Senin, 19 Agustus 2019

BUTET [Cerpen Harian Analisa, edisi Minggu 18 Agustus 2019]

ilustrasi oleh Analisa/ Renjaya Siahaan

BUTET
Oleh Dian Nangin  
            “Butet,” katanya sambil menggenggam selintas telapak tanganku yang terulur. Sontak mulutku ternganga. Aku menunggu ia menyebutkan nama kedua, ketiga, atau meralatnya dengan nama asli dan menerangkan bahwa Butet hanyalah nama panggilan—yang tetap saja belum akan bisa kupercayai.
            Boru Lumban Tobing,” tambahnya sambil tersenyum. Rautnya menunjukkan bahwa ia sudah sering melihat ekspresi tak percaya seperti yang disuguhkan wajahku.
            Keningku berkerut. Nama itu sangat tidak cocok dengan mata biru dan kulit putihnya. Pun, penampilannya sama sekali tidak merepresentasikan nama yang disandangnya. Akan lebih masuk akal bila ia memperkenalkan diri sebagai Janice, Allicia, Emily, atau nama lain khas perempuan-perempuan benua Amerika. Orang-orang sering bersikap acuh dengan berkata apalah arti sebuah nama, namun kini aku ingin menggugatnya karena benar-benar penasaran akan muasal dan alasan penyematan nama itu pada dirinya.
            “Kau...asli Batak?!” Usai bertanya, aku merutuki diri dalam hati. Pertanyaan bodoh! Dengan sekali pandang, siapapun tahu bahwa perawakannya ia warisi dari orangtua yang jelas-jelas bukan keturunan asli Indonesia.

Minggu, 18 Agustus 2019

A HAPPY ENDING FOR TIMUN MAS (Re-telling Cerita Rakyat)

Diceritakan kembali oleh Dian Nangin

ilustrasi oleh www.penuliscilik.com
“Kabulkanlah permohonan hamba, ya, Allah,” demikian perempuan janda itu mengakhiri doanya. Tak pernah jemu ia memanjatkan doa yang sama tiap malam, betapa ia menginginkan seorang anak. Suaminya telah mati. Mereka tak pernah dikaruniai anak. Si janda tua hidup dalam sepi. Hanya doa yang ia miliki, serta keajaiban yang mustahil namun tetap ia yakini. Ia lalu pergi tidur, berharap esok hari keajaiban akan menghampirinya.
Tapi, tak ada keajaiban kendati ia sudah berdoa semalam suntuk. Hidup harus terus berlanjut. Perempuan janda itu bertani sepanjang hari. Petangnya ia masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika sedang mengikat kayu-kayu kering yang berhasil dikumpulkannya, ia melihat bungkusan aneh di bawah pohon besar tak jauh darinya. Bergegas ia membuka bungkusan itu dan kecewalah hatinya. Isinya hanya  biji mentimun, bukan seorang anak seperti yang ia harapkan.
               Kekecewaannya disela langkah-langkah berat yang datang mendekat. Si janda membalikkan badan dan hadir di depannya sesosok raksasa. Raksasa itu tertawa menggema,  menggetarkan tanah dan pepohonan. Janda tersebut mematung. Wajahnya pucat.
            “Jangan takut, perempuan tua! Aku tidak akan menelanmu hidup-hidup,” katanya. “Kau menginginkan seorang anak, bukan?”
            “Y-ya,” jawab perempuan itu tergagap.
            “Tanamlah biji timun itu, maka kau akan memperoleh seorang anak,” ujar sang raksasa sembari menunjuk bungkusan di pangkuan perempuan itu. “Tapi ada syaratnya; kelak anak itu dewasa, kau harus menyerahkannya padaku untuk kumakan.”