Senin, 31 Juli 2017

SINABUNG - SIBAYAK [Cerpen Harian Analisa, Minggu 30 Juli 2017]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan/analisa

SINABUNG SIBAYAK
Oleh Dian Nangin
Kujejakkan kakiku yang kelelahan pada sebongkah batu pada puncak tertinggi gunung ini. Tangan berkacak di pinggang. Kepala mendongak menatap wajah langit. Bukan maksudku untuk pongah, aku cuma ingin menikmati klimaks kebanggaan serta kemenangan setelah menaklukkan jalur-jalur terjal dan tak mudah. Tiba-tiba terdengar suara jepretan serta samar cahaya berkilat yang berlalu dalam sekejab dari tustel yang dipegang oleh seorang perempuan.
“Tustel? Kuno amat?” sebuah suara menyela ceritaku.
“Ini cerita tahun 70’an, ingat?” kujawab dengan bertanya balik.

Senin, 10 Juli 2017

TUTUR AIR MATA [Cerpen Medan Pos 09 Juli 2017]


sumber google

 TUTUR AIR MATA
Oleh Dian Nangin
            Kebanyakan penumpang langsung terkantuk begitu bus mulai melaju. Sementara aku mengeksplorasi terlebih dahulu setiap hal yang kujumpai di tempat baru. Ini adalah kali pertama kami—aku dan beberapa teman—menginjakkan kaki di  kota Medan, dimana kami siap bertolak ke daerah dataran tingginya, berniat menjelajahinya selaku backpacker yang haus pengalaman pengembaraan.
Sopir menyetel lagu daerah yang dentum-dentumnya mengalahkan gerungan mesin bus. Tapi tampaknya tak ada yang benar-benar menikmati suguhan musik itu. Beberapa penumpang yang tak bisa tidur cenderung melamun, berselancar di dunia maya, atau bermain game di ponsel untuk membunuh waktu.
Dan, sepintas tak ada yang salah dengan perempuan muda yang duduk di sebelahku ini. Tadi dengan sopan ia bertanya apakah ia bisa duduk dekat jendela. Tentu saja aku mengangguk sambil menggeser tubuh, memberinya ruang yang cukup. Bahkan kubatalkan niatku merokok demi membuatnya nyaman.
            Sejenak aku merasa beruntung duduk bersisian dengannya. Bercakap dengan perempuan cantik, meski sekedar basa basi, akan menjadi hal menyenangkan untuk mengarungi perjalanan ini. Apalagi kalau bisa lebih dari itu, sedikit lebih dekat apalagi dapat berlanjut ke hari-hari yang akan datang. Ah, belum apa-apa hatiku sudah berharap lebih.
            Tapi, ketika aku mencuri pandang, kutangkap samar bayangannya melalui pantulan kaca jendela. Pandangannya jauh menerawang, seakan dapat menembus kegelapan di luar sana.

Rabu, 05 Juli 2017

RUMAH TERAKHIR [Cerpen Sumut Pos, 02 Juli 2017]

dok. pribadi

RUMAH TERAKHIR
Oleh Dian Nangin
            Langit senja tersaput mendung. Sekumpulan capung terbang rendah dan cepat. Cukup rendah hingga aku bisa menangkapinya dengan tangan kosong—hal yang sering kulakukan kala kecil, namun waktu itu aku masih pendek dan kalah gesit.
Aku berdiri di pintu belakang sebuah rumah tua, menatap langsung pada sebuah makam yang dikelilingi kebun kecil berisi aneka ragam tanaman. Ke sanalah kulangkahkan kaki.
Tempat peristirahatan nenek telah dibangun sejak sepuluh tahun lalu, tepat berdampingan dengan milik kakek. Bukannya bermaksud tidak sopan dengan mempersiapkan kuburan selagi beliau masih hidup, namun hal ini memang telah menjadi kebiasaan umum di kampung kami. Bahkan nenek sendiri tidak keberatan.
Kakek telah meninggal selama seperempat abad kini. Kuburan kakek awalnya seperti tempat peristirahatan abadi kebanyakan—jasadnya ditanam dalam tanah dengan sebuah nisan sebagai penanda. Bertahun-tahun kemudian, setelah kehidupan dan keuangan ayah serta paman-pamanku membaik, mereka sepakat membuatkan sebuah makam berbentuk balok, diberi ukiran-ukiran indah, dan meneduhinya dengan atap. Lalu diadakanlah sebuah acara adat pemindahan tulang kakek dari kuburan tanah ke makam yang baru.
Kata nenek, dulu aku ikut menggali bahkan mencuci tulang kakek sebelum dimasukkan peti dan berakhir di makam tersebut. Sebuah foto lama yang telah usang membuktikan kebenarannya. Tapi tak kuingat apa yang terjadi waktu itu, sebab aku masih berwujud kanak-kanak yang belum mampu menyimpan kenangan.
Tak mampu kuundang bayangan wajah kakek yang tak pernah kukenal—aku masih sangat muda dalam kandungan ibuku ketika ia meninggal. Bahkan tulangnya yang sempat kugenggam pun luput dari memori. Apa kakek pernah