Senin, 28 Mei 2018

Rindu Dari Tepi Danau [Cerpen Harian Waspada, Minggu 27 Mei 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada
RINDU DARI TEPI DANAU
Oleh Dian Nangin
            Embun pagi masih tersampir di ujung daun-daun mangga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Pagi ke sekian ratus kembali tiba sejak kepergiannya. Aku berdiri di kusen jendela, membiarkan angin yang bertiup sepoi dari danau menerpa wajahku. Kupandang pohon mangga yang berdaun lebat namun sudah lama tak berputik itu, seakan ia tak lagi menemukan cinta dan gairah musim sebagai alasan untuk kembali berbuah. Pohon itu berdiri sendiri di pekarangan berpasir. Seolah kami sama-sama terikat dalam satu predikat sebagai dua makhluk yang kesepian.
            Sudah hampir dua tahun dia pergi, kekasihku yang berambut panjang dan bermata teduh. Tubuhnya semampai, dengan bibir tipis yang menerbitkan lesung pipi kala tersenyum. Kami pertama bertemu ketika ia datang dari kampung sebelah, menempati sebuah kamar yang menghadap danau di penginapan kecil yang dikelola ayahku. Keakraban kami terjalin ketika aku sedang mengemasi buku-buku tua yang ditinggalkan para tamu yang pernah singgah di penginapan kami.

Selasa, 08 Mei 2018

PENCARI HENING [Cerpen Banjarmasin Post, Minggu 06 Mei 2018]

Ilustrasi Banjarmasin Post
PENCARI HENING
Oleh Dian Nangin
            Tak ada yang menyambut kedatangan perempuan itu kecuali gerbang kota yang telah usang dan doyong. Wajah dan penampilannya sarat lelah, tapi tampak segurat harap akan sesuatu yang telah lama menggelayuti hati dan pikirannya. Ia serupa musafir yang telah melakukan pengembaraan yang jauh namun belum juga menemukan tempat perhentian yang tepat.
            Perempuan itu memasuki kota sembari bertanya-tanya, apa yang tengah dilakukan penduduknya hingga mereka tak sempat menaruh perhatian pada gerbang utama sampai terbengkalai begitu? Bukankah penampilan dan kesan pertama yang diberikan ‘wajah’ kota akan mewakili keseluruhan isinya?

Senyum Sehangat Senja [Cerpen Harian Waspada, Minggu 06 Mei 2018]

Ilustrasi Harian Waspada
SENYUM SEHANGAT SENJA
Oleh Dian Nangin
~untuk bapak, untuk mamak
            Sengaja aku menunggu di persimpangan jalan. Aku ingat pada jam seperti ini, mereka akan muncul di belokan itu, tak jauh dari tempatku menunggu. Aku suka pemandangan yang sederhana ini; sepasang manusia berusia senja melangkah bersisian sambil bergandengan tangan. Si lelaki akan memegang cangkul di tangannya yang lain, dan perempuannya akan menenteng sebuah keranjang anyaman berisi rantang dan botol air yang sudah kosong. Langkah mereka pelan. Sepanjang hari mereka mengisi waktu dengan bekerja di ladang, mengandalkan sisa-sisa tenaga yang tak seberapa. Sesungguhnya uang pensiun masih cukup untuk berdua, namun  berdiam dan hanya tinggal di rumah akan membuat mereka bosan dan sakit kepala.
            Hari ini aku pulang. Anak-anak di perantauan selalu ingin pulang. Dan, ayah ibu adalah tempat untuk pulang. Kadang tanpa alasan khusus, bukan pula karena ada momen istimewa. Hanya karena ada ketukan ambigu dari dalam hati yang kemudian kutemukan namanya; rindu.

Sabtu, 05 Mei 2018

YANG TAK AKAN LAGI SAMA

Things change
People change
Feelings change

dok. pribadi
Saya beserta tiga saudara lainnya lahir dari rahim seorang perempuan petani, perempuan yang sejak  belia hingga jelang usia senjanya terus berkutat di ladang. Sudah pasti kami tidak bisa menghindar dari alam. Walau memiliki ayah yang bekerja sebagai tenaga medis dan sewaktu kecil kami sering bermain dokter-dokteran sambil mengalungkan stetoskopnya di leher, namun tetap saja ladang menjadi arena bermain nomor satu. Di sana kami bermain masak-masakan, membuat rumah-rumahan di atas pohon, menyembunyikan diri di semak-semak ketika sedang merajuk, menariki cacing dari dalam tanah, hingga membedah katak-katak tak berdosa.
dok. pribadi
Walau kini anak-anak petani ini sudah tumbuh dewasa, memelihara cita-cita yang berbeda-beda, dan hijrah ke kota, ladang tetap menjadi bagian diri yang tak terlupakan. Saat kami pulang kampung, tubuh kembali mengakrabi tanah. Tak peduli pendidikan atau aktivitas yang digeluti di kota tak ada sangkut pautnya, namun darah dan naluri bertani mengalir dalam nadi. Tangan kembali cekatan berkotor-kotor membersihkan gulma dari batang-batang kol, memanen kentang, atau menabur pupuk pada tanaman-tanaman lain.