Jumat, 26 Juli 2019

UJI NYALI, IKUT KOMPETISI

by Dian Nangin

Entah kenapa, tahun ini saya kerajingan ikut kompetisi. Setelah hampir empat tahun menggeluti dunia fiksi, saya merasa lebih siap dan lebih tertantang untuk mengikuti lomba-lomba kepenulisan. Sebenarnya, beberapa tahun lalu, di awal-awal mulai menulis untuk media massa, saya pernah mengikuti kompetisi menulis cerpen. Namun, saat itu saya masih sangat naif. Saya hanya mengikuti satu kompetisi dalam setahun, hanya mengirim satu karya, yakin menang, mengincar hadiah besar, tanpa pengalaman, tanpa pengetahuan memadai, dan tanpa rekam jejak.
Hasilnya? Mengecewakan, tentu saja. Saya jelas tidak menang. Bahkan masuk top 30  pun tidak. Setelah karya pemenang dirilis, saya segera membandingkan diri. Ternyata cerita saya sangat klise, naskah saya mentah, tidak mengindahkan tata aturan, dsb.

Kini, setelah mencecap banyak pengalaman, saya merasa sudah cukup matang untuk maju ke arena perang 😆. Karya saya sudah mendapat tempat di media massa dan juga media online. Walau demikian, masih banyak pula yang ditolak para Redaktur atau sedang dalam masa tunggu dan telah berbulan-bulan terkatung tanpa konfirmasi. Saya sudah pernah menerima puja-puji, kritik pedas, cibiran remeh, hingga dukungan maksimal. Semua jadi bekal saya untuk mulai berkompetisi. Eh, tapi bukan berarti setiap orang harus mengalami hal yang saya alami baru bisa ikut berkompetisi, ya! Mental dan kesiapan masing-masing orang kan berbeda....

Kamis, 11 Juli 2019

SABDA ANGIN [Cerpen Harian Waspada, edisi Minggu 07 Juli 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

SABDA ANGIN
Oleh Dian Nangin
Selain ransel besar yang menggantung di punggung, pemandangan para pendaki yang berjalan beriringan jauh di depanku, dan angin yang bertiup semakin kencang, tak ada yang menemani langkahku menaklukkan jalan berbatu nan terjal. Aku sudah terbiasa mendaki gunung sendiri, namun jelas ini terlalu sunyi. Tak ada kekasihku yang bertahun lalu setia menemami.
Tak ada lagi kekasihku yang mencintai bunga-bunga liar. Namun, cinta itu tidak serta merta menjadikannya semacam ahli, yang hafal nama-nama latin setiap bunga serta mengetahui jenis-jenisnya. Ia menyukai bunga liar semata untuk kesenangan pribadi, bisa dikatakan iseng, namun keisengan yang rutin dan konsisten.
            “Bunga liar adalah bunga yang paling tangguh,” begitu dia pernah berkomentar ketika kami mendaki sebuah gunung di Sulawesi. “Apalagi bunga yang bisa tumbuh di atas gunung seperti ini. Tak ada yang menanam dan memelihara, namun mereka tumbuh tak kalah cantik dengan bunga lain yang ditanam di pekarangan, di taman kota, atau di dalam pot yang diletakkan di dalam rumah—tipikal bunga penuh perawatan dan disayang-sayang.”

Selasa, 09 Juli 2019

JANJI BERINGIN [Dimuat di media online NUSANTARANEWS, 4 Maret 2018]

*saya baru mengetahui perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019

ilustrasi oleh Nusantara News


JANJI BERINGIN
Oleh Dian Nangin
Cekakak-cekikik sarat keriangan terdengar memenuhi taman itu, amat berbanding terbalik dengan air muka seorang perempuan tua yang menatap sebatang beringin yang juga sudah tua di tepi taman. Kepalanya mendongak, memandang ke ujung batang tempat rerimbunan gelap penuh jalinan kusut akar-akar yang ujungnya jatuh menggantung. Kedua tangannya bertaut di depan perut, seolah sedang berdoa menyampaikan sesuatu, entah pada Tuhan atau si pohon beringin.
“Apa kabar kekasihku? Pernahkah ia datang menemuimu?”
Pelan, ia membisikkan pertanyaan itu—tak ingin ada telinga lain yang ikut mendengar. Apa yang akan dipikirkan orang tentangnya bila mendengar pertanyaan yang ia lontarkan tersebut? Sudah setua itu, namun masih merindukan kekasih? Orang-orang tentu membayangkannya sebagai wanita tua kebanyakan yang menghabiskan usia senja dengan merajut benang wol menjadi baju hangat, topi, kaus kaki, atau apapun yang ia kuasai  untuk dihadiahkan pada cucu-cucunya yang berisik namun ia sayangi.
Pasti tak akan ada yang menyangka kalau sebenarnya ia masih sendiri,

Minggu, 07 Juli 2019

AWAN DAN OMBAK [Cerpen Harian Tanjungpinang Pos, dimuat pada Minggu, 11 September 2016]

*saya baru tahu perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019 😮😆

ilustrasi oleh Tanjungpinang Pos

AWAN DAN OMBAK
Oleh Dian Nangin
Ada beberapa hal yang ditakdirkan hanya untuk saling memandang, saling mengagumi. Tumbuh keinginan untuk memiliki, namun sang takdir menuliskan alur berbeda. Mereka ada, tidak untuk bersama.
Seperti ombak, yang sampai kapan pun tak akan pernah merengkuh awan. Terlalu jauh untuk ia gapai. Sang ombak hanya bisa termangu memandangi awan, putih berarakan bagai sepasukan malaikat penghuni nirwana. Yang dapat ia lakukan hanyalah cemburu pada langit, karena si ombak dapat  menangkap isyarat kesungguhan cintanya untuk awan.
Kurang lebih sama. Helena dengan Agung.
        Meski hubungan itu takkan pernah berjalan seperti yang Helena harapkan, ia tidak akan ‘mengasingkan’ Agung dari hatinya. Dengan dada lapang, ia belajar melepas sekaligus mengenang. Berharap dengan begitu ia bisa berdamai dengan takdir yang tidak sepaham dengan keinginannya.
***
Helena dan Agung berjalan bersisian. Gadis itu melepas sandal dan menentengnya, membiarkan telapak kakinya bersentuhan langsung dengan pasir.