Senin, 15 Februari 2016

Air Terjun Dua Warna [ Sibolangit, Catatan Perjalanan]

Beberapa waktu lalu ada sebuah kesempatan mengunjungi sebuah objek wisata yang sedang booming. Terletak di desa Bandar Baru, Sibolangit, Sumatera Utara. 

Air Terjun Dua Warna.

Dinamakan 'Dua Warna' karena (semua orang pasti sudah tahu) air terjun ini terdiri dari dua gradasi warna, yaitu putih dan biru.  Akses masuknya dari desa Bandar Baru (kami masuk melalui sebuah gang di samping sekolah Katolik Deli Murni). Perjalanan dimulai dari posko Pemandu dimana setiap pengunjung harus mendaftarkan kelompok dan membayar tarif guide.

Sebenarnya, tarif menyewa pemandu adalah sebesar 100.000-300.000. Namun, satu keuntungan kami waktu itu, guide yang bersama kami adalah temannya salah satu keponakan yang bersedia 'menampung' kami tanpa terikat biaya pemandu. Yah, tapi tetap kasih uang terima kasih lah. Bagaimana pun ia sudah berbaik hati membawa kami, jadi sepatutnya ia dihargai. 

Pemandu kami hari itu seorang remaja laki-laki yang posturnya kecil, lagi kurus, masih kelas 2 SMA. Dan lincahnya bukan main. Dia dengan entengnya melalui jalan yang berbatu dan berhias akar yang saling melintang (yang rata-rata dikeluhkan anggota kelompok), hingga berlari-lari di atas lumpur. Karena sudah biasa, kali, ya....

step by step
Sebelum berangkat, saya menyempatkan browsing, cari tahu sedikit kira-kira apa yang akan kami hadapi menjelang pengalaman ini. Kebanyakan mengisahkan tentang rutenya yang menguras stamina dan menantang adrenalin. Ternyata tak bohong. Lokasi dan rute yang kami temui sama persis dengan yang diceritakan. Butuh dua hari untuk memulihkan tubuh yang lelah remuk redam, paling tidak satu hari full istrahat.
we are part of the nature
Salah satu nikmatnya menjelajah alam adalah ketika bertemu orang-orang dengan niat yang sama. Tak saling kenal, namun menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan, menciptakan kenangan bersama. Ketika melewati medan yang sulit; tanjakan terjal atau turunan licin, misalnya, selalu saling menyemangati bahwa semua akan berhasil melewatinya. Bahkan tak segan mengulurkan tangan untuk membantu. Saling melempar jokes ringan, saling mengolok, serta tertawa bersama.

Dan mereka-mereka yang dalam perjalanan kembali dari air terjun dan berpapasan di jalan, saling menyapa dan menguatkan. Hanya satu dua patah kata, namun rasanya sangat akrab.  

Namun, ada satu hal yang mengganggu perjalanan yang sejak awal sebenarnya sudah diprediksi. Salah timing, karena kami memilih pergi di musim hujan. Setiba di sana, hujan turun deras serta berangin. Meski banyak orang masih nekat nyebur, kami lebih milih berteduh di tenda penjual makanan ringan. Isi perut dulu untuk mengembalikan tenaga.
meski hujan deras, keramaian tetap menyemut dan antusias
Tak lama kemudian hujan reda. Tapi...gantian sama kabut pekat plus gerimis. Lensa kamera dan ponsel berkali-kali harus dilap karena berembun. Hasil foto jadi kurang maksimal. Tapi tangan tak bisa berhenti menjepret.



Dan, meski tubuh sudah gemetar kedinginan hingga gigi bergemelutuk, rasanya tetap tak afdol kalau tak main air.
mermaid pose (fail!)

peek a boo

yeahh
Pulangnya, kaki terasa berkali lipat lebih berat dan tubuh lelah sempurna. Ditambah lagi kami tersesat karena sewaktu pulang, anggota kelompok terpencar-pencar hingga merepotkan pemandunya. Jadilah kami bertiga memutuskan jalan sendiri. Tidak merasa khawatir karena banyak orang yang juga sama-sama kembali ke posko. Berpikir ingat rutenya dengan baik.

Hingga akhirnya...ada sebuah persimpangan yang membingungkan. Ketika masih berpikir-pikir jalan mana yang akan diambil, muncul sebuah kelompok, yang akhirnya sama-sama bingung. Mereka sepakat ambil jalan kanan. Dalam pikiran saya, tadi rutenya bukan lewat jalan yang itu. Rutenya tadi tidak begitu, tapi tidak yakin juga. Dan, salah satu dari kelompok itu mengajak jalan bersama.
"Daripada tersesat sendiri, mending tersesat rame-rame, kan?" katanya.

Nah, benar! Tersesat ujung-ujungnya.

Beruntung, kami masuk daerah dimana banyak orang kemping. Beberapa dari mereka menunjukkan kami arah kembali. Tapi, tersesat lagi. Arahnya makin membingungkan. Kalau tidak berputar-putar di tempat yang sama, ya masuk jalan asing. 

Setelah beberapa kali salah jalan lagi, keluar masuk sungai, mengerahkan tenaga terakhir untuk beberapa tanjakan dan turunan, akhirnya ada juga yang tahu jalan keluar yang benar.  Tapi rutenya cukup ekstrim untuk tubuh yang sendi-sendinya sudah rontok semua. Yakni harus melewati tebing, harus berpegangan dan berpijak pada batu-batu licin, yang meski tidak terlalu tinggi, namun kalau terpeleset sedikit saja, siap-siap tercebut ke sungai berarus deras di bawahnya.

Syukur, ada pemuda baik hati yang rela menunggu langkah lambat kami (yang pacarnya juga baik mau menunggu) dan membantu melewati tebing licin itu. Dan, terima kasih untuk pekemping yang telah menunjukkan jalan pulang. Fiuh, lega setelah kembali ke jalan yang benar!

Enam jam yang bikin lelah campur senang, sekaligus memberi pengalaman yang tak terlupakan!

Entah kenapa Tuhan suka sekali menyembunyikan alam yang kelewat indah semacam ini di tempat yang sulit di jangkau. Dan, hanya orang yang mencari yang akan menemukan.

Selamat mencari keindahan...