Jumat, 31 Oktober 2014

Untuk Jiwa

kau lahir bersama satu paket tawa dan tangis
duka dan bahagia tercipta di setiap sendi,
di setiap buku jari

jadi, jangan khawatir
puji dan caci itu biasa
manis dan pahit adalah elemen-elemen pembangun rangka tubuhmu

jangan menangis, jiwa...
bertahanlah,
meski selalu saja ada beban berat yang memasung kakimu
teruslah melangkah!

Rabu, 22 Oktober 2014

Tulis, Kenang

*tengah hari yang gerah. bentar lagi pasti turun hujan*

kutuliskan ini untuk kukenang di kemudian hari nanti. akan kuingat bahwa aku pernah, di suatu hari di masa lalu - yakni di hari ini ketika aku menuliskan ini - menjalani hidup dengan cara yang tidak begitu kuinginkan.

kulewati hari dengan degup jantung yang semakin kencang di setiap detiknya
ada berbagai rasa yang berkecamuk dalam relung jiwa
kujalani dengan penuh rahasia, dengan gugup, sedikit takut, dan dibelenggu ketidak-pastian

ini bukan pilihanku.
atau, bisa jadi ini memang pilihanku
aku sendiri yang membuat semua menjadi seperti ini

akan kuingat aku pernah bekerja demikian keras, memaksa otak menghasilkan imajinasi-imajinasi hebat
semua harus berhasil tepat pada waktunya nanti
nanti, tapi kian lama waktu itu kian dekat
aku merasa berkeringat dingin dan menggigil
ini akibat dari memilih keluar jalur dan melawan arus
ini keyakinan. ini pendirian
aku harus bisa tiba di tujuan, serempak dengan 'mereka'
namun aku, dengan caraku sendiri.

aku harus tiba di sana, di ujung titik itu, titik penemuan identitas dan bukti tanggung jawab.
hanya satu yang membuatku tenang, yaitu TUAN PENOLONG yang bersemayam di atas sana.
yakin aku DIA mendengar semua ini.

*oktober 2014
di rumah kos

Kamis, 02 Oktober 2014

Racau

hai, kamu

jangan tatap aku seperti itu
duh, aku jadi kehilangan kata

tak gampang bilang sayang
meski aku kepayang
tapi aku....sayang kamu, tau!

ah, tak usahlah bingung dengan apa yang
kukatakan. aku juga tidak terlalu mengerti

begini,
anggap saja aku sedang meracau
meracau dengan penuh kesungguhan

Nostalgia Tiba-Tiba

wanita termuda dalam foto ini adalah adik nenek dari pihak ibu, yang sering kami tertawakan kepikunannya

Aku hanya mengenal satu nenek kandung, yakni ibunda dari ibuku. Aku tidak kenal baik nenek yang dari bapak karena beliau sudah tiada, bahkan sebelum bapak menikah dengan ibu. Rupanya hanya kuketahui melalui sebuah foto yang terbingkai cantik dan dipajang di lemari kaca ruang tamu. Di foto itu, nenek bersanding dengan kakek.

Nenek dari ibuku juga telah berpulang bertahun-tahun silam, ketika aku masih SD. Namun masih membekas dalam ingatan beberapa hal tentang beliau, yang terkenang hingga sekarang. Waktu yang telah kami lewati dulu, kini terasa sebagai salah satu momen terbaik dalam hidup.

Nenek sangat baik, tidak pernah marah atau memukul. Bahkan ia sangat memanjakan cucu-cucunya.
Aku juga ingat bahwa dulu aku sering mencabuti ubannya, tidur berdua di rumah tuanya meski ibu dan bapak sudah memiliki rumah yang lebih nyaman, berbagi sepiring nasi dengan lauk ikan teri, dan membaca bersama di pondok kecilnya yang berdiri di tengah kebun anyelir dan tanaman pre-nya.

Aku juga sering bermain-main dengan kulitnya yang keriput, dengan menarik-narik kulit punggung tangannya yang elastis dan kendor. Aku sering bertanya apakah ia kesakitan bila aku melakukannya, namun ia menggeleng dan malah tertidur sementara aku asyik menariki kulitnya itu, membentuk, lalu meratakannya kembali.

Beberapa hari lalu aku pergi ke sebuah percetakan, yang bertingkat dua dan sepertinya menyatu dengan rumah tempat tinggal si empunya. Pemilik percetakan itu memiliki 2 anak perempuan. Selama aku sibuk dengan printer dan lembaran kertas, dua bocah itu berkeliaran, merepotkan seorang wanita tua berambut kelabu yang kelelahan mengejarnya.

Satu jam setelah selesai berlarian, sang nenek kemudian membopong cucunya satu persatu untuk dimandikan. Namun bocah perempuan yang lebih tua sering sekali melawan, bahkan sebelum selesai mandi, ia berlari keluar kamar mandi dan naik ke atas. Ia tidak menghiraukan teriakan sang nenek yang memanggil untuk menyelesaikan mandinya.

Beberapa menit kemudian dia turun lagi dengan wajah merengut karena dinasehati bahwa ia bisa gatal-gatal kalau mandi tidak bersih. Sang nenek tetap sabar meski si cucu tampak tidak senang dengan aktivitas itu.

Aku hanya tersenyum melihatnya, tiba-tiba terkenang akan masa lalu. Ketika dewasa nanti, mungkin mereka baru akan menyadari betapa bahagianya memiliki seorang nenek.

Rabu, 27 Agustus 2014

Anak-Anak Sinabung 'Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu'

Pada tanggal 16 Agustus kemarin aku bersama seorang adik sepupu pergi mengunjungi sebuah posko pengungsi letusan Gunung Sinabung yang bertempat di UKA, Kabanjahe.Sebenarnya kami diundang oleh seorang kenalan yang mengelola sebuah rumah singgah untuk anak-anak Sinabung yang dinamakan 'Rumah Pandai'. Kami diminta untuk membawakan kebaktian singkat, atau lebih tepatnya dinamakan sebagai pendalaman alkitab untuk anak-anak, karena adik sepupuku tersebut kuliah di jurusan Teologi di sebuah kampus di Yogyakarta.

Jadilah Sabtu pagi itu kami menyediakan waktu ke sana. Awalnya kami, terlebih aku, agak sedikit was-was mengantisipasi apa yang akan terjadi di sana, mengingat ini pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan anak-anak pengungsi tersebut setelah sekian lama bencana ini melanda daerah kami.

Tapi ternyata semua diluar dugaan. Anak-anak yang berasal dari berbagai desa di kaki Gunung Sinabung itu sangat ceria. Sekitar empat puluhan anak menyambut kami dengan hangat. Mereka tidak susah dipandu bernyanyi dan tidak sulit diatur.  Mereka bernyanyi dengan gembira sambil bertepuk tangan, seolah mereka selalu menantikan waktu seperti ini. Sungguh, mereka sangat semangat! Aku menyadari kegiatan seperti ini memberi penyegaran bagi anak-anak ini selama tinggal di pengungsian, hampir setahun lamanya.

Yang muncul kemudian adalah sedikit sesal di hati karena tidak berinisiatif untuk mengunjungi mereka sejak awal-awal. Padahal ini merupakan pengalaman yang amat berharga.

Sekilas, mereka hanya kanak-kanak yang melewatkan setiap harinya dengan bermain dan tawa. Tapi sebenarnya mereka juga menyimpan tangis yang memilukan hati. Ketika anak-anak itu dibawa berdoa dengan metode meditasi, hampir semua menangis ketika dalam doa disebutkan penderitaan mereka, orang tua, kampung halaman, sekolah, dan sanak-saudara mereka.

Aku terpaku ketika diam-diam pengajar di sana berbisik sambil menunjuk beberapa anak yang sudah tidak punya ayah, atau tidak punya ibu lagi. Doa bercampur isak tangis dari mulut-mulut kecil itu membuatku terdiam dan merenung. Aku kemudian beranjak menuju seorang anak berbadan tambun dan memeluk tubuhnya yang berguncang pelan karena tangis.

"Semoga Tuhan segera memerdekakan mereka dari segala derita, cobaan dan tekanan hidup saat ini. Semoga Tuhan menghentikan erupsi Gunung Sinabung yang hingga kini masih terus terjadi. Semoga semua pengungsi ini segera dipulihkan."

Yang paling mengharukan adalah ketika di akhir acara, mereka malah menghibur kami, katanya sebagai ucapan terima kasih, dengan menyanyikan sebuah lagu yang amat menguatkan hati. Serta merta kesedihan beberapa menit lalu menguap ketika mereka semua bangkit berdiri, bersama-sama bernyanyi sambil membuat gerakan tubuh, meski beberapa anak masih terlihat menyeka pipi atau mengucek sudut mata untuk menghapus sisa air yang menggenang di sana.

                                                     Tak selamanya mendung itu kelabu
Nyatanya hari ini kulihat begitu ceria
Hutan dan rimba turut bernyanyi juga
Membuat hari ini berseri
Dunia penuh damai

Bintang berkedip dengan jenaka
Seakan tahu arti dan rasa
Oh kidung yang indah
Kau luputkan aku dari semua dosaku

Tak selamanya mendung itu kelabu
                                           Nyatanya hari ini kudapat bernyanyi kepadanya

Jumat, 16 Mei 2014

Lagu Jadul? Love It...!

Sabtu kemarin adikku pulang kuliah lumayan sore, padahal kegiatan kampusnya hanya sampai siang. Begitu tiba, ia langsung menyalakan laptop, mencolokkan flashdisk, utak atik sana sini, menyambungkan kabel speaker, lalu mengalunlah lagu Kau Tercipta Untukku, Bunga Sedap Malam, Gelas-Gelas Kaca, Semalam Di Malaysia, Tolong Carikan Kekasih, Siapa Bilang Aku Cinta, dan masih banyak lagi.

Ketik kutanya darimana ia memperoleh file musik nostalgia sebanyak itu, ia mengcopynya dari laptop seorang temannya, yang menjadi alasannya pulang sore. Kini harddisk laptop bertambah lagi penghuninya, yakni ratusan lagu lama dari album-album berbagai penyanyi legendaris mulai tahun 70-n hingga 2000-an. Diantaranya ada album D'lloyd, Panbers, Diana Nasution, Nia Daniaty, Koes Plus, Christine Panjaitan, hingga Ebiet G Ade.

Lalu semalaman itu kami mengakrabi tembang-tembang nostalgia, setelah malam-malam sebelumnya lagu yang berkumandang di kamar kos adalah lagu milik One Direction, John Legend, Lorde, Agnez Mo, dan masih banyak lagi penyanyi beken yang lagi jadi favorit banyak anak muda belakangan ini.

Kami terlena, terhanyut lirik-lirik dan nada lagu lama itu. Mendengarnya kembali di era tahun 2014 ini, rasanya seperti membongkar peti harta karun. Rasanya seperti kembali mengaduk-aduk ingatan ketika belasan tahun lalu, Bapak juga sering mencekoki kami dengan lagu seperti ini. Lagu-lagu semacam ini tidak asing di telinga kami, dan jujur, kami menikmatinya. Mungkin saja ada orang yang menilai selera kami rendah, terkesan kuno dan ketinggalan jaman. Namun, demikianlah kami masih punya rasa cinta dan ingin mengapresiasi lagu Indonesia yang jadul-jadul. Tiap orang pasti punya selera dan cara tersendiri kan, untuk mencintai musik?

Ketika dulu pertama kali Bapak membeli radio, aku langsung membeli kaset Peterpan (Noah sekarang), Westlife, MLTR, dan Naff. Sedangkan Bapak membeli kaset Panbers dan Ebiet G Ade. Kami membeli kaset penyanyi sesuai stambuk masing-masing :) Lalu kami bergantian memutar lagu dari penyanyi favorit masing-masing dan saling mendengar. Seperti bertukar genre.

Setelah kami dengar-dengar, banyak juga kok lagu lama yang jenius, liriknya romatis dan puitis. Agak kurang kontras dengan lirik lagu sekarang yang masih kurang 'ngena, gombal, bahkan terkesan asal jadi. Bukannya tidak menghargai para musisi yng sudah menciptakannya, namun kembali ke masalah selera tadi. Jenius menurutku, karena dalam liriknya masih diselipkan pantun, peribahasa, ungkapan asli Indonesia, dan banyak lagi hal yang membuat lagu itu indah dan harmonis. Lagu jadul ada kok yang gombal, tapi gombalnya puitis dan kreatif.

ah, ya! Kreatif! Bukan cuma lagu gombal. Lagu galau, lagu jatuh cinta, lagu putus cinta, lagu pernikahan, lagu perceraian, semua kreatif, terutama pada diksinya.

Selain jenius, lagu lama ini juga memorable. Ingat lagu Koes Plus yang Kolam Susu, Bujangan, dan Dara Manisku? Aku sangat yakin lagu-lagu semacam ini akan terus di dengar orang hingga berpuluh-puluh tahun ke depan, sekalipun nanti penyanyi aslinya telah tiada. Selain romatis, puitis, dan jenius, lagu-lagu lama ini juga banyak yang tak kalah positif dengan lagu sekarang. Coba dengar lagu Koes Plus yang Bujangan:

begini nasib, jadi bujangan
Kemana-mana asalkan suka, tiada orang yang melarang
hati senang walaupun tak punya uang, Ooo...
hati senang walaupun tak punya pacar (ups, ini liriknya saya ubah sendiri, untuk menyadarkan mereka yang berstatus single bin jomblo agar tidak selalu
bersedih dan merasa terpojok oleh mereka-mereka yang berstatus in relationship, hahaha...)
 
apa susahnya hidup bujangan
setiap hari, selalu bernyanyi
tak pernah hatinya bersedih

Atau lagunya yang berjudul Buat Apa Susah:

Kekasihku, apa yang kau risaukan
kerjamu hanya melamun saja
tak berguna kau bersedih hati
tertawalah sayang
Buat apa susah, lebih baik kita bergembira
 

kekasihku apa yang kau pikirkan
hidup ini hanya sementara
Bukankah petikan lagu itu sangat positif? Coba dengar sekali-sekali, dan rasakan aura positifnya :D
Dan, banyak juga lagu lama yang di remake sama penyanyi muda masa kini, seperti Rio Febrian dan Ello. Aransemen lgunya disesuaikan dengan selera masyarakat sekarang. Versi baru itu juga bagus, menurutku. Namun versi lamanya tetap punya tempat tersendiri di hatiku.

Aku bersyukur sejak dulu telah diperdengarkan Bapak lagu-lagu semacam ini. Lagu-lagu yang mungkin sudah dilupakan banyak orang ini tetap bisa menghibur, memberi pelajaran, bahkan memunculkan banyak inspirasi yang dapat kutuang menjadi sajak, puisi, cerpen dan sebagainya, karena aku sangat senang menulis.

Bukan hanya kami yang berusia di atas 20 tahun yang suka lagu jadul. Adikku yang bungsu, yang masih SMA, bahkan mahir berduet gitar dengan Bapak, membawakan lagu Teluk Bayur-nya Ernie Johan secara instrumental dengan gaya keroncong. Padahal, ia masih sangat muda dan kebanyakan gaya bermain gitar anak muda di lingkungannya sangat dipengaruhi gitaris-gitaris jaman sekarang. Salutnya lagi, ia belajar gaya keroncong pada gitarnya secara otodidak!

Rabu, 14 Mei 2014

Balada Seorang Pemuda Desa

konon, dikenal seorang pemuda desa
lelaki hidung belang ayahnya
ibunya, perempuan yang barangkali sedikit murahan
yang kemudian meninggal demi memperjuangkannya menghirup hidup

dari para penduduk desa
hanya sedikit terbersit iba
ia hidup, tumbuh dengan perhatian ala kadarnya
kisahnya menjadi gunjing
buruk, amat buruk
sedih, amat sedih hatinya

lalu, si pemuda beranikan diri jamah tanah rantau
ia melangkah dalam duka
tak pernah asri hidup di desa :

pujaan hati telah berpaling ke lain pemuda
tak ada gadis yang mau berbagi hidup dengannya
karna ia miskin rupa
tak berharta,
sebatang kara tanpa keluarga.

kini tambah lagi deritanya:
kota berkhianat, tak menyisakan tempat

ia kembali ke desa
ia hidup sendiri di puncak bukit kesepian
saban malam meniup seruling,
disertai ratapan : ayah bunda apa salah anakmu,
hidup demikan menyakitkan?

penduduk desa terlena dibuatnya,
terbuai oleh liukan nada-nada

sepuluh tahun sudah ia tiada
namun, sesekali terdengar sendu alunan serulingnya
berkolaborasi dengan orkestra suitan angin
mendayu-dayu mengitari malam

sekali waktu, seorang anak bertanya kepada ayahnya
siapa peniup seruling itu?

jawab sanga ayah :
itu adalah pemuda desa,
yang terbuang,
yang tersia,
menyenandungkan balada hidupnya



Rabu, 16 April 2014

PULANG

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with www.thebaybali.com & Get discovered! 





Aku terbangun ketika seorang pramugari menggoyangkan bahuku pelan. Kulayangkan pandanganku ke luar jendela, dan tampak segalanya masih berwarna putih. Pramugari itu menawarkan snack dan minuman. Aku menguap kecil sebentar sambil menutup mulut dengan tangan, lalu mengangguk.
Aku baru saja kembali dari sebuah penjalanan panjang. Keliling dunia, kalau boleh aku menyebutnya begitu, meski kenyataannya aku hanya mengunjungi beberapa negara asia dan eropa. Dan aku sedang dalam perjalanan menuju ‘rumah’, dan tak sabar ingin mengunjungi ‘kekasih lama’.
 Aku yakin ketika aku menyebut rumah, kamu pasti membayangkan bangunan tempat tinggal yang nyaman. Aku tak akan menyalahkan apa yang kamu bayangkan, namun bukan rumah seperti itu tepatnya maksudku. Rumah bagiku adalah tanah tempat aku dilahirkan. Telah banyak negara kujelajahi, namun entah kenapa hatiku tertambat kuat di Indonesia. Aku juga punya rumah dengan arti yang sesungguhnya, namun aku tak yakin kepulanganku akan di terima kembali oleh ayah bunda.
Akan kuceritakan sedikit padamu mengenai diriku. Aku hanyalah anak adopsi yang berasal dari sebuah panti asuhan, yang diangkat menjadi anak oleh sepasang suami istri yang telah menikah dua belas tahun, tapi tak juga dikaruniai anak. Aku berusia sembilan tahun waktu itu.
Aku menjadi anak emas hingga di penghujung masa SMP ku, lalu bunda dinyatakan mengandung. Lalu lahirlah adik laki-lakiku, Rangga. Tentu saja konsentrasi bunda yang sejak awal hanya fokus padaku, kini terpecah menjadi dua. Namun aku tidak cemburu, karena aku sadar posisiku. Aku juga tidak menemukan perbedaan yang terlalu berarti dari sikap ayah bunda padaku sejak kehadiran Rangga. Kasih sayang mereka bagi sama rata.
Bunda bahkan punya sejuta planning untukku, karena ia ingin aku menjadi kakak yang patut jadi teladan bagi Rangga. Ia menyarankanku ikut kursus ini itu, ikut kompetisi sana sini. Ia juga melibatkanku mengurusi butik dan salonnya. Aku turuti semuanya, kulakukan dengan ulet dan tekun, meski aku tahu bahwa apa yang kujalani sekarang bukanlah yang kuinginkan. Semua keberhasilan, predikat juara, dan kebanggaan lainnya kupersembahkan bagi mereka, sebagai ungkapan terima kasih.
Tapi ada satu hal yang tak pernah mereka tahu, bahwa aku telah lama menabung demi satu impianku: melakukan perjalanan ini. Pernah suatu kali kusinggung pada bunda mengenai keinginanku ini, namun bunda tak setuju dan tak mau berkompromi.
Aku meninggalkan rumah setahun lalu, tepat ketika aku mengakhiri SMA. Aku ingin melakukan perjalanan, perjalanan yang sangat panjang dan jauh. Dan dapat ditebak dengan mudah, kepergianku tidak direstui doa ayah bunda.
Bukankah kita sendiri yang tau apa yang kita inginkan? Ketika itu aku berpikir bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku tak ingin menjadi boneka bagi orang lain. Tak ada seorangpun yang dapat mendikteku. Kuputuskan tetap pergi, meski di belakangku bunda terus mengomel-ngomel. Semoga saja tak ada sumpah-serapah dalam kalimat-kalimatnya dulu. Itu kini yang kuharapkan.
Bepergian seorang diri ke luar negeri bukan masalah bagiku. Mungkin terdengar sedikit mencemaskan, namun aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku menyimpulkan bahwa darah berani dan nekat ini mengalir dari orang tua kandungku, meski aku tak kenal dan tak tahu keberadaan mereka sekarang. Sedangkan bunda tak terlalu suka alam dan bepergian apalagi ala backpack, kecuali dengan pesawat kelas bisnis dan hanya ke tempat yang bergengsi, menurutnya.
Pernah beberapa kali aku menelepon ke rumah, namun selalu diangkat oleh Bik Sumi. Ia menyatakan rindu dan khawatir dengan keadaanku. Darinya aku mengorek tentang kabar ayah, bunda, dan Rangga. Ia mengatakan bahwa bunda terkesan cuek bila Bik Sumi menyinggung tentangku. Namun suatu kali ia tak sengaja memergoki bunda masuk ke kamarku, lalu memandang fotoku dengan tatapan sedih. Hal ini memunculkan sedikit rasa percaya diriku bahwa bunda masih mengharapkan kepulanganku, meski aku tak yakin seratus persen.
Satu hal yang membuat hatiku berbunga-bunga adalah ketika belakangan teman playgroup Rangga bermain ke rumah. Adik kecilku itu dengan bangga memperkenalkanku ke teman-temannya melalui foto keluarga yang di pajang di ruang tamu. “Ini kakakku, Kak Gadis,” ucap Bik Sumi dengan menirukan suara cadel Rangga. Sementara ayah jarang di rumah, tapi dari ekspresinya yang di tangkap Bik Sumi sehari-hari, tampak ayah juga selalu memikirkanku.
Aku tak sabar ingin segera tiba, namun aku juga bingung, apa yang akan kulakukan nanti. Aku sebenarnya telah sangat bahagia dengan perjalananku, petualanganku, namun rasanya ada yang kurang. Ada yang belum lengkap. Ada suatu dorongan raksasa dalam hatiku, yang terus memaksaku untuk pulang.
***
Aku kini tengah reuni dan bercengkerama dengan ‘kekasih lama’ yang tadi telah kukatakan padamu. Jangan berpikir bahwa kekasih yang kumaksud berbentuk seorang cowok dengan badan proposional, good looking, dan penuh cinta. Kekasihku ini adalah sebuah pulau indah di ‘rumahku’, dan aku telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama ketika dulu kami sekeluarga liburan ke sini di awal-awal aku diangkat jadi anak. Aku tak bisa melupakannya, selalu lekat dalam pikiranku, meski banyak pulau yang tak kalah indah yang telah kukunjungi. Aku tak akan pernah putus cinta dengannya. Dan di sinilah aku, The Bay Bali.
Aku duduk di pasir putih tanpa alas. Kupandang laut lepas dengan pikiran mengawang-awang. Tampak seorang bocah bule, kira-kira berusia lima tahun, berlari tak sabar menuju bibir pantai yang dijilati ombak. Papan surfing mini terkepit di ketiaknya. Seorang laki-laki muda tergopoh-gopoh mengejarnya.
Aku memperhatikan mereka berdua asyik belajar surfing di ombak yang kecil-kecil. Anak yang mengenakan rompi pelampung itu tampak sangat antusias. Ayahnya mengangkatnya, lalu mendudukkannya di atas papan surfing mininya, kemudian mendorongnya pelan-pelan.
Go, Daddy, go...” teriaknya riang sambil mengepalkan tangan kanannya ke udara. Ketika ia terjungkir dari papannya karena ombak menghempaskannya hingga terlepas dari pegangan ayahnya, ia meringis. Tapi ia tak berhenti mencoba. Ia minta dinaikkan lagi ke papan surfingnya.
Aku jadi teringat ketika pertama kali mencoba mengendalikan papan surfingku sendiri. Awalnya aku masih takut-takut, kagok, sering terjungkir, bahkan beberapa bagian tubuhku pernah terluka karena menghantam papan surfingku sendiri ketika terjatuh. Hingga suatu hari aku sudah mampu berdiri sendiri dengan gagahnya di atas papan panjang itu. Aku sudah mampu menantang ombak yang ada di depanku, di lautan manapun yang telah kukunjungi. Kukatakan padamu bahwa salah satu kebahagiaanku adalah ketika aku berhasil menguasai mereka semua. Rasanya aku tak takut pada apapun lagi.
***
Aku bangkit dan sedang menepuk-nepuk celanaku ketika seseorang menyentuh bahuku.
“Joe....” seruku takjub begitu melihat siapa di belakangku. Aku melompat kepelukannya, namun segera kulepas sambil meringis dan mendapati hatiku malu karena kelakuanku tadi. Joe hanya tertawa sambil mengacak rambut pendekku.
“Segitu kangennya, ya, sama aku?” godanya. Ia adalah sahabatku di panti asuhan. Kami sangat akrab, bahkan seperti ia sudah kuanggap sebagai kakak laki-laki. Dulu aku sampai menangis ketika harus berpisah dengannya karena aku telah lebih dulu bertemu orang tua angkat. Namun ia menenangkanku, mengatakan bahwa hubungan kami akan baik-baik saja. Kami tetap satu sekolah hingga kelas dua SMP, namun ia harus pindah karena ia juga diangkat jadi anak oleh orang lain.
“Tadi aku enggak yakin kalau orang yang kulihat adalah kamu. Tapi setelah kupastikan, aku memang enggak salah orang,” katanya.
“Wah, bisa kebetulan begini ya?!”
“Bukan kebetulan. Ini memang sudah seharusnya terjadi,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti. Sungguh di luar dugaan. Kami telah terpisah sekian tahun, tahu-tahu bertemu di tempat elok ini.
“Udah lama di Bali?”
“Belum. Baru tadi pagi landing di sini. Kamu?” jawabku, seraya balik bertanya.
“Aku sudah seminggu di sini. Ada proyek bisnis keluarga, tapi hari ini aku free.”
“Kalau gitu boleh dong kamu jadi tour guide sehari?” gurauku. Joe mengangguk cepat, seolah tak perlu berpikir untuk mengiyakan permintaan asalku tadi.
“Ke sana yuk, dijamin nggak akan boring...” ucapnya sambil menggamit lenganku. Aku menurut. Aku merasa sangat beruntung hari ini. Aku bisa mengunjungi kekasih lama, sekaligus bertemu sahabat lama.
Kami tiba di kawasan yang tema dan konsepnya seperti lingkungan kehidupan bajak laut. Ada rumah-rumah pohon, tenda terbuka di sana sini, bahkan lengkap dengan sebuah kapal yang menghadap laut. Nuansanya sangat lain dari pantai-pantai kebanyakan. Seandainya bisa memilih, aku ingin tinggal di tempat seperti ini. Akan sangat menyenangkan setiap hari bisa melihat deburan ombak, juga belaian angin laut yang sepoi-sepoi.
“Aku dengar kamu pergi dari rumah, ya?” tanya Joe pelan. Dengar? Dia dengar darimana? Apakah aku sudah setenar itu sampai semua orang tahu tentangku?
“Ya,” sahutku singkat.
“Apa kamu enggak kepikiran keluarga kamu?”
“Aku kepikiran kok. Tapi aku ingin bebas mencoba hal lain, mencari kesenanganku sendiri.”
Tampak olehku sepasang orang tua yang telah berusia senja duduk selonjoran di sebuah tempat dari bambu yang di rancang sedemikian rupa dengan posisi digantung di bawah dahan pohon yang besar dan kuat, hingga menyerupai ayunan. Mereka duduk berdampingan. Si suami tampak menggoda istrinya, lalu keduanya tertawa bersama, tampak bahagia menjalani ujung hari  mereka.


Kami berhenti di bawah sebuah pohon, tepat di depan anak-anak tangga yang juga tersusun atas bambu-bambu. Di atas kami tampak bangunan tree house yang sangat indah.
“Kamu enggak akan meraih kebahagiaan dengan mengorbankan orang lain, kan?” tanya Joe. Aku tersentak. Pertanyaan Joe mengusikku.
“Enggak ada yang jadi korban, kok.”
“Siapa bilang? Ayah bunda kamu yang baik itu adalah korban atas keputusan kamu. Kamu tahu mengapa mereka mengadopsi anak? Karena mereka ingin mencari kebahagiaan melalui kita.” Joe mulai menapaki tangga bambu itu.
“Mereka enggak kasih izin. Bunda ingin aku kuliah dengan jurusan yang dia mau, sementara aku ingin backpakingan. Pendapat kami bentrok.” sahutku cepat sambil mengekor langkahnya.  
“Semua perbedaan pendapat pasti punya solusi. Percayalah. Hanya saja semua orang sibuk mementingkan diri sendiri dan terlalu menuruti egonya...”
Kami telah tiba di lantai paling atas. Aku terdiam dan sedikit merasa tersinggung mendengar kalimatnya yang secara tidak langsung menuduhku. Meski demikian, aku merasakan kebenaran kalimat-kalimatnya. Aku seharusnya lebih berpikir matang dan membicarakan semua dengan baik-baik.
“Kamu benar, Joe.”
“Hanya keluarga tempat untuk kembali, kan? Dulu keluarga kita adalah panti asuhan, tapi kini kita punya keluarga sendiri. Kita harus menjaganya dengan baik.”
Joe selalu lebih bijak dan lebih dewasa dari aku. Dan ia telah membuatku sadar. Kutarik nafas panjang, lalu berucap,” kamu sangat benar. Aku ingin pulang, dan.....minta maaf.” Setelah mengucapkan kalimat itu, aku menemukan apa yang kurang dalam kebahagiaanku dan untuk apa aku pulang.


Kami terdiam sambil memandang ke bawah. Arena kapal Pirates sedang ramai-ramainya. Aku tertarik dengan keriuhan anak-anak berkostum bajak laut di bawah sana. Mereka asyik berkejar-kejaran mengitari sebuah kapal yang seolah telah dihempaskan oleh ombak besar hingga terdampar ke tempat ini. Anak-anak itu bermain perang-perangan, saling mengklaim daerahnya sendiri, dan bertindak seolah merekalah pemimpin perompak yang gagah dan garang. Suasana ramai dengan suara teriakan, tawa canda, dan berbagai ekspresi lainnya. Para orang tua tampak mengawasi mereka sambil sibuk memotret tingkah lucu bocah-bocah itu.
Tanpa sengaja, aku menangkap bayangan anak kecil yang sepertinya kukenal. Namun ia segera berlari ke sisi lain kapal, hingga hilang dari pandanganku. Rangga? Apa benar itu tadi Rangga? Aku mengedarkan pandanganku lebih luas, berharap menemukan sesuatu untuk memperjelas dugaanku.
“Ada apa?” tanya Joe. Sepertinya perubahan sikapku tertangkap olehnya.
“Rangga. Sepertinya aku melihat adikku di sana tadi,” jawabku sembari menunjuk kapal pirates yang masih tak berkurang riuhnya.
“Kamu yakin? Coba hubungi ayah, atau bunda kamu saja untuk memastikan...”
Segera kukeluarkan ponsel dari saku celana pendekku, lalu menelusuri deretan kontak. Bukan ayah atau ibu yang ingin kutelepon, melainkan rumahku di Jakarta sana. Dan seperti yang sudah-sudah, Bik Sumi lagi yang menjawabku. Tanpa basa basi, aku langsung menanyakan Rangga.
“Tuan, Nyonya sama Den Rangga lagi ke Bali, Non.”
Benar sangkaku. Berarti tak ada yang salah dengan penglihatanku barusan, bocah itu memang Rangga.
“Acara apa, Bik?” tanyaku penasaran. Sejak Rangga lahir, ayah menjadi sangat sibuk, lebih sibuk ketika telah mengadopsiku. Beliau adalah ayah yang sangat baik dan bertanggung jawab. Tumben sekali di hari kerja begini ayah bisa meluangkan waktu untuk pergi jalan-jalan.
“Kan Den Rangga ulang tahun, Non. Kemarin Rangga mintanya jalan-jalan ke Bali. Non Gadis dimana?”
Aku menepuk dahi, lalu mematikan telepon tanpa menghiraukan pertanyaan Bik Sumi.
“Benar, Joe. Yang kulihat tadi memang Rangga. Ia ulang tahun hari ini. Bik Sumi bilang mereka ke sini untuk merayakannya,” jawabku sedikit gelisah. “Kenapa bisa serba kebetulan begini?”
“Bagus!” Joe mengangguk-angguk.
“Bagus apanya?”
“Bukannya tadi kamu bilang kamu mau minta maaf dan berkumpul lagi dengan mereka? Ini momen yang memang sudah di rancang Yang Di Atas. Bukan kebetulan.”
Kuacak rambutku hingga kacau. Niat awalku ke sini hanya untuk menenangkan pikiran sebelum pulang ke Jakarta, menemui ayah dan bunda. Namun semua berbanding terbalik.
Kutatap Joe penuh harap. “Kamu temani aku, ya...”
Ia mengangguk.
***
Aku dan Joe kini berdiri di depan restoran Bebek Bengil. Keluargaku ada di dalam sana, begitu kata Joe, setelah ia kutugasi melakukan penguntitan kecil-kecilan. Joe menggenggam tanganku sambil menuntunku masuk ke dalam restoran itu.
“Tangan kamu dingin banget, Dis,” bisiknya. Aku hanya mengangguk kecil. Aku sedikit gugup, cemas membayangkan bagaimana reaksi ayah dan bunda yang sudah setahun tidak bertemu anaknya, maksudku anak adopsinya. Masihkah mereka peduli? Atau mereka telah lupa padaku, dan cukup bahagia dengan kehadiran Rangga?
Suasana restoran yang nyaman membuatku sedikit rileks. Lalu tampak olehku, keluarga kecilku duduk di depan sana. Jarak kami hanya dipisahkan beberapa meja saja. Rangga yang duduk di samping ayah tiba-tiba menoleh dan menyadari keberadaanku.
“Kak Gadis...!” serunya. Aku rindu suaranya yang menggemaskan itu, sudah sangat lama aku tidak mendengarnya. Ayah dan bunda turut menoleh dan terlihat sangat kaget. Mungkin mereka tidak menduga aku tiba-tiba hadir di depan mata mereka.
Joe mendorong bahuku dengan lembut, mengisyaratkan agar aku melangkah maju. Aku menatapnya, meminta dukungannya agar aku mampu untuk menekan egoku dan berjalan menyongsong Rangga yang kini turun dari kursinya, lalu berlari ke arahku.  Rangga tampak begitu bahagia melihatku kembali. Dapat kutangkap binar-binar ceria di mata bulatnya dan bibirnya yang tersenyum lebar. “Kak Gadis... Kak Gadis...!”
 Beberapa pengunjung sampai menoleh karena mendengar suara berisik Rangga yang memanggil-manggil namaku. Ingin rasanya kulupakan bahwa saat ini aku berada di tempat umum, kemudian aku berlari menyambut Rangga, lalu meraihnya ke dalam pelukanku. Namun aku hanya mampu melangkah dengan canggung. Rangga meraih tanganku, lalu menarikku menuju meja tempatnya semula. Ayah menatapku, dengan ekspresi yang tak dapat kuterjemahkan, apakah ia senang atau kesal, atau apa. Namun tiba-tiba ia bangkit dan memelukku. Aku sama sekali tak menyangkanya, dan kubalas pelukan itu dengan erat.
“Maafkan Gadis, Yah. Gadis enggak tahu terima kasih,” bisikku lirih.
“Enggak apa-apa,” jawabnya lembut. Aku sangat bersyukur karena ayah menunjukkan reaksi seperti yang kuharapkan. Kulirik bunda. Wajahnya beku, ia bahkan tak memandangku. Aku menarik nafas panjang sembari berusaha meruntuhkan sisa-sia gengsi dan egoisku.
“Bunda,” panggilku. Ia tak bergeming. Kutundukkan kepalaku, sedikit menyesal akan sikapku padanya ketika memutuskan pergi dulu. Bunda mengangkat wajahnya, dan tatapan kami bertemu. Aku kaget mendapati matanya telah sembab.
“Bun, sori, Gadis...” belum kuselesaikan kalimatku, namun bunda memotongnya cepat.
“Kamu, ya...” hardiknya, tampak kesal. Aku pasrah menerima kemarahan ibu. “Kamu memang juara membuat ibu marah, kesal, sedih, juga...kangen!”
“Maafin Gadis, Bu,” ucapku pelan. Aku dan ibu berpelukan sambil menangis sesenggukan. Aku tak menyangka ibu demikian merasa kehilangan. Aku benar-benar merasa bodoh dan tak berarti.
“Kamu jangan pernah mengulanginya lagi, atau bunda takkan memaafkanmu.” Aku mengangguk. Ada yang lega di sudut hatiku dan semua kecemasanku berakhir sudah. Setelah bunda melepaskan pelukan dan sedikit lebih tenang, aku baru sadar telah mengabaikan Joe. Dengan gerakan kepala aku mengisyaratkan Joe untuk mendekat.
“Joe, kamu juga di sini?” tanya ayah begitu melihat Joe. “Dia pernah beberapa kali datang ke rumah sejak kamu pergi. Dia nanyain kamu terus. Bik Sumi yang cerita....” ujar ayah tiba-tiba, membuat Joe menunduk, menyembunyikan wajahnya. Mungkin ia malu karena kelakuannya dibongkar ayah tepat di depanku.
“Aduh, ini semua pada kenapa sih? Rangga nggak sabar mau makan bebek,” celetukan polos Rangga mencairkan suasana.
“Tenang saja. Bebeknya nggak akan terbang, kok,” sahut Joe mencoba lucu. Ia berhasil karena kini kami tertawa. Oh, aku melupakan sesuatu. Kudekati Rangga dan tanpa ia sangka-sangka, aku memeluknya.
Happy birthday, ya, sayang...” ucapku. Kucubit pipinya sebelum menciumnya. Joe juga mengikuti apa yang kulakukan. Rangga tampak malu-malu, namun ia tersenyum lebar. Kami duduk bersama dengan nuansa penuh kehangatan. Waitress datang dengan nampan penuh makanan karena ayah memesan lagi untukku dan untuk Joe. Aku tertawa melihat Rangga hampir meneteskan air liur ketika melihat makanan yang berlimpah itu.
Rangga terlihat sangat rakus dan kini ia asyik dengan bebek keduanya. Aku takjub. Setahun berpisah dengannya, sepertinya ia telah tumbuh dengan perut yang lebih besar dan elastis hingga mampu menampung banyak makanan. Tapi tak apalah, hari ini ia ulang tahun, biar saja ia makan sebanyak ia mau. Dan kuakui, hidangan bebek ini memang sungguh istimewa, hanya saja aku malu untuk minta tambah.
***
Pagi ini sungguh indah, dan ini pagi terbaik dalam hidupku. Aku berjalan beriringan dengan Joe menuju pantai Nusa Dua. Ups, ada Rangga juga. Ia memaksa ikut dengan kami, sementara ayah dan bunda masih terlelap karena semalaman kami begadang untuk bercerita dan melepas kangen. Aku juga kembali menerima omelan-omelan bunda karena aku tak seharusnya bersikap sesukaku sendiri. Namun tak masalah, aku memang pantas menerimanya.
Joe menggenggam tanganku, sementara Rangga berjalan di depan kami sambil asyik berceloteh sendiri, mengomentari apa saja yang dilihatnya.
“Aku senang kamu sudah pulang. Semoga kamu tidak akan pergi lagi.”
Kupandang mata Joe. Aku tak mau berpikir berlebihan, namun rasanya ada yang beda dengan tatapannya itu, tidak sama seperti kemarin. Temanku sejak kecil ini tersenyum manis, membuatku terhipnotis untuk tersenyum pula.
“Aku sayang kamu,” bisiknya di telingaku. “Aku akan sangat bahagia kalau kamu mau tinggal di sini,” tambahnya lagi sambil menempatkan tangan kananku di dadanya,”selamanya...”
Aku baru sadar kalau ternyata sumber bahagia Joe adalah aku. Aku tersenyum dan memandang jauh ke depan. Hatiku mengangguk mendahului kepalaku, lalu berbisik, inilah sebenarnya kebahagiaan yang kucari, semua terasa lengkap kini. I’m back home for this true happines.