Kamis, 11 Juli 2019

SABDA ANGIN [Cerpen Harian Waspada, edisi Minggu 07 Juli 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

SABDA ANGIN
Oleh Dian Nangin
Selain ransel besar yang menggantung di punggung, pemandangan para pendaki yang berjalan beriringan jauh di depanku, dan angin yang bertiup semakin kencang, tak ada yang menemani langkahku menaklukkan jalan berbatu nan terjal. Aku sudah terbiasa mendaki gunung sendiri, namun jelas ini terlalu sunyi. Tak ada kekasihku yang bertahun lalu setia menemami.
Tak ada lagi kekasihku yang mencintai bunga-bunga liar. Namun, cinta itu tidak serta merta menjadikannya semacam ahli, yang hafal nama-nama latin setiap bunga serta mengetahui jenis-jenisnya. Ia menyukai bunga liar semata untuk kesenangan pribadi, bisa dikatakan iseng, namun keisengan yang rutin dan konsisten.
            “Bunga liar adalah bunga yang paling tangguh,” begitu dia pernah berkomentar ketika kami mendaki sebuah gunung di Sulawesi. “Apalagi bunga yang bisa tumbuh di atas gunung seperti ini. Tak ada yang menanam dan memelihara, namun mereka tumbuh tak kalah cantik dengan bunga lain yang ditanam di pekarangan, di taman kota, atau di dalam pot yang diletakkan di dalam rumah—tipikal bunga penuh perawatan dan disayang-sayang.”

Setidaknya sekali sebulan, sudah pasti kami pergi mendaki gunung bersama-sama. Atau, paling tidak trekking ke hutan, bukit, padang, atau kemana saja. Aku tak lagi kaget mendengarnya dengan norak berseru takjub untuk hal-hal sepele, seperti melihat hamparan sawah yang menguning sempurna, sebuah sungai kecil berair jernih, atau sekumpulan kerbau yang tengah asyik memamah rumput di padang hijau. Pemandangan belantara kota pasti telah membuatnya muak.
            “Kemampuan menikmati alam adalah kebahagiaan paling sederhana,” ujarnya lagi,  seakan aku yang telah bertualang bertahun-tahun ini tak tahu apa-apa. “Mereka-mereka yang memamerkan harta atau liburan mewah sebagai kebahagiaan yang sederhana pasti hidup dalam kepalsuan.”
            “Hush! Jangan sembarang bicara. Nggak enak kalau ada yang dengar.”
            Ia memang mengecilkan volume suaranya, namun tetap saja tak henti berkomentar. “Lah, kita kan bebas berpendapat?”
            Aku hanya membisu, sebab dalam hati aku pun setuju dengannya.
            “Tak ada yang lebih nikmat daripada semangkuk mi instan panas di puncak gunung. Harganya tidak lebih dari dua ribu lima ratus perak.”
            “Apa bukan karena memang hanya mie instan yang paling praktis untuk perjalanan melelahkan seperti ini?”
            “Tidak juga,” jawabnya penuh percaya diri. “Apa mungkin kamu akan berselera mengunyah pizza atau roti berlapis daging-keju-saus-bertabur wijen-dengan harga selangit di sini?”
            “Selera, kan, tergantung masing-masing orang,” sahutku. Kali ini ia yang membisu. Aku tahu, ia ‘membela’ mie instan karena ia wanita yang sederhana.
Pertemuan pertama kami dilatari oleh pegununungan di salah satu negeri ini, ketika ia dan aku mendaki, masing-masing sendiri. Ia lalu mengizinkanku mengenalnya lebih dalam, lalu mengikatnya dengan sebuah hubungan asmara. Di balik penampilan kantorannya—riasan wajah, sepatu tumit tinggi, rambut lurus yang selalu ia gelombangkan tiap bekerja, serta bau parfumnya yang enak di hidung—ia tetaplah perempuan yang amat apa adanya ketika telah bersentuhan dengan alam. Karena itulah aku menyukainya. Kesederhanaan kami berjodoh satu sama lain.
***
            Namun, konsep kebahagiaan sederhana yang dulu pernah digaung-gaungkannya ternyata tak konsisten digenggamnya. Mungkinkah aku yang terlalu gamblang menerjemahkannya? Atau, dibalik euforia petualangan yang kami nikmati selama lima tahun, akukah yang tak mampu membaca apa sesungguhnya isi hatinya?
Tanpa pertanda tanpa aba-aba, kekasihku pergi dengan lelaki lain. Walau iri, kuakui ia berwajah tampan, mapan, tidak menyukai alam, dan sama sekali tidak terlihat sederhana. Amat berlawanan denganku, seumpama timur dan barat.
Aku tak ingin mengakui ini, tapi sejak kepergian sang kekasih, aku terpasung bayang-bayang. Seiris demi seiris kesedihan menyayat. Tak sanggup melangkah ke depan, namun juga tak bisa mundur ke belakang. Cintanya yang tadi masih merekah tiba-tiba saja lindap. Berganti tetes-tetes air mengirimkan gigil. Sunyi merambat, perlahan mengekal.
Kesunyian itu tetap menemani hingga kini, tiga puluh tahun kemudian sejak ia meninggalkanku. Perkara bangkit kembali atau tidak, bergerak pindah ke lain hati atau tetap di tempat, itu masalah pilihan. Tak ada seorang pun yang kuasa mempengaruhi pilihan yang kuputuskan.
***
Hidungku menghembuskan nafas berat. Kurasakan langkahku sudah jauh melambat dari tahun-tahun lalu. Kelompok-kelompok pendaki lain mulai melewatiku. Beberapa yang mengenalku langsung menghampiri dan memelukku hangat. Yang belum mengenalku lantas mengulurkan tangan. Menyenangkan sebenarnya, namun tak lagi kutemukan definisi bahagia yang sesungguhnya. 
Di dalam ranselku berjejal berbagai perlengkapan kemping, botol air, dan berbungkus-bungkus mi instan. Panci kecil yang kugantung di tali ransel berguncang-guncang seiring langkahku. Setiba di tujuan, aku mengatur jarak dari kelompok-kelompok anak muda. Aku menyalakan apiku sendiri, menyusun batu-batu menjadi tungku, dan menjerang air. 
Kupandang kelompok pendaki yang bertebaran di sekitarku. Sebagian asyik berfoto-foto, bercanda, atau bernyanyi diiringi ukulele. Kesepianku semakin mencekik, sebab tak ada lagi perempuan yang mau memasak dan berbagi semangkuk mi instan panas dengan lelaki paruh baya.
Kudiangkan tangan di dekat api yang perlahan membara, sementara telingaku berkonsentrasi mendengar suitan angin yang datang dari balik gunung. Angin yang lalu  menjadi koreografer bagi batang-batang ilalang. Angin yang mengusik nyala api. Angin yang barangkali datang untuk menyampaikan sabda takdir untukku.
Ah, mungkin takdir bagiku adalah tetap menjadi pendaki selamanya, dikagumi oleh anak-anak muda yang tengah dibakar jiwa bertualang. Tak kurasakan setitik pun manisnya kebanggaan walau didaulat menjadi tempat berguru, tempat memperoleh saran dan rekomendasi puncak-puncak tertinggi untuk didaki. Pun tak dapat kunikmati kehormatan dan kemewahan ketika petualanganku menjadi viral, membuatku diundang ke beberapa acara televisi. Sebab, dibalik gemerlap eksistensi itu, dalam hati aku tetap merasa hampa.
Medan, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar