Senin, 20 November 2017

HITAM PUTIH [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu 19 November 2017]

ilustrasi oleh Harian Analisa
HITAM PUTIH
Oleh Dian Nangin
Pintu berderit kencang dan menghantam dinding setelah dibuka dengan sembrono oleh Ayu, pacarku. Terpaksa kuhentikan gerakan tanganku pada tuts piano yang tengah memainkan sebuah lagu yang baru separuh jalan.
Ayu duduk di sebelahku dengan nafas terengah-engah. Titik-titik keringat membuat anak-anak rambut menempel di sisi-sisi wajahnya.
“Kenapa lagi?” Ini bukan kali pertama aku menghadapi Ayu dengan mood yang sedang berantakan.
“Kacau!” katanya sambil menghembus nafas kencang. “Tiga jam sudah rapat dilakukan, tapi sampai sekarang konsep perayaan hari guru belum diputuskan.”

Pekerjaan Sampingan Bagi Pecerpen [Harian Medan Bisnis, Minggu 19 November 2017]

Dok. Pribadi
PEKERJAAN SAMPINGAN BAGI PECERPEN
Oleh Dian Nangin
Aku hampir tertidur kalau saja ceret di atas kompor tidak bersiul nyaring dan memulihkan kembali kesadaranku. Dengan malas aku bangkit dari kursi bambu dan menyeret kaki menuju dapur. Kuseduh kopi untukku sendiri. Bersama cangkir yang mengepulkan uap, aku berjalan menuju pintu depan dan melayangkan pandang. Tak tampak seorangpun sejauh jangkauan mata.
Hampir dua minggu kedai kopi tempatku bekerja sepi pengunjung. Padahal dulu, aku berpikir bahwa salah satu pekerjaan sampingan paling sempurna untuk seorang penulis cerpen adalah dengan menjadi pegawai kedai kopi. Atau, mungkin kebalikannya. Pekerjaan sampingan seorang pegawai kedai kopi sebaiknya adalah penulis cerpen. Kedua pekerjaan itu saling melengkapi satu sama lain.
        Mungkin tidak ada teori yang mendukung kalimat di atas, murni pengamatan dan pengalamanku belaka. Namun,

Minggu, 05 November 2017

DUA KEKASIH [Harian Analisa, Minggu 05 November 2017]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

DUA KEKASIH
Oleh Dian Nangin
Aku sedang sekarat—hidupku rasanya sudah di ambang batas. Seakan dapat kulihat malaikat maut tengah tersenyum manis padaku sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa tergeletak di lantai. Kepalaku berada di pelukan seorang perempuan. Perempuanku. Wajahnya pias demi melihatku tak berdaya. Ia hanya bisa kutatap di antara celah sempit kelopak mataku yang nyaris menutup. Kulewati menit demi menit sambil menghitung dalam hati, memperkirakan berapa lama lagi aku sanggup bertahan.