Selasa, 08 Mei 2018

Senyum Sehangat Senja [Cerpen Harian Waspada, Minggu 06 Mei 2018]

Ilustrasi Harian Waspada
SENYUM SEHANGAT SENJA
Oleh Dian Nangin
~untuk bapak, untuk mamak
            Sengaja aku menunggu di persimpangan jalan. Aku ingat pada jam seperti ini, mereka akan muncul di belokan itu, tak jauh dari tempatku menunggu. Aku suka pemandangan yang sederhana ini; sepasang manusia berusia senja melangkah bersisian sambil bergandengan tangan. Si lelaki akan memegang cangkul di tangannya yang lain, dan perempuannya akan menenteng sebuah keranjang anyaman berisi rantang dan botol air yang sudah kosong. Langkah mereka pelan. Sepanjang hari mereka mengisi waktu dengan bekerja di ladang, mengandalkan sisa-sisa tenaga yang tak seberapa. Sesungguhnya uang pensiun masih cukup untuk berdua, namun  berdiam dan hanya tinggal di rumah akan membuat mereka bosan dan sakit kepala.
            Hari ini aku pulang. Anak-anak di perantauan selalu ingin pulang. Dan, ayah ibu adalah tempat untuk pulang. Kadang tanpa alasan khusus, bukan pula karena ada momen istimewa. Hanya karena ada ketukan ambigu dari dalam hati yang kemudian kutemukan namanya; rindu.
Kata pulang selalu berhasil menjadi kata kunci untuk membuka gulungan kenangan yang menumpuk dalam kepala. Menyusuri apa-apa saja yang telah kulalui. Rasanya seperti mengurai sebuah jalinan benang yang telah kujahit sepanjang waktu yang telah kuhabiskan setapak demi setapak dalam perjalananku. Barangkali ada jahitan yang tak rapi—sebab memang tak akan ada yang sempurna sekalipun segalanya telah dirancang teliti. Kadang, ada hal-hal yang datang diluar prediksi.
Pulang, bagiku, kembali ke titik awal untuk mengisi ulang daya dan energi yang kubutuhkan untuk kugunakan kemudian di hari esok.
***
            Tak menunggu lama, mereka akhirnya datang. Kemunculan yang persis seperti bayanganku. Keduanya tak menyadari keberadaanku. Sengaja aku menyembunyikan diri agar bisa memuaskan diri mereguk pemandangan itu.
Lelaki itu, ayahku. Bagiku ia tak ubahnya matahari. Ia adalah poros. Tempat bergantung. Salah satu sumber energi terbesar, energi yang sudah banyak kuserap untuk kehidupanku. Ia juga baik, menitipkan sebagian cahayanya pada bulan dan bintang-bintang. Hingga aku tak akan pernah benar-benar terjebak dalam kegelapan sekalipun ia tiada, untuk sementara ataupun untuk selamanya.
Tapi matahari sering ditutupi awan mendung. Kadang dipaksa kalah oleh badai. Sering juga ia panas terik, membara dan membakar. Begitulah adanya, demikianlah perannya.
Namun, ada rumah yang selalu melindungi dari segala terpaan perilaku matahari. Ia tempat bernaung dari beragam cuaca. Ibu adalah rumah. Di dalamnya aku akan aman, nyaman, dan terjaga hangat. Ia menjadi tameng yang berada di barisan paling depan untuk menghalau apapun yang mencoba mengacaukan seluruh penghuninya.
Rumah dan matahari hidup berdampingan, menjalankan fungsi masing-masing, menempa dan membentukku hingga kelak aku juga menemukan fungsi hidupku.
Sewaktu masih kecil dulu, aku berpikir kesenangan dan kepolosan akan berlangsung selamanya. Masa kanak-kanak akan abadi. Tak tahu bahwa segalanya semakin rumit ketika waktu berputar, seiring hidup bergulir semakin jauh.
Sesekali terbit sekelumit perselisihan. Aku memelihara mimpi yang tak sesuai keinginan ayah ibu. Aku dan saudara-saudaraku selalu keras kepala serta keras hati, yang lalu pergi meninggalkan rumah. Mencari wadah yang lebih luas untuk merealisasikan cita-cita. Mencari sokongan dan dukungan yang lain. Kadang tak lagi menyadari, bahkan nyaris tak peduli, bahwa sang matahari masih setia menyokong kami dengan energinya. Bahwa rumah selalu menunggu kepulangan penghuninya.
Pada akhirnya, mereka yang selalu mengalah dan melunakkan hati. Mereka yang selalu pertama kali tersenyum, menyapu mega mendung yang menyelimuti langit perseteruan. Sikap yang menumbuhkan rindu yang tak dapat disangkal.
***
Mereka semakin dekat. Aku menyadari langkah keduanya sedikit bertambah lambat dari yang terakhir kulihat. Aku tergugu. Ibu sudah semakin rapuh. Sekuat apapun hatinya, tubuhnya takkan pernah menang melawan waktu.
Ayah juga tengah menuju senja. Namun, seperti selalu, ia masih berusaha kuat mengerahkan sisa-sisa cahayanya; kasih sayang dan cinta yang ternyata semakin indah walau perlahan tubuhnya terbenam. Malam akan segera turun seiring tubuh itu tenggelam ditelan tubir barat. Barangkali kebersamaan tak bisa berlangsung selamanya. Namun aku yakin suatu saat akan datang lagi waktu untuk kembali bersua—aku selalu memelihara harapan ini dalam hati.
“Jika kau ingin mengucapkan selamat tinggal, lakukan seperti matahari tenggelam,” kataku kepada diri sendiri.
Sampai ketemu besok pagi. Lagi.*
Kini jarak kami hanya beberapa meter saja. Aku memutuskan keluar dari persembunyian. Memilih bergabung dengan mereka, berjalan bersama menuju rumah.
            DORR! Aku melompat dari balik tiang listrik dan mengejutkan mereka dengan cara yang sangat kekanak-kanakan. Sikap yang sesungguhnya tak pantas dilakukan seorang lelaki dewasa pada orang tuanya. Namun reaksi mereka tak begitu memuaskanku. Ibu hanya membelalak selama dua detik, lalu melepaskan tangan ayah untuk memelukku. Aku balas memeluk. Ayah tersenyum. Ibu tersenyum. Senyum yang berasal dari bibir-bibir keriput namun teramat cerah dan hangat seperti larik-larik cahaya matahari senja yang berwarna keemasan.
Medan, 2017-2018

*Petikan puisi M. Aan Mansyur yang berjudul ‘Kepada Kesedihan’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar