Kamis, 28 Februari 2013

Kaca Mata Retak


Kaca mata retak itu milik ayah, salah satu benda yang sangat disayanginya. Karena melalui benda itu ia menemukan penghiburan, kebebasan dari letihnya berpeluh-peluh setiap hari, bekerja membanting tulang di ladang. Kaca mata tua itu memberinya pertolongan.

Sesungguhnya kaca mata itu sudah tidak layak untuk dipakai, tapi ayah tak pernah berniat menggantinya. Di kaca mata itu tergores perjuangannya, kisah masa lalunya. Kaca sebelah kanannya sudah retak, sebuah garis tanda pecahan seenaknya melintang diagonal. Lalu kacanya juga sudah sangat kusam, tidak mempan lagi dilap dengan tisu, diuapi dengan nafas dan digosok dengan ujung pakaian, atau dengan pembersih kacamata sekalipun. Gagang dan bingkainya yang berwarna keemasan perlahan memudar karena dimakan usia.

Tetapi kacamata itu adalah pahlawan yang membantu ayah membaca koran di kedai kopi, menandatangani rapor si bungsu, melihat nama yang tertera di layar handphone ketika seseorang meneleponnya,membaca alkitab,  juga ketika membaca not balok di partitur ketika ia bermain piano.

Dengan kacamata itu juga ayah melakukan hobi favoritnya, memainkan game sejuta umat yang ada di setiap komputer, spider solitare. Permainan itu satu-satunya hiburan bagi ayah, yang selalu dilakukannya malam hari. Ayah tidak hobi menonton televisi (kecuali ada pertandingan sepakbola, tentu). Maka setelah ia selesai memainkan dua atau tiga lagu di pianonya, ia akan beranjak, menarik kursi dan duduk menghadap komputer.

Sering kupandangi ayah yang begitu asyik bermain, dengan kacamata menghiasi wajahnya. Aku pernah mencoba memakai kacamatanya itu, dan aku tidak dapat melihat apa-apa. Hanya bayangan buram. Memang, mataku tidak rusak dan aku tidak memakai kacamata, tapi dapat kurasakan bahwa kacamata itu benar-benar tidak layak, tidak nyaman lagi dipakai.

“Ayah, kenapa tidak diganti saja kacamatanya?” celetukku suatu malam. Ayah mengalihkan pandangannya sebentar dari layar monitor, menatapku. “Kan sekarang banyak model kacamata terbaru yang bagus dan trendy?!”

“Sudahlah, ayah tidak terlalu memerlukannya. Lagipula harganya pasti mahal, lebih baik uangnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan,” jawabnya, membuat mulutku terkunci. Ayah memang begitu, selalu mendahulukan kepentingan keluarga dan mengesampingkan kepentingan pribadi, meski kepentingan pribadi itu juga benar-benar penting. “Makanya kamu jaga kesehatan mata, jangan malas makan sayur,” nasihatnya lagi. Sejak itu aku tak pernah mengusulkannya lagi, dan dalam hati aku berjanji, setelah sukses dan mandiri nanti, akan kubelikan ayah kacamata, yang terbaik dan termahal sekalipun.

Aku hanya memandangi ayah. Ia fokus dengan gamenya. Ia memang tidak mau diusik. Hanya terdengar bunyi trek, trek, trek, yang khas ketika kartu-kartu itu berpindah.

Sabtu, 16 Februari 2013

Cerpen: Sesal Yang Terlambat



Another shortstory. Ini cerpen karya saya beberapa tahun lalu. Idenya juga masih sangat simpel dan tidak berbelik-belit. Meski simpel, tapi sarat makna. Hope you enjoy it... :)
                                                                    ***

Today I don’t feel like doing anything.... Lagu Bruno Mars mengalun lagi dari telepon genggam Deena.
Deena udah bisa menebak,” paling-paling sms dari Mama lagi, atau dari Papa. Dari tadi sms masuk dan isinya itu-itu aja, membujukku biar mau pulang. Hufh..., nggak akan mempan.”  Deena membiarkan pesan itu dan tidak menyentuh ponselnya sedikit pun.
“Aku nggak akan pulang sebelum keinginanku terpenuhi. Aku pengen pergi sejauh mungkin dari rumah,”batinnya lagi.  
Deena tersenyum puas menuju kota wisata kecil yang mungkin masih membekas di ingatannya, jauh dari rumahnya, sambil membayangkan Mama Papanya yang khawatir sekaligus menyesal karena tidak mau memenuhi keinginannya.
***
“Gimana kuliah kamu, Dee?” tanya Mama.
“Mmmm...,” Deena masih mengunyah potongan pizza sebelum menjawab pertanyaan Mama.  “Ah, payah Ma,” jawab Deena sekenanya.
“Payah gimana? Udah dua kali kamu minta pindah jurusan, alasannya karena jurusannya ternyata susah. Kalau tau susah, kenapa dulu ngambil jurusan itu? Mama nggak bisa nerima alasan itu lagi, kamu harus berusaha,” Mama mencak-mencak, seperti yang sudah ditebak Deena sebelumnya. Papa terdiam, tapi matanya tajam menatap wajah Deena. Dengan cuek, Deena malah mengambil lagi potongan pizza, melahapnya dan kemudian menyeruput minumannya.
“Kamu denger nggak sih kata-kata Mamamu?” Papa yang dari tadi membisu akhirnya angkat bicara. Deena mengangkat wajah sebentar, kemudian kembali menyeruput minumannya.
“Iya, Pa,” jawabnya singkat.
“Kamu harus benar-benar berusaha. Papa sama mama nggak mau mendengar kata-kata ‘payah’ lagi. Kamu juga harus nunjukin Kartu Hasil Studi kamu ke Mama sama Papa, dan harus ada peningkatan. Papa juga nggak mau liat nilai jelek di sana seperti semester-semester yang lalu. Nilai apaan seperti itu,” Papa Deena benar-benar murtad.
“Iya, Pa, tapi Deena kan dari kemaren minta Papa beliin mobil. Deena bisa berubah kalo udah punya mobil.” Deena bukannya berjanji akan berubah, tapi malah semakin menjadi-jadi.
“Bisa berubah apanya? Berubah jadi lebih buruk lagi? Semua barang yang kamu minta udah Papa beliin, tapi apa balesannya sama papa? Bukannya prestasi yang kamu tingkatkan, malah minta dan minta lagi yang kamu tau. Udah sebesar ini tapi nggak pernah bisa berubah,” wajah Papa Deena merah padam.
“Apa susahnya sih Papa beliin Deena satu mobil aja? Deena kan juga pengen bawa mobil ke kampus kayak temen-temen. Apa artinya Papa punya jabatan tinggi, punya banyak saham, mengelola perusahaan besar, beliin mobil satu lagi aja nggak bisa,” suara Deena meninggi, mengundang perhatian pengunjung lain di restoran pizza tersebut.
“Deena,” Papa Deena tidak tahan lagi untuk tidak membentak. Deena berdiri, menyambar tasnya dan kemudian pergi diiringi tatapan heran orang-orang. Mama dan Papa Deena hanya bisa menarik nafas panjang, tak tahu lagi bagaimana menyikapi anak tunggalnya yang sangat manja tak karuan itu.
***
“Thanks ya, Ra,” Deena mengambil tasnya dan bersiap untuk turun.
“Kapan sih lo bakal punya mobil, Dee?” Pertanyaan Ira sontak membuat Deena terdiam. Deena memandang wajah Ira dengan tatapan tak enak, kemudian memaksakan sebuah senyum dibibirnya.
“ Bentar lagi, Ra. Papa gue dah janji kok mau beliin gue mobil.” Deena berbohong.
“Capek tau gue ama temen-temen harus gantian ngejemput sama nganterin lo tiap hari. Kenapa sih lo harus ngerepotin kita kalo hang out? Lo kan dah bisa nyetir, apa susahnya sih Papa lo yang tajir itu beliin mobil buat lo?” Kepala Deena seakan mau pecah mendengar kata-kata Ira. Tapi ia tetap memaksakan senyum sambil beranjak turun, kemudian menutup pintu mobil Ira.
“Seharusnya sih lo keluar dari geng kita,” ucap Ira sembari kembali menjalankan mobilnya. Blarrr...blarr... Sekujur tubuh Deena bergetar mendengar kalimat terakhir Ira. Keluar dari geng yang paling ngetop dan terkenal dengan anggota paling tajir dikampus? Reputasinya bisa rusak, rasanya Deena nggak sanggup...
“Ini semua gara-gara Papa. Gara-gara Papa aku disuruh keluar dari geng. Arrrgh...” Dada Deena seperti mau meledak ketika memasuki gerbang rumahnya yang seperti istana. Dilihatnya mobil Papanya di halaman,”kebetulan banget Papa udah pulang siang-siang gini.”
Dengan nafas memburu, Deena memasuki rumah dan melemparkan tasnya ke sofa.
“Ada apa sih Deena? Pulang-pulang kok main lempar tas gitu? Kalo kena Mama gimana?” Mama Deena yang sedang membaca majalah di sofa hampir saja terkena lemparan tas Deena.
“Gara-gara Papa nggak beliin Deena mobil, Deena diejek temen Deena tau, Ma,” amuk Deena dengan suara keras,”mereka mau ngeluarin Deena dari geng kalo nggak punya mobil.”
“Harusnya kamu bersyukur atas apa yang kamu miliki sekarang, Deena. Buat apa kamu ikut-ikutan geng seperti itu? Geng yang enggak baik kalo cuma buat anggar-anggar kekayaan, bukannya belajar dan mengejar prestasi, malah keluyuran tiap hari nggak jelas.” Papa Deena muncul tiba-tiba. Deena berdiri dan terdiam.
“Udah syukur kamu Papa kuliahin, eh, bukannya belajar dengan baik.”
Tiba-tiba Deena meraih kunci mobil Papanya yang terletak diatas meja dan kembali menyambar tasnya, kemudian berlari keluar. Panggilan Papa dan Mamanya tak dihiraukannya. Ia terus berlari, menuju mobil Papanya. Tak lama kemudian ia sudah melesat meninggalkan rumah bersama Avanza Papanya.
***
“Hufhh.... Udah sampai mana sih aku ini? Kok nggak nyampe-nyampe, sih? Perasaan aku nggak nyasar deh, masa udah sejauh ini masih belum ketemu ama rumah orang-orang, hutan terus,” Deena kesal sendiri. Deena semakin kencang menginjak pedal gas, melarikan Avanza di jalan yang berkelok-kelok. Ada secuil penyesalan dan rasa takut di hati Deena.
“Gimana kalo aku bener-bener nyasar, udah sejauh ini lagi,” Wajah Deena perlahan menjadi pucat dan tangannya menjadi dingin,”Mana jalanan sepi lagi...”
Deena mencoba mencairkan suasana hatinya dengan memasang musik dan mencoba ikut bersenandung. Tapi percuma, hatinya tetap gugup, takut. Tak lama kemudian ia mengelus dadanya, merasa sedikit tenang karena sudah mulai menjumpai beberapa rumah warga, meski saling terpisah jauh. Ia melihat sebuah kedai, mungkin merangkap sebagai toko serba ada, karena banyak sekali barang-barang berjejal didalamnya.  Deena memutuskan untuk berhenti sebentar untuk melepas lelah. Ia segera menepikan mobilnya.
“Bu, air mineralnya dong satu,” pinta Deena sambil menyodorkan uangnya.
“Ini nak,” kata si pemilik kedai, seorang ibu paruh baya.
“Bu, bisa numpang duduk sebentar?” tanya Deena sambil menunjuk sebuah kursi kayu di dekat pintu.
“Silakan,” si Ibu kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Deena kemudian duduk dan meneguk minumannya. Tak lama kemudian datang seorang Bapak dengan motornya yang sudah kucel, kotor lagi. Deena mengerenyit jijik. Terlihat Bapak itu mengepit beberapa buku pelajaran bekas. Lalu ia meminta beberapa contoh sampul plastik untuk dicocokkan dengan buku tersebut. Sementara Deena masih beristirahat sambil minum, ia memperhatikan Bapak yang dibantu Ibu pemilik toko untuk memilih sampul.
“Yang paling murah sajalah, Bu. Aku khawatir nanti uangku tidak cukup lagi”, pinta si Bapak.  
“Iya, Pak. Kita lihat dulu mana yang pas,” jawab si Ibu,”memangnya Bapak dari mana? Kok kelihatannya capek sekali?”
“Ini, Bu. Tadi baru pulang dari ladang  menyemprot tanaman. Terus tadi pagi anak saya minta dibelikan sampul buku. Ya saya bawa saja bukunya ke ladang, takut nanti saya lupa membeli sampulnya. Ini juga sengaja saya beli buku bekas, karena takut uang saya tidak cukup untuk membeli keperluan yang lain,” si Bapak menjelaskan panjang lebar.
Si Ibu mendengarkan sambil manggut-manggut. “Terus anaknya tidak protes ya, Pak, cuma dibelikan buku bekas? Biasanya kan anak-anak suka rewel, maunya yang baru-baru semua, biar sama kayak teman-temannya gitu, Pak?” Deena hanya bisa melongo mendengar percakapan itu.
“Ya, untungnya anak saya walaupun masih kecil bisa pengertian, Bu. Dia tidak menuntut banyak, karena saya juga jelaskan kondisi ekonomi sekarang yang semakin sulit. Bisa sekolah saja sudah syukur.” Terlihat mata Bapak itu sedikit berkaca-kaca, entah apa yang dirasakannya, Deena tidak mengerti.
“Wah, beruntung ya Bapak punya anak kecil yang mau mengerti kondisi sekarang yang semakin sulit saja. Untung saja anak saya yang sekarang lagi kuliah juga tidak menuntut banyak, padahal kan kuliah di kota besar itu banyak tuntutan,” sambung si Ibu. Deena tidak tau  perasaan apa yang tiba-tiba merayap disekujur tubuhnya, perasaan yang menohok hatinya yang terdalam.
“Ya begitulah, Bu. Tapi bagaimanapun kepentingan anak pasti kita dahulukan. Dia harus sekolah setinggi-tingginya dan punya cita-cita yang tinggi pula, supaya hidupnya bisa berubah. Tidak hanya seperti kita-kita yang hidup susah ini, dan mudah-mudahan mereka juga menyayangi kita di hari tua kita nanti,” si Bapak tersenyum tipis dan tiba-tiba melihat ke arah Deena.
Deena yang terkejut, hanya bisa menundukkan wajah dalam-dalam. Mata Bapak itu seakan ingin menghakiminya, hingga ia tak berani mengangkat wajah, hanya menunduk memandangi botol minuman yang isinya hampir habis.
Deena merasa pusing memikirkan kata-kata Bapak tadi, ia merasa keningnya seperti diketok-ketok. Berbagai perasaan menyusup, menggerogoti nafas hingga dadanya terasa sesak. Kemudian ia memberanikan diri mengangkat wajah, tapi tak  didapatinya lagi  Bapak tersebut, hanya si Ibu pemilik kedai yang sibuk merapikan sampul-sampul yang berserakan di atas meja. Kemudian si Ibu kembali duduk tanpa melirik Deena sedikitpun, tak mempedulikannya. Deena kemudian memandang dirinya sendiri, kemudian matanya beralih memandang mobil Avanza Papanya yang dibawanya lari.
“Apa yang udah kulakukan?” tanya Deena pada dirinya sendiri. Dengan memegangi kepalanya yang masih pusing, Deena beranjak menuju mobilnya. Ia terduduk di bangku kemudi sambil merenung.
“Anak yang separah inikah aku, berbuat seburuk ini pada Mama Papa yang sudah berbaik hati menuruti semua keinginanku?” desisnya dengan mata yang mulai berair, ”mereka yang hidupnya begitu susah saja masih bisa bersyukur, bisa tetap saling mengerti.”
Perlahan Deena meraih ponselnya, membuka kotak masuk yang dipenuhi pesan dari papanya. “Pulanglah, Deena. Mamamu khawatir sampai tekanan darahnya naik, sekarang Mama di rumah sakit. Papa janji beliin kamu mobil, pulang, ya, nak,” Kepala Deena kini semakin pusing, air matanya mengalir, selusin penyesalan menghujaninya.
“Maafin Deena, Ma. Deena menyesal. Deena memang nggak tau diri, membuat Mama sampai masuk rumah sakit karena sangat mencemaskan Deena. Deena mau pulang sekarang. Deena akan berubah, Deena janji.” Deena menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap untuk memutar balik.
Namun penyesalan itu terlambat. Sebuah truk bermuatan kayu yang melaju kencang tidak sempat mengelak ketika mobil Deena memutar. Tabrakan itu membuat mobil Deena terpental. Darah mengalir dari kening Deena dan dengan sisa tenaga yang ada, Deena membalas pesan Papanya. Maafin Deena Pa, Ma. Maaf. Penglihatan Deena gelap.