghentikan erupsi Gunung Sinabung yang hingga kini masih terus terjadi. Semoga semua pengungsi ini segera dipulihkan."

Yang paling mengharukan adalah ketika di akhir acara, mereka malah menghibur kami, katanya sebagai ucapan terima kasih, dengan menyanyikan sebuah lagu yang amat menguatkan hati. Serta merta kesedihan beberapa menit lalu menguap ketika mereka semua bangkit berdiri, bersama-sama bernyanyi sambil membuat gerakan tubuh, meski beberapa anak masih terlihat menyeka pipi atau mengucek sudut mata untuk menghapus sisa air yang menggenang di sana.

                                                     Tak selamanya mendung itu kelabu
Nyatanya hari ini kulihat begitu ceria
Hutan dan rimba turut bernyanyi juga
Membuat hari ini berseri
Dunia penuh damai

Bintang berkedip dengan jenaka
Seakan tahu arti dan rasa
Oh kidung yang indah
Kau luputkan aku dari semua dosaku

Tak selamanya mendung itu kelabu
                                           Nyatanya hari ini kudapat bernyanyi kepadanya