Selasa, 06 Juni 2017

JEJAK-JEJAK WAKTU [Cerpen Harian Waspada, 04 Juni 2017]


Ilustrasi oleh Harian Waspada
JEJAK-JEJAK WAKTU
Oleh Dian Nangin
Barangkali suatu saat kau akan menjalani masa-masa seperti ini ketika kau telah mencapai angka usiaku; duduk di teras sepanjang hari, istirahat dan bersantai—satu-satunya kegiatanku sekarang—sambil menikmati pemandangan daun-daun kering yang berjatuhan dibawa angin, namun juga sekaligus meruapkan aroma kandang kerbau peliharaan tetangga.
Rasa iri menyelimuti hati ketika melihat orang-orang yang masih lincah dapat bergerak dengan gegas ke tempat yang ingin dituju. Sementara kau hanya bertemankan ayam-ayam yang seenaknya berkeliaran, bahkan menyemprotkan kotoran mereka di dekatmu dan kau sudah tak punya tenaga untuk menghalau mereka. Itulah yang terjadi padaku, pemandangan yang lazim kau temui di kampung-kampung.
Tanganku kadang masih gatal ingin meraih sapu lidi untuk membersihkan daun-daun yang mengotori pekarangan rumah. Namun bila aku memaksa diri melakukannya, perawat atau tetangga yang kebetulan melihat akan segera menghampiri dan merebut sapu itu dari tanganku. Mereka lalu berujar bahwa aku tak boleh terlalu lelah, bahwa kesehatanku adalah hal yang harus diutamakan. Namun, duduk sepanjang hari tanpa aktivitas malah membuatku semakin menderita.
Ah! Tubuh ini kini tak lagi segesit dulu ketika aku masih bisa menyapu halaman sembari menggendong bayiku di punggung. Kini aku hanya bisa teronggok
tak berguna di kursi roda, tak cukup sampai hati meminta perawatku agar memindahkan tubuhku yang tua namun masih bongsor ini ke kursi goyang atau menuntunku berjalan-jalan.
Kadang, aku berpikir tak akan ada bedanya bila aku mati sekarang atau besok lusa. Aku tak punya apapun lagi untuk kukejar dan kucapai.
“Huss! Tidak boleh berpikiran seperti itu! Hidup mati itu urusan Tuhan, kita tak pantas campur tangan.” Begitulah para kerabat selalu menasihatiku kala mereka datang menjenguk.
Haruskah aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk mengenang perjalanan hidupku? Bukankah orang-orang yang disergap kematian mendadak tanpa sempat mereka sadari itu lebih beruntung? Mereka tak sempat menanggung penderitaan dan tak perlu mencicipi bosan di masa tua karena sudah tak mampu berbuat apa-apa selain merepotkan orang lain.
Ketika kuutarakan pemikiran ini, anak-anak dan menantuku berebut mengucapkan kalimat-kalimat yang membesarkan hati. “Jangan begitu, Bu. Walau dalam kondisi seperti ini, kami sangat bersyukur masih punya ibu.”
Bertahun-tahun hidup telah kulalui, dengan langkah dan fase yang dialami hampir semua orang. Lahir, tumbuh besar, bersekolah, bekerja, dan berkeluarga dengan seseorang yang kucinta. Melahirkan, membesarkan, dan mengirimkan anak-anakku ke kota. Mereka pulang membawa ijasah sarjana, setumpuk cerita, dan juga wanita.
Waktu berjalan tanpa disadari hingga tiba saatnya untuk mengantarkan mereka menuju pernikahan. Kulepas mereka agar dapat leluasa menata keluarga masing-masing. Aku tak perlu memberitahu mereka cara bercinta—biarlah semesta yang akan mengajari. Tak menunggu lama, rahim para menantuku perlahan membesar pertanda ada sebuah kehidupan lain tengah tumbuh di sana, menunggu waktu untuk mencicipi dunia fana.
Anak-anak itu sendiri cepat sekali tumbuh besar. Barangkali pengaruh susu-susu produk kota yang tak kukenal. Dulu aku hanya menyuapi anak-anakku air tajin, dan mereka tetap tumbuh dengan baik.
Maka, seperti yang terjadi pada para orang tua kebanyakan di pedesaan, aku menjalani sisa hidup di rumah tua ini bersama suamiku, hingga lelaki itu berpulang beberapa tahun lalu. Meninggalkanku bersama seorang perawat jompo serta setumpuk kenangan yang perlahan mengusang.
Orang-orang berkata bahwa setiap hari adalah babak baru kehidupan, namun setelah melepas anak-anakku pergi untuk tinggal di kota, hidupku tampaknya hanya jalan di tempat. Pensiun dari tempat kerja, melakoni pekerjaan ringan yang masih dapat kulakukan dengan tenaga yang sudah tak seberapa, mengunjungi cucu-cucuku sesekali, hingga akhirnya penyakit tua datang merayap dan menyita sisa hidup.
Sesekali putra-putraku mengirimkan prakarya anak-anak mereka yang masih duduk di playgroup—alih-alih sebagai pengganti kehadiran mereka, berharap mahakarya yang hanya berupa coretan carut marut dan warna-warna yang compang-camping itu dapat menghiburku. Tak ada pilihan lain bagiku kecuali merasa senang dan memuji habis-habisan ketika berbicara dengan mereka di telepon. Tak mungkin dengan terang-terangan aku jujur bahwa karya mereka itu jelek dan tak punya nilai seni. Bagaimanapun mereka masih anak kecil.
“Maaf, Bu. Aku sangat sibuk di kantor. Beberapa bulan lagi aku akan berangkat ke negeri seberang untuk urusan pekerjaan. Bersabarlah. Ramadhan depan akan kami sempatkan untuk berkunjung,” demikian anak-anakku bergantian menyampaikan penyesalan.
Kunyatakan pemaklumanku bahwa kehidupan masa sekarang lebih banyak menuntut perhatian. Kukatakan bahwa aku mengerti jaman telah berubah dan setiap orang harus bergerak sesuai kecepatan jaman berkembang.
Tinggallah aku di sini, bertemankan daun-daun yang luruh meninggalkan dahan dan cicit anak-anak ayam. Barangkali beginilah hidup. Daun-daun yang luruh akan digantikan tunas-tunas baru. Induk-induk ayam menelurkan generasi mereka selanjutnya sebelum menjadi tua dan mati, atau diolah menjadi lauk.
Dan aku hanya bisa mengenang hari-hari lalu sebelum nanti kembali menjadi tanah. Pagiku telah lama menguap. Ia hanya meninggalkanku sejumput kenangan tentang masa muda. Pun tak ada beda dengan waktu siangku yang perlahan akan kulupa bagaimana rasanya. Ada beberapa hal yang membuatku merasa puas, namun ada juga yang kusesali  tanpa pernah ada kesempatan kedua untuk memperbaikinya.
Kini aku berada pada langkah-langkah terakhir menuju penghabisan senja. Ah! Aku telah melihat saat-saat terakhirku datang menjemput. Mereka datang lebih cepat dari perkiraanku, membuktikan bahwa sisa usia tak ada yang tahu. Aku bingung bagaimana harus menjelaskan rupa mereka padamu, namun aku yakin benar mereka datang untuk membawaku pergi jauh dan takkan kembali.
Tolong sampaikan permintaan maafku pada perawatku karena aku harus melewatkan makan siang. Tampaknya sekarang dia sedang sibuk berkutat di dapur dan sebentar lagi akan datang dengan senampan makanan.
Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar