Rabu, 06 Desember 2017

TABIAT [Cerpen Harian Waspada, Minggu 03 Desember 2017]

ilustrasi oleh Harian Waspada
TABIAT
Oleh Dian Nangin
            Dulu aku tak paham mengapa ibuku suka cemberut dan berwajah masam bila ayah berlama-lama di kedai kopi. Dan berkali-kali. Aksi cemberut itu kemudian diikuti sikap  marah dalam diam dengan meninggalkan bantal (dan seringkali tanpa selimut) di sofa ruang tamu, lalu ia mengurung diri di kamar dan tidur sendirian.
Tinggallah ayah dengan ‘hadiah’ yang menyambutnya di sofa kala pulang. Ia memilih untuk tidak repot-repot mendinginkan hati ibu yang sedang panas dengan mengakui kesalahannya, malah menganggap itu sebagai konsekuensi yang setimpal atas kesenangan yang ia peroleh di kedai kopi. Perangai itu memicu pertengkaran lebih dalam lagi, sebab, ibu semakin merajuk karena tak dibujuk dan ayah tak juga meminta maaf.
            Sewaktu masih kecil, ayah cukup sering membawaku ke kedai kopi. Bukan aku

Senin, 20 November 2017

HITAM PUTIH [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu 19 November 2017]

ilustrasi oleh Harian Analisa
HITAM PUTIH
Oleh Dian Nangin
Pintu berderit kencang dan menghantam dinding setelah dibuka dengan sembrono oleh Ayu, pacarku. Terpaksa kuhentikan gerakan tanganku pada tuts piano yang tengah memainkan sebuah lagu yang baru separuh jalan.
Ayu duduk di sebelahku dengan nafas terengah-engah. Titik-titik keringat membuat anak-anak rambut menempel di sisi-sisi wajahnya.
“Kenapa lagi?” Ini bukan kali pertama aku menghadapi Ayu dengan mood yang sedang berantakan.
“Kacau!” katanya sambil menghembus nafas kencang. “Tiga jam sudah rapat dilakukan, tapi sampai sekarang konsep perayaan hari guru belum diputuskan.”

Pekerjaan Sampingan Bagi Pecerpen [Harian Medan Bisnis, Minggu 19 November 2017]

Dok. Pribadi
PEKERJAAN SAMPINGAN BAGI PECERPEN
Oleh Dian Nangin
Aku hampir tertidur kalau saja ceret di atas kompor tidak bersiul nyaring dan memulihkan kembali kesadaranku. Dengan malas aku bangkit dari kursi bambu dan menyeret kaki menuju dapur. Kuseduh kopi untukku sendiri. Bersama cangkir yang mengepulkan uap, aku berjalan menuju pintu depan dan melayangkan pandang. Tak tampak seorangpun sejauh jangkauan mata.
Hampir dua minggu kedai kopi tempatku bekerja sepi pengunjung. Padahal dulu, aku berpikir bahwa salah satu pekerjaan sampingan paling sempurna untuk seorang penulis cerpen adalah dengan menjadi pegawai kedai kopi. Atau, mungkin kebalikannya. Pekerjaan sampingan seorang pegawai kedai kopi sebaiknya adalah penulis cerpen. Kedua pekerjaan itu saling melengkapi satu sama lain.
        Mungkin tidak ada teori yang mendukung kalimat di atas, murni pengamatan dan pengalamanku belaka. Namun,

Minggu, 05 November 2017

DUA KEKASIH [Harian Analisa, Minggu 05 November 2017]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

DUA KEKASIH
Oleh Dian Nangin
Aku sedang sekarat—hidupku rasanya sudah di ambang batas. Seakan dapat kulihat malaikat maut tengah tersenyum manis padaku sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa tergeletak di lantai. Kepalaku berada di pelukan seorang perempuan. Perempuanku. Wajahnya pias demi melihatku tak berdaya. Ia hanya bisa kutatap di antara celah sempit kelopak mataku yang nyaris menutup. Kulewati menit demi menit sambil menghitung dalam hati, memperkirakan berapa lama lagi aku sanggup bertahan.

Rabu, 25 Oktober 2017

PATAH [Cerpen Harian Waspada, Minggu 22 Oktober 2017]

PATAH
Oleh Dian Nangin
Setelah berjalan bersama begitu jauh, bergandengan tangan melewati kerikil hingga batu besar yang menghadang, menapaki jalan yang tak selalu mulus, ia meminta kami berhenti tepat selangkah sebelum tiba di tujuan akhir. Tujuan akhir yang akan mengantarkan kami pada awal yang baru. Ia memilih berbalik dan pergi. Mustahil bagiku untuk melanjutkan perjalanan seorang diri, sebab perjalanan ini diperuntukkan bagi dua orang.
Tanpa menoleh lagi, ia meninggalkanku beserta sejumlah pekerjaan yang berat untuk dilakukan; menarik ratusan undangan yang telah disebar, membatalkan segala rencana yang telah disusun matang.

Senin, 02 Oktober 2017

JATAH [ Cerpen Harian Banjarmasin Post, 01 Oktober 2017]

ilustrasi oleh Harian Banjarmasin Post

JATAH
Oleh Dian Nangin
Pur melongokkan kepalanya ke luar barisan dan mendapati bahwa antrian masih cukup panjang di depan, pun jauh mengular di belakangnya. Ia tak paham apa sebab musabab angka kematian di penghujung tahun ini cukup tinggi, entah mengapa pula mereka terpilih sebagai jiwa-jiwa yang tak diizinkan melangkah ke tahun yang baru. Sementara manusia-manusia lain masih punya waktu untuk meneruskan hidup, mereka justru terjebak dalam antrian sebelum menerima keputusan akan melangkah ke dalam surga atau mendekam di neraka.
Namun menunggu dalam antrian itu tak serta merta membuatnya bosan, sebab ada sebuah layar yang cukup lebar terpasang jauh di depan, mempertontonkan semacam rekaman kehidupan. Berbagai tingkah dan tindak-tanduk

Senin, 11 September 2017

RAHMAT [Cerpen Harian Waspada, Minggu 10 September 2017]

Ilustrasi oleh Harian WASPADA

RAHMAT
Oleh Dian Nangin
—Untuk abangku, R.E. PA

Lama kupandangi wajah lelaki ini. Namun ia seakan acuh tak acuh padaku, lebih memelihara keintiman bersama sebatang kretek dan asap putih yang bergulung-gulung di udara usai ditiupkan kuncup bibirnya.
Kuteguk kopi hitam yang mulai dingin dan serta merta aku mengernyit.
“Terlalu pahit?” Ternyata ia menangkap reaksiku.
“Sedikit. Tapi enak, kok,” jawabku.
Aku terbiasa mengonsumsi kopi sachet, sesekali pergi ke kafe demi secangkir kopi dengan gula dan krimer ramuan barista profesional. Kini lidahku terkaget-kaget ketika diserbu minuman dengan nama yang sama tapi rasanya begitu berbeda. Namun ada sesuatu di balik kopi ini yang membuatku mampu meneguk dan menyesap esensinya. Sebab kopi ini ditanam sendiri oleh lelaki ini, diolah sendiri pula dengan cara tradisional. Ia juga memaksa untuk menyeduh sendiri dan menghidangkannya bagiku.
“Kau begitu jarang datang. Biarkan aku menjamumu,” katanya beralasan.
Diam-diam aku dilanda haru. Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap di hati. Pekerjaanku di kota begitu serakah, menyita sebagian besar waktuku dan hanya menyisakan sedikit kesempatan pulang ke kampung untuk menengoknya.

Selasa, 29 Agustus 2017

SATU HAL KECIL [Cerpen Harian Medan Bisnis, Minggu 16 Juli 2017]

ilustrasi oleh Harian Medan Bisnis

SATU HAL KECIL
Oleh Dian Nangin
            Malam yang sudah jauh merangkak seharusnya membungkusku dengan keheningan. Seharusnya. Namun semua buyar ketika salah satu kamar rumah tetangga sebelah kembali menyalakan lampu dan kemudian terdengarlah teriakan-teriakan itu.
Ingin rasanya aku melempar jendela mereka dengan gelasku yang berisi endapan ampas kopi. Cairan hitamnya sudah habis kuteguk sebagai amunisi untuk mengarungi malam dengan setumpuk naskah yang harus kuedit. Sekarang aku nyaris frustasi karena tak bisa melanjutkan pekerjaanku, tapi juga tak bisa pergi tidur karena kafein dari segelas kopi barusan telah membuat kedua mata ini tetap nyalang, tak mau terpejam.
            Seminggu sudah aku menghuni rumah ini setelah mengidamkannya sejak lama. Kurelakan delapan puluh persen tabunganku melayang demi sebuah bangunan di kompleks yang harusnya tenang ini, ditopang sokongan orang tuaku dan bantuan sukarela dari kekasihku yang telah bekerja di luar kota.
            Aku bersyukur bisa memiliki tempat yang nyaman dan akan mendukung penuh pekerjaanku sebagai editor naskah fiksi, yang sesekali juga menulis. Namun, aku tidak minta ‘bonus’ berupa kegaduhan ini.
Awalnya teriakan-teriakan itu hanya terdengar di pagi atau siang hari, namun kini mereka sudah keterlaluan. Aku heran, bagaimana bisa para tetangga tidak pernah mengeluhkan keributan yang makin hari makin menjadi itu?

Selasa, 22 Agustus 2017

Jangan Layu, Bunga [Cerpen Harian Waspada, 20 Agustus 2017]

ilustrasi oleh Waspada
JANGAN LAYU, BUNGA
Oleh Dian Nangin
            Kakiku seakan dipaku ke dalam bumi ketika tak sengaja kulihat sekelebat wajahnya. Kupicingkan mata. Hatiku bersikeras menyangkal kebenaran bahwa perempuan penjaga lapak sayur mayur yang terkantuk-kantuk itu adalah dia.
Turut bersamanya bocah laki-laki dan perempuan yang juga terkantuk-kantuk di tengah siang yang terik. Mereka merekat erat, seakan takut ada seseorang yang akan memaksa memisahkan mereka. Hatiku separuh bimbang, entah aku sedih atau senang melihatnya lagi.
            “Perempuan itu.....,” kutelan gumpalan di tenggorokan demi menyebut namanya,”...Melati, bukan?”
            “Benar.” Aku tak tahu siapa yang menyahut di antara gerombolan pembeli kue-kue tempatku berdiri sejak tadi tanpa berniat membeli. Jawaban yang menegaskan dugaanku itu benar-benar menceluskan hati.
            Tak dapat kutahan kerut-kerut di kening. Apa yang tersaji di depan mata sungguh bertolak belakang dengan apa yang kuimajinasikan selama ini tentangnya: ibu muda yang cemerlang, mengisi hari-hari dengan menerima dan memberi cinta. Kuhibur diri

Senin, 31 Juli 2017

SINABUNG - SIBAYAK [Cerpen Harian Analisa, Minggu 30 Juli 2017]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan/analisa

SINABUNG SIBAYAK
Oleh Dian Nangin
Kujejakkan kakiku yang kelelahan pada sebongkah batu pada puncak tertinggi gunung ini. Tangan berkacak di pinggang. Kepala mendongak menatap wajah langit. Bukan maksudku untuk pongah, aku cuma ingin menikmati klimaks kebanggaan serta kemenangan setelah menaklukkan jalur-jalur terjal dan tak mudah. Tiba-tiba terdengar suara jepretan serta samar cahaya berkilat yang berlalu dalam sekejab dari tustel yang dipegang oleh seorang perempuan.
“Tustel? Kuno amat?” sebuah suara menyela ceritaku.
“Ini cerita tahun 70’an, ingat?” kujawab dengan bertanya balik.

Senin, 10 Juli 2017

TUTUR AIR MATA [Cerpen Medan Pos 09 Juli 2017]


sumber google

 TUTUR AIR MATA
Oleh Dian Nangin
            Kebanyakan penumpang langsung terkantuk begitu bus mulai melaju. Sementara aku mengeksplorasi terlebih dahulu setiap hal yang kujumpai di tempat baru. Ini adalah kali pertama kami—aku dan beberapa teman—menginjakkan kaki di  kota Medan, dimana kami siap bertolak ke daerah dataran tingginya, berniat menjelajahinya selaku backpacker yang haus pengalaman pengembaraan.
Sopir menyetel lagu daerah yang dentum-dentumnya mengalahkan gerungan mesin bus. Tapi tampaknya tak ada yang benar-benar menikmati suguhan musik itu. Beberapa penumpang yang tak bisa tidur cenderung melamun, berselancar di dunia maya, atau bermain game di ponsel untuk membunuh waktu.
Dan, sepintas tak ada yang salah dengan perempuan muda yang duduk di sebelahku ini. Tadi dengan sopan ia bertanya apakah ia bisa duduk dekat jendela. Tentu saja aku mengangguk sambil menggeser tubuh, memberinya ruang yang cukup. Bahkan kubatalkan niatku merokok demi membuatnya nyaman.
            Sejenak aku merasa beruntung duduk bersisian dengannya. Bercakap dengan perempuan cantik, meski sekedar basa basi, akan menjadi hal menyenangkan untuk mengarungi perjalanan ini. Apalagi kalau bisa lebih dari itu, sedikit lebih dekat apalagi dapat berlanjut ke hari-hari yang akan datang. Ah, belum apa-apa hatiku sudah berharap lebih.
            Tapi, ketika aku mencuri pandang, kutangkap samar bayangannya melalui pantulan kaca jendela. Pandangannya jauh menerawang, seakan dapat menembus kegelapan di luar sana.

Rabu, 05 Juli 2017

RUMAH TERAKHIR [Cerpen Sumut Pos, 02 Juli 2017]

dok. pribadi

RUMAH TERAKHIR
Oleh Dian Nangin
            Langit senja tersaput mendung. Sekumpulan capung terbang rendah dan cepat. Cukup rendah hingga aku bisa menangkapinya dengan tangan kosong—hal yang sering kulakukan kala kecil, namun waktu itu aku masih pendek dan kalah gesit.
Aku berdiri di pintu belakang sebuah rumah tua, menatap langsung pada sebuah makam yang dikelilingi kebun kecil berisi aneka ragam tanaman. Ke sanalah kulangkahkan kaki.
Tempat peristirahatan nenek telah dibangun sejak sepuluh tahun lalu, tepat berdampingan dengan milik kakek. Bukannya bermaksud tidak sopan dengan mempersiapkan kuburan selagi beliau masih hidup, namun hal ini memang telah menjadi kebiasaan umum di kampung kami. Bahkan nenek sendiri tidak keberatan.
Kakek telah meninggal selama seperempat abad kini. Kuburan kakek awalnya seperti tempat peristirahatan abadi kebanyakan—jasadnya ditanam dalam tanah dengan sebuah nisan sebagai penanda. Bertahun-tahun kemudian, setelah kehidupan dan keuangan ayah serta paman-pamanku membaik, mereka sepakat membuatkan sebuah makam berbentuk balok, diberi ukiran-ukiran indah, dan meneduhinya dengan atap. Lalu diadakanlah sebuah acara adat pemindahan tulang kakek dari kuburan tanah ke makam yang baru.
Kata nenek, dulu aku ikut menggali bahkan mencuci tulang kakek sebelum dimasukkan peti dan berakhir di makam tersebut. Sebuah foto lama yang telah usang membuktikan kebenarannya. Tapi tak kuingat apa yang terjadi waktu itu, sebab aku masih berwujud kanak-kanak yang belum mampu menyimpan kenangan.
Tak mampu kuundang bayangan wajah kakek yang tak pernah kukenal—aku masih sangat muda dalam kandungan ibuku ketika ia meninggal. Bahkan tulangnya yang sempat kugenggam pun luput dari memori. Apa kakek pernah

Senin, 19 Juni 2017

SANGKAL [Cerpen Banjarmasin Post, Minggu 18 Juni 2017]

ilustrasi oleh Banjarmasin Post

SANGKAL
Oleh Dian Nangin
         Tak ada yang lebih mengherankan orang-orang selain melihat perangai Trisno bersama Rayani, istrinya. Bayangkan, ia menikah di usia dua puluh dengan meminang Rayani yang hanya selisih dua tahun di bawahnya. Usai menikah, Trisno membangun rumah kecil tepat di luar tembok tinggi yang membentengi sebuah bangunan megah berlantai tiga dimana ayah ibunya tinggal. Memilih bermukim di perkampungan kumuh yang selama ini hanya bisa ia lihat dari beranda kamarnya yang berada di lantai tertinggi.
         Trisno tak ubahnya putra mahkota yang terusir dari istana. Namun kali ini kasusnya beda, sebab lelaki muda itu memutuskan sendiri untuk angkat kaki dari sana, tak peduli walau ibunya menahan dengan berurai air mata. Bersama istrinya ia mengikat sebuah kesepakatan bagaimana mereka akan

Selasa, 06 Juni 2017

JEJAK-JEJAK WAKTU [Cerpen Harian Waspada, 04 Juni 2017]


Ilustrasi oleh Harian Waspada
JEJAK-JEJAK WAKTU
Oleh Dian Nangin
Barangkali suatu saat kau akan menjalani masa-masa seperti ini ketika kau telah mencapai angka usiaku; duduk di teras sepanjang hari, istirahat dan bersantai—satu-satunya kegiatanku sekarang—sambil menikmati pemandangan daun-daun kering yang berjatuhan dibawa angin, namun juga sekaligus meruapkan aroma kandang kerbau peliharaan tetangga.
Rasa iri menyelimuti hati ketika melihat orang-orang yang masih lincah dapat bergerak dengan gegas ke tempat yang ingin dituju. Sementara kau hanya bertemankan ayam-ayam yang seenaknya berkeliaran, bahkan menyemprotkan kotoran mereka di dekatmu dan kau sudah tak punya tenaga untuk menghalau mereka. Itulah yang terjadi padaku, pemandangan yang lazim kau temui di kampung-kampung.
Tanganku kadang masih gatal ingin meraih sapu lidi untuk membersihkan daun-daun yang mengotori pekarangan rumah. Namun bila aku memaksa diri melakukannya, perawat atau tetangga yang kebetulan melihat akan segera menghampiri dan merebut sapu itu dari tanganku. Mereka lalu berujar bahwa aku tak boleh terlalu lelah, bahwa kesehatanku adalah hal yang harus diutamakan. Namun, duduk sepanjang hari tanpa aktivitas malah membuatku semakin menderita.
Ah! Tubuh ini kini tak lagi segesit dulu ketika aku masih bisa menyapu halaman sembari menggendong bayiku di punggung. Kini aku hanya bisa teronggok

Sabtu, 03 Juni 2017

LILIN ULANG TAHUN [Cerpen Analisa, 31 Mei 2017]

Hello, June...!
Tidak terasa tahun ini sudah menggulirkan bulan keenamnya. Bertepatan dengan bulan Ramadhan yang dijalani teman-teman yang beragama muslim. Selamat berpuasa, ya....

Maaf, saya bukannya bermaksud lancang dengan memposting sebuah gambar yang bisa mengganggu kenyamanan dan kelancaran puasa teman-teman sekalian. Gambar di atas adalah ilustrasi cerpen saya yang untuk pertama kali mengalami pemuatan ganda dan...di media yang sama!

Kenapa bisa?

Jadi, ceritanya, cerpen saya yang berjudul 'Lilin Ulang Tahun' ini pernah saya kirimkan ke Harian Analisa untuk Rubrik Cerpen yang terbit hari Rabu. Saya kirim pada 18 Februari 2016. Nah, setahun lebih berlalu dan cerpen ini tak kunjung dimuat. Maka, saya tariklah cerpen ini, saya edit sedikit, dan saya kirimkan kembali ke media yang sama, namun untuk Rubrik Rebana yang terbit hari Minggu. Saya kirim tanggal 06 Maret 2017 dan tiga minggu kemudian dimuat, tepatnya pada 26 Maret 2017. Kagetnya, cerpen ini muncul lagi pada Rabu kemarin, tanggal 31 Mei 2017. 

Ini adalah pemuatan ganda pertama saya, dan semoga yang terakhir, meski saya sudah beberapa kali melihat kasus serupa ini terjadi, baik pada media yang sama ataupun yang berbeda. Lagipula, cukup sulit untuk menebak kapan waktu tunggu yang pas bagi Harian Analisa. Pengalaman beberapa teman penulis yang juga mengirim karya ke Analisa juga membenarkan hal ini. Bisa jadi sudah setahun dalam antrian dan dipikir nggak akan dimuat, tau-taunya terbit. Namun walau demikian, semoga Harian Analisa tidak kapok menerima serbuan kiriman cerpen-cerpen saya. Karena saya sangat cinta menulis ❤

Dan, bagaimanapun, saya minta maaf atas hal ini...☺☺☺

Senin, 22 Mei 2017

KEDAI KOPI REPUBLIK INI [Cerpen Medan Bisnis, Minggu 21 Mei 2017]

ilustrasi oleh Medan Bisnis

KEDAI KOPI REPUBLIK INI
Oleh Dian Nangin
            Telingaku terjaga, samar menangkap beberapa suara. Sayup awalnya, namun semakin aku sadar semakin jelas suara itu terdengar. Kupaksa tubuhku bangun. Ternyata yang kudengar adalah kombinasi gelak tawa yang ditimpali sahut menyahut suara berbincang, memaksaku menyudahi mimpi yang belum lagi usai.
            Pukul lima pagi kurang seperempat. Suara berisik itu semakin menjadi-jadi. Dengan mata setengah membuka, aku melangkah menuju pintu depan. Kulongokkan kepala begitu daun pintu terkuak.
            Hebat! Bahkan anak-anak ayam pun belum bangun, tapi sekumpulan lelaki telah bercokol di kedai kopi. Apa yang mereka lakukan di sana sepagi ini? Arisankah? Aku menoleh ke kanan kiri, bingung. Tidak ada orang yang keluar dari deretan rumah kontrakanku. Hanya aku yang terganggu sebagai penghuni baru, ataukah para tetanggaku sudah terbiasa dengan keadaan ini?
***
‘Warung Sarapan Bu Tatiek’
            Itulah yang tertulis di bagian teratas sebuah etalase kaca

Selasa, 25 April 2017

BALADA AYAH SEMESTA [Cerpen Harian Sumut Pos, Minggu 23 April 2017]

Ilustrasi oleh Sumut Pos


BALADA AYAH SEMESTA
Oleh Dian Nangin

Dari bawah naungan kanopi yang juga diteduhi barisan pepohonan rindang itu, seorang lelaki tua melepas pergi putra bungsunya.
Lengannya mengepit sebuah jaket lusuh berbau asap. Bersepatu belel dengan gejala kerusakan terlihat di sana sini. Si jempol kaki kiri bahkan nyaris memblesak keluar. Kerut-kerut wajah muncul permanen, yang senantiasa terlihat tanpa perlu ia tertawa atau meringis. Dua atau tiga tahun lagi dipastikan giginya tanggal merata, menyusul si taring kanan atas yang copot kemarin akibat tak cukup kuat lagi untuk merobek daging ayam kampung—lauk yang dimasak istrinya sebagai selebrasi pemberangkatan si bungsu pergi kuliah.
            Rambutnya menguarkan bau matahari. Sedikit mengilat karena berminyak. Titik-titik peluh bertimbulan di kening kendati hari masih pagi dan panas belum terlalu menyengat. Peluh itu lalu membanjiri wajah, membasahi kerah baju, mengaliri tubuh, mengukuhkan statusnya sebagai pendatang dari gunung yang tak terbiasa dengan kota bertetangga laut.
***
Dari bawah naungan kanopi yang juga diteduhi barisan pepohonan rindang itu, seorang lelaki tua mengiringi langkah demi langkah bungsunya.
Sudah ia perhitungkan jarak terbaik antara ia dan si bungsu yang terus melangkah ke depan. Cukup puas ia memandang dari bawah naungan kanopi itu—tidak ingin mengantar hingga masuk ke dalam bangunan, apalagi ke depan kelas. Tak perlu orang tahu bahwa bungsunya memiliki ayah yang sudah tua—meski si bungsu tak terlalu memusingkan hal itu. Biarlah orang menduga sendiri bagaimana rupa sang ayah dengan menatap si bungsu—satu-satunya anak laki-laki dari antara empat saudara perempuannya.
Meski belakangan ini penglihatannya mulai memburuk,

Senin, 27 Maret 2017

Lilin Ulang Tahun (Harian Analisa, 26 Maret 2017)

Ilustrasi Oleh Renjaya Siahaan


LILIN ULANG TAHUN
Oleh Dian Nangin 
Selasar itu dipenuhi orang-orang yang seakan hidup tanpa beban—apakah itu tampak luarnya saja, entahlah. Beberapa orang duduk berkelompok, tertawa-tawa dengan benda elektronik dalam genggaman. Sebagian bernyanyi-nyanyi ditingkahi petikan gitar, ditimpa cekikikan segerombol gadis yang melintas dengan tampilan modis. Sementara kau sendiri berjalan tertunduk-tunduk di sisi dekat dinding, melangkah lebar-lebar, ingin segera menyingkir karena sadar pakaian kumal dan karung kecampangmu tak cocok membaur di sana.
Orang-orang bilang ini tempat untuk belajar, serupa sekolah. Batinmu bertanya bagaimana gerangan bentuk belajar yang dilakukan di sini. Ah, kau hanya masih terlalu belia, hingga jenjang pendidikan semacam ini belum terjangkau pikiranmu.
Sekolah yang kau kenal adalah belajar di bawah bangunan yang atapnya hasil sumbangan para dermawan. Tidak mengharuskan seragam. Bertelanjang kaki pun tak mengapa. Tak ada kekangan setoran wajib. Pun para pengajarnya hanya mereka yang terlihat biasa dan selalu silih berganti, bukan guru-guru dengan

Sabtu, 18 Februari 2017

Rumah Ufuk Timur [Cerpen Remaja Harian Minggu Pagi, November 2016]

        Suatu tengah hari, pertengahan Januari 2017, datanglah seorang petugas pos mengetuk pintu rumah saya. Wajahnya tampak lega begitu saya membuka pintu. Katanya, dia sudah beberapa kali datang dan tak ada seorang pun di rumah untuk menerima sesuatu yang dia bawa untuk saya. Tahu-tahu beliau menyodorkan selembar kertas sambil bertanya apa saya ingat sebuah media bernama Harian Minggu Pagi yang ternyata mengirimi saya sejumlah uang. Ternyata itu adalah honor atas sebuah cerpen saya yang saya sendiri tidak tahu kapan pemuatannya. Keterangan di atas kertas memang benar nama dan alamat saya. Nominalnya tidak banyak memang, tapi tentu menerbitkan rasa senang dan bahagia. Setelah saya lihat arsip di laptop maupun catatan pengiriman cerpen saya, memang ada sebuah cerpen genre remaja yang saya kirimkan ke media tersebut pada awal November 2016.
        Saya sedikit kesulitan menelusuri e-paper Harian Minggu Pagi (atau memang tidak ada, ya?). Saya hanya menemukan sebuah dokumentasi dalam sebuah blog lain yang setiap minggunya menginformasikan tulisan-tulisan yang dimuat di dalam kolom sastra dari berbagai koran di Indonesia.
       Bila teman-teman pembaca sekalian yang berlangganan atau biasa membaca Harian Minggu Pagi, mohon infonya, ya, bila di waktu-waktu mendatang cerpen saya kembali dimuat di media tersebut. Terima kasih. Selamat membaca.

dok. pribadi


RUMAH UFUK TIMUR
Oleh Dian Nangin
 
“Di rumah sakit jiwa? Ada-ada aja kamu, Mia.”
Seperti yang kuduga, Yuda pasti menolak. Tapi aku akan tetap membujuk sampai ia berubah pikiran. Kukejar langkahnya yang terburu menuju ruang musik di ujung lorong sekolah.
“You tell me that you will give your best performance tanpa mempersoalkan siapa yang nonton atau sekecil apapun panggungnya.”
Yuda tiba-tiba menghentikan langkah.

Selasa, 07 Februari 2017

FRAGMEN HATI [Sumut Pos, 05 Februari 2017]

Ilustrasi oleh Sumut Pos
FRAGMEN HATI
Oleh Dian Nangin 
Pagi ini aku terbangun ketika tiba-tiba pendengaranku sudah dipenuhi berbagai suara. Sebagian mendekat, terdengar kencang. Setelah itu menjauh, sayup-sayup menghilang. Aneka bebunyian itu berupa denting mangkuk yang terus-menerus dipukul dengan sendok oleh penjual bubur, teriakan penjaja kue keliling, atau seruan lantang tukang ikan yang memancing para ibu untuk keluar rumah.
Satu yang tak ketinggalan; kokok ayam, si alarm alam yang berbunyi merdu. Aku rindu kokok ayam di pagi hari. Selama ini suara itu alpa dari telingaku karena komplek kos ketika kuliah dulu cukup sulit menemukan ayam, kecuali yang sudah digoreng dengan tepung, berkulit renyah dan mudah ditemukan di restoran fastfood—yang sudah pasti tak bisa berbunyi ‘kukuruyuk’ lagi.

Selasa, 24 Januari 2017

Tersesat dalam Kabut [Rakyat Sultra, Senin 23 Januari 2017]

TERSESAT DALAM KABUT
Oleh Dian Nangin
            Ingatan terakhir yang terpatri di benakku sebelum aku terjebak dalam kabut ini adalah betapa sibuknya aku mengurusi babi-babi peliharaanku. Aku sedang mencampur dedak pada pakan babi yang kutanak sebelum menumpahkannya ke palungan-palungan kosong, yang kemudian akan diserbu oleh moncong-moncong penuh liur yang tak pernah sabar.
            Aku telah terbiasa dengan kabut, sebab ia memang sering menyelimuti desa ini, menimbulkan kesan muram. Ketika aku berkutat dengan makanan babi sore itu pun, gerimis bersanding kabut baru saja usai merinai, menyisakan jalan berlumpur dan titik-titik air yang menggantung di ujung rimbun dedaunan pohon yang memadati pekarangan belakang pondokku. Pepohonan yang bila tersenggol sedikit saja akan menjatuhkan titik-titik air itu seolah hujan kembali turun. 
          Namun gugusan kabut ini terasa asing. Ia memang masih dingin sebagaimana biasanya, tapi ia seakan bernyawa. Seakan ada tarikan nafas dari hidung-hidung tak terlihat. Seolah ada tatapan yang mengekori gerak-gerikku............

Untuk membaca cerpen ini lebih lengkap, silakan kirim email ke dian_nangin23@yahoo.co.id, saya akan mengirimkannya dalam bentuk PDF.

Sekian.
Terima kasih.

Selasa, 10 Januari 2017

PENYULAM WAKTU [Harian Rakyat Sultra, Sabtu 31 Desember 2016]

Halo 2017...!
Sebenarnya tahun yang baru ini sudah berlalu sepuluh hari, but I hope it's still not too late to wish you all happy new year. Saya berharap pada tahun 2017 ini, kita semua diberkahi dengan kesehatan, rezeki yang cukup, umur yang panjang. Tak juga lupa kebahagiaan yang melimpah, seperti sukacita yang saya rasakan ketika menerima email dari Harian Rakyat Sultra pada tanggal 3 Januari kemarin. Email tersebut berisi konfirmasi pemberitahuan bahwa salah satu cerpen yang saya kirim telah dimuat di harian tersebut pada edisi Sabtu, 31 Desember 2016.


Bila anda ingin membaca cerpen ini, silakan kirim email anda ke dian_nangin23@yahoo.co.id. Saya akan mengirim linknya kepada anda.

Sampai jumpa di cerpen berikutnya....