Sabtu, 11 Juni 2016

Senandung Dua Warna [Analisa Minggu, 05 Juni 2016]


Selain mendedikasikan tulisan untuk bencana yang menimpa salah satu objek wisata di Sumatera Utara yang baru-baru ini terjadi dan begitu mengejutkan, cerpen ini juga saya buat untuk mengenang perjalanan saya sendiri beberapa bulan lalu menuju Air Terjun Dua Warna. Kisah tentang perjalanan itu juga pernah saya publikasikan di blog ini.
Seperti yang selalu disebutkan di beberapa artikel bahwa cenderung penulis menuangkan sedikit ‘dirinya’ ke dalam setiap tulisan yang dihasilkan adakalanya memang benar. Dalam hal ini saya akui sendiri. Pemikiran tokoh utama ‘Mas Andri’ dalam cerpen ini sebenarnya juga adalah pemikiran saya sendiri.
Tentang ‘Senandung alam’ yang disebutkan juga sebenarnya adalah salah satu bagian dari diri saya. Seperti tokoh Mas Andri, saya pun sangat gemar mendengar bebunyian alam yang di telinga saya bisa terdengar bagai orkestra dan saya juga mengoleksi beberapa audio demikian di laptop.
Saya sendiri rasanya tidak percaya tempat yang telah saya kunjungi itu bisa menjadi demikian liar sampai memakan korban. Yah, mengarungi alam adalah sebuah bentuk keasyikan.  Keinginan untuk menaklukkan berbagai spot yang memantang masih terpatri dalam benak, namun rasanya keinginan itu harus ditunda untuk sementara mengingat cuaca belakangan ini tidak stabil dan bisa sangat ekstrim. Ditambah lagi bencana sedang marak dimana-mana. Bagi yang tetap nekat mengemasi tas dan ingin berangkat, tetap hati-hati dan utamakan keselamatan.
Untuk para korban meninggal, semoga diberi tempat terbaik. Serta untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga tetap tabah.

Ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

.......
“Keinginan terakhirku adalah melihat si Dua Warna. Air terjun yang elok itu. Aku telah menguji diri, menekan kelemahan, serta menaklukan alam yang tidak mudah ini. Dan, ia telah membayar perjuanganku dengan memperlihatkan pesona dan kegagahannya. Meski, yah, kegagahannya itu kini menelan kita,” kudengar suaraku sendiri mencicit.
Rasa puas dan bangga yang beberapa saat lalu kutuai kini sirna sama sekali oleh kenyataan tak terduga. Baru sepuluh menit lalu aku menyerukan kekaguman atas indahnya tarian air yang meluncur lincah dari atas tebing. Tak kulawan dan kubiarkan tempiasnya membasahi tubuhku. Kusesap habis kesejukan yang tersembunyi itu, sebelum esok kembali mencemari paru-paru dengan polusi, terjebak lagi dalam kehidupan yang hingar bingar.
.......

Untuk membaca lengkapnya silahkan kunjungi harian.analisadaily.com.

Sampai jumpa di cerpen berikutnya :)

Keep reading, keep writing!