Minggu, 05 November 2017

DUA KEKASIH [Harian Analisa, Minggu 05 November 2017]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

DUA KEKASIH
Oleh Dian Nangin
Aku sedang sekarat—hidupku rasanya sudah di ambang batas. Seakan dapat kulihat malaikat maut tengah tersenyum manis padaku sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa tergeletak di lantai. Kepalaku berada di pelukan seorang perempuan. Perempuanku. Wajahnya pias demi melihatku tak berdaya. Ia hanya bisa kutatap di antara celah sempit kelopak mataku yang nyaris menutup. Kulewati menit demi menit sambil menghitung dalam hati, memperkirakan berapa lama lagi aku sanggup bertahan.

Tak sabar menunggu, perempuanku mondar-mandir di jendela sambil bersedekap. Matanya nyalang mengawasi jalanan. Bersiap menyambut cinta pertamaku yang sudah ia minta untuk segera datang.
Dulu, perempuanku ini sungguh bebal. Ia datang ketika satu-satunya hati milikku telah jatuh pada cinta pertama yang menjerat begitu kuat. Ia hadir, tanpa ragu mengutarakan perasaan dan kesungguhan hasratnya ingin menggenggam hatiku.
             “Aku sudah ada yang memiliki,” tuturku jujur waktu itu, meski sudut hati kecilku tak ingin melewatkan perempuan secantik dia.
            “Aku tidak bertanya kau sudah ada yang punya atau tidak. Yang ingin kutahu adalah jawabanmu, ya atau tidak!”
Selain bebal, ternyata ia juga bernyali besar.
Cukup lama aku berpikir dan menimbang. Aku telah menjalin hubungan dengan cinta pertamaku bertahun-tahun. Lalu perempuan ini hadir menawarkan penyegaran. Kurasa, tak ada ruginya aku menjalani hubungan lain dengannya. Kehadirannya malah memberiku keuntungan. Ya, keuntungan untuk bersenang-senang, apalagi?!
Begitulah. Ia melemparkan diri ke pelukanku, lengkap dengan deklarasi bahwa segala rupa luka dan penyesalan siap ia tanggung sendiri. Diam-diam aku kagum akan ketabahannya. Ketika aku sedang bercumbu bersama cinta pertamaku, ia bahkan sabar menanti giliran. Sabar menungguku memuaskan diri sebelum kemudian berbalik dan memberinya perhatian yang sama besar.
Barangkali aku lelaki paling beruntung yang pernah ada. Mana ada perempuan yang rela menyerahkan dirinya utuh pada seorang lelaki, sementara lelaki itu punya cinta lain yang takkan pernah ia tinggalkan?
Namun suatu hari aku tersadar, seolah kepalaku telah diketuk palu agar siuman dari permainan yang melenakan. Seperti maling yang menyadari bahwa mencuri tidaklah terpuji.
 “Apa alasanmu mencintaiku?” tanyaku pada suatu siang yang teduh dan tenang. Aku tak dapat menunggu waktu yang lebih tepat lagi untuk mengetahui kebenaran isi hatinya, lalu mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan kepalaku.
            “Kau benar-benar ingin mendengarkan sebuah alasan?” ia balik bertanya.
            “Ya. Tanpa alasan yang kuat, kau takkan bertahan denganku sejauh ini.”
            “Aku hanya...jatuh hati. Padamu. Itu saja.”
            Kuaduk gumpalan rambutku yang ikal gondrong. Kepalaku pusing. Kebersamaan kami selama ini telah semakin menguatkan perasaannya, sementara aku merasakan sebaliknya—aku cuma bersenang-senang. Bersamaku ia hanya membuang-buang waktu. Sedangkan aku bahkan tidak yakin dengan masa depanku sendiri.
            “Bersamamu aku tak takut menjalani ketidakpastian,” ia menanggapiku dengan yakin.
            Aku menggeleng. Lirih, kuujarkan sebuah kalimat klise. “Kau terlalu sempurna. Aku yang tak pantas untukmu.”
            “Basi!” teriaknya tak terima. Baru kali ini kulihat ia menumpahkan kemarahan yang selama ini tak pernah tampak.
            “Sungguh. Bersamaku lebih lama hanya akan membuatmu rusak lebih jauh.”
            “Kalau begitu jangan merusakku. Jangan siakan aku,” ujarnya ketus.
            Tetap bersamaku ataupun memaksanya menjauh adalah dua hal yang sama pahit baginya. Aku berakhir dengan mulut bungkam.
“Mengapa bukan dia yang kamu usir pergi? Kenapa harus aku?” ia menantangku.
Aku dan cinta pertamaku telah memutuskan dari jauh-jauh hari bahwa kami akan mengarungi hidup bersama. Tanpa perlu pengesahan ikrar janji sehidup semati, kami sepakat melangkah menuju keabadian.
 “Aku juga bisa membuatmu lebih baik,” ujarnya, separuh meyakinkan separuh mendesak.
            Seharusnya sudah kuperhitungkan hal ini sejak awal, bahwa perempuan ini akan menuntut. Menuntutku untuk memilih. Sebenarnya bukan hanya sekali dua aku pernah berpikir untuk meninggalkan cinta pertamaku. Namun, saat aku mencoba tegar dengan berpikir bahwa dunia tak akan berhenti berputar hanya karena kami tak lagi bersama, saat itu pulalah aku diserang sebuah melankoli bahwa aku tak sanggup melewatkan hari tanpanya. Tanpa tubuhku dalam dekapannya.
Lalu aku memutuskan kembali padanya. Sebab, cinta pertama bagiku adalah candu paling fanatik. Adiktif. Berpisah darinya berarti aku membunuh diri sendiri. “Maaf, aku masih membutuhkannya.”
            Aku tahu perempuan ini kecewa dan terluka, entah untuk kali keberapa.
***
Sekalipun aku dan perempuan ini dalam beberapa waktu belakangan saling menyakiti dengan kata-kata dan keadaan, namun entah kenapa kami seakan terikat. Lihatlah, dengan gugup  bercampur harap dia menunggu sesuatu yang akan merobek hatinya. Ia sibak gorden tiap kali mendengar deru kendaraan mendekat.
Bibirku menumpahkan seribu raungan sementara tubuhku bergulat dengan sejuta kecamuk rasa sakit paling gila yang tak tergambarkan kalimat. Barangkali inilah hadiah atas ketidakmampuanku untuk memilih, akibat dari ketidakberdayaanku mengambil keputusan terbaik. Walau kini terbersit keinginan untuk membenahi segala yang porak-poranda, menyembuhkan berlusin luka, dan membuat awal yang baru sebab tak mungkin aku kembali ke masa lalu, namun semua telah terlambat. Kesempatan kedua bagiku hanya mimpi. Akhirku telah tiba. Aku melihatnya bergerak mendekat, dengan seringai lebar sarat kemenangan.
Wajah pias perempuanku berubah lega setelah cinta pertamaku datang—sekian hari sudah kami tidak bertemu dan aku sudah sekarat karenanya. Seorang kurir atau apapun namanya, memastikan ia tiba dengan keselamatan utuh. Perempuanku menerima dengan tergesa, lantas berlari mendapatkanku.
            “Ini cintamu,” ucapnya terbata, antara pasrah dan tak rela.
            Namun, aku sudah tak mampu bergerak. Seluruh tenagaku yang tinggal secuil bercokol di tenggorokan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Ingin kuucapkan terima kasih pada perempuan ini karena telah setia di sisiku walau ia tahu betapa busuk perangaiku. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
Perempuanku juga tak menaruh perhatian sebab ia terlalu sibuk menarik laci dan merobek plastik pembungkus sebuah benda berujung runcing yang kutahu sangat ia takuti sewaktu masih kanak-kanak. Namun kini kemampuannya sudah terlatih setelah berulang kali berjuang menyingkirkan ketakutannya, sebab ia lebih takut kehilanganku. Tapi aku sudah tak dapat lagi merasakan apapun, bahkan ketika ujung jarum menusuk kulit dan menyebarkan sekian cc zat terlarang namun amat kucintai ke pembuluh darahku.
            “Bertahanlah!” perempuan itu memukuli dadaku. Cinta menggenangi telaga matanya hingga tumpah meluber. “Jangan takluk, pengecut!”
            Di jeda kesadaranku, kulihat matanya memantulkan rasa sakit dua kali lebih besar dari yang kuderita. Matanya yang dulu ibarat cermin yang jernih, kini penuh gores dan retakan. Di sisa akal sehat di kepala, aku akhirnya menyadari mana yang lebih berharga. Seharusnya aku tak pernah berkenalan dengan cinta pertama ini.
Tak ada hal lain yang ingin kulakukan sekarang kecuali mengecup perempuanku ini untuk kali terakhir, mengisap habis segala cinta yang dengan sukarela dipersembahkannya di baki yang teramat rapuh; hati. Ingin kubawa kehangatannya bersamaku ketika dingin paling ngilu dan menggigilkan datang, lalu merenggutku. Tapi, tak ada negosiasi. Aku diseret pergi tanpa diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Medan, 2016-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar