Rabu, 27 Maret 2013

Untaian Kata Untuk Cinta Semu



kuserahkan seluruh rasaku
dalam detak jantungku, kubiarkan kau berdendang
tak kutemukan logika
apa perlu alasan untuk mencintaimu?
hembusan nafasmu adalah denyut nadiku

biarkan khayalku mengembara jauh, bersamamu
biarkan aku terbuai,
pesonamu

biarkan aku menulis puisi cinta di atas pelangi
mengukir kata-kata di celah tiap lapisan warna
biarkan aku melukis wajahmu di langit
puas aku seluas mata memandang, hanya kau

biarkan aku berbisik pada angin malam, menitip selaksa rindu untukmu
berharap kau mendengar dan hangatkanku
cairkan kerak-kerak rindu yang beku di dinding hati

biarkan aku menjamah bayangmu, yang terpantul bersama embun pagi
izinkan kutelusuri bibirmu, bersama setetes air diujung daun
sebelum hilang dicium matahari

biarkan aku gila,
karenamu
meski cinta ini semu

milikku hanyalah mimpi diujung tidur
semua lenyap, tak berbekas,          
sirna tak bersisa ketika kelopak mata yang terpejam perlahan terbuka
nyatamu terlalu jauh untuk kudekap, tak mungkin dapat kupeluk
biarlah kusenandungkan elegi
dan aku benci kata-kata ini :
“cinta tak harus memiliki”
mungkin selamanya kau hanya akan hidup dalam ilusi
23 Agustus 2012
larut malam

By Dian Nangin

Senin, 04 Maret 2013

Cerpen: Ilusi

Ini adalah salah satu cerpen karya saya ketika masih SMA (sekitar 5 tahun sejak cerpen ini di publish di sini). Ceritanya cukup simpel, dengan gaya tulisan yang sederhana dan apa adanya. Sebelumnya cerpen ini sudah pernah di kirim ke media, tapi tidak ada konfirmasi sampai sekarang. Belum layak muat kali ya. Dan cerpen ini saya posting tanpa di edit sama sekali. Jadi beginilah adanya. Enjoy... :)

                                                                     ***


Kriiinngggggg.....
Bel tanda istirahat telah usai berdering panjang, semua murid berhamburan masuk kelas. Hufff, dengan gontai aku melangkah ke arah mejaku, menghempaskan diri di bangku dengan keluhan. Sebenarnya bukan aku saja, sebagian besar teman sekelasku melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak? Ini adalah jam-jam terakhir dengan mata pelajaran paling membosankan. Biologi. Sebenarnya tidak begitu membosankan, andai saja Pak Guru berkacamata tebal jadul itu dapat mengajar dengan sedikit lebih baik, sedikit lebih menarik maksudku. Betapa membosankannya, selama sembilan puluh menit ia mampu mengoceh di depan kelas dan kami harus memelototinya tiada henti. Huh, terlalu monoton dan bikin ngantuk saja.
Hai, kenalin, aku  Keira. Keira Anggreini lengkapnya. Duh, saat ini aku lagi ngantuk plus boring setengah mati. Mataku rasanya udah maksa banget buat nutup. Pak Guru jadul itu masih asyik menerangkan di depan kelas. Beruntung aku duduk di bangku paling belakang, jadi bapak itu nggak terlalu merhatiin kepalaku yang sudah terasa sangat berat. Hmmm..., enaknya ngapain ya biar nggak ngantuk. Kuedar pandanganku ke seantero kelas, sepertinya semua temanku mengalami hal yang sama sepertiku. Kulihat Jono di pojokan sana, sepertinya ia sudah benar-benar tertidur dengan kepala disenderkan ke dinding. Lihat saja ilernya yang menetes itu. Hiii.... Menjijikkan!
Kulirik Mey, teman sebangkuku. Dia sih punya jurus andalan buat ngusir ngantuk. Dia dengerin musik pake headset, dan headsetnya ditutupin pake rambutnya yang panjang itu. Terus kepalanya ngangguk-ngangguk ngikutin musiknya. Pasti pak guru  ngira Mey udah ngerti pelajarannya, tak taunya lagi asyik menikmati suaranya Bruno Mars, hahahaa.... Sebenarnya aku juga pengen dengerin musik kayak Mey. Masalahnya rambutku nggak panjang kayak rambut Mey, mau ditutupin pake apa headsetnya? Kalo nekat juga, bahaya nih...
Kucuri pandang ke meja samping, mejanya Rafa. Cowok yang kutaksir, hehehe... Bukan aku saja sih yang naksir dia, cewek sekelas juga naksir kayaknya. Orangnya cakep sih, mirip Morgan personelnya Boyband SM*SH itu. Bahkan adik-adik kelas juga berebutan kirim salam untuknya, tapi sering salam itu nggak kami sampaikan. Ya iyalah, orang kami juga naksir sama dia, ngapain nyampein salam dari orang lain. Hahaha... dasar kakak kelas bandel! 
Kulihat Rafa juga mati-matian ngusir ngantuknya. Duh, aku jadi nggak tega buat  ngusilin dia. Biasanya sih aku jagonya ngusilin dia, ngegodain dia juga meski nggak pernah ngerespon, mumpung meja kami sebelahan. Tapi rasanya aku tak sampai hati buat ngusilin dia saat ini, liat tuh wajah cute-nya yang lagi bete. Hmmm, tapi kayaknya melototin wajahnya lebih asyik kali ya daripada melototin wajah pak guru jadul itu. Kutopangkan dagu kesamping, memandangnya dengan wajah mesem-mesem. Duh, cute-nya nih anak. Biar  nggak dapet si Morgan SM*SH itu, dapet duplikatnya juga nggak pa-pa tuh. 
Ehh, tiba-tiba Rafa balik memandangku. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke depan kelas meski ekor mataku masih sempat curi lirik ke dia. Lha? Kok aku jadi salah tingkah gini ya? Biasanya aku nggak pernah tuh salah tingkah, soalnya dia yang selalu salah tingkah kubuat. 
Tiba-tiba....
“Pssstt....” Eh, dia memanggilku? Aku menoleh. Dia menyodorkan sebuah kertas kecil yang terlipat. Apa-apaan nih? Aku mengedipkan mata beberapa kali dan masih belum ngeh.
“Cepat...,” katanya berbisik. Oh, aku segera menyambar kertas itu dan membukanya di dalam laci.
“Keluar yuk...”
Haaa? Dia ngajak aku keluar? Nggak salah nih, biasanya dia jarang nanggepin ajakan aku (bukan aku doang sih, tapi dia juga nolak ajakan cewek sekelas, Erika sang primadona kelas sekalipun). Wah, aku kejatuhan durian runtuh nih. Kesempatan besar buat deketin dia, cewek sekelas, eh, satu sekolah bakalan ngiri abis. Hmmm, basa-basi sebentar ah, pasti asyik. Kutulis balasan di balik kertas itu.
“Kita kemana? Kalo ketahuan kita berkeliaran di luar sana waktu jam pelajaran, gimana?” 
Siip deh. “Psssttt...”
Kali ini aku yang manggil dia dan kusodorkan surat balasan ke arahnya. Ia tersenyum dan meraih kertas di tanganku. Oh, senyumnya manis sekali dan sentuhan tangannya begitu lembut. Aku jadi senyum-senyum sendiri. Seru juga nih main surat-suratan bareng pujaan hati (yaelaaah, pujaan hati!).  Rafa membaca kertas itu dalam laci meja, persis seperti yang kulakukan dan kemudian menulis balasannya, sementara aku deg-degan menunggu.
“Psssstt...” Aku menoleh dengan cepat dan mengambil kertas ditangannya.
“Makan dikantin yuk..., tadi pas istirahat nggak sempat makan nih. Terus nanti kita keperpus, pura-pura pinjam buku. Ntar kita bilang aja ke penjaga perpus kalo guru kita nggak datang. Boring nih dikelas. Mau ya....”
Woww...!  Gila juga ya nih anak. Biasanya dia kalem, nggak pernah macem-macem. Sekarang dia ngajakin aku cabut. Kapan lagi nih kalo nggak sekarang? Kesempatan kayak gini nggak bakalan datang dua kali. Makan berdua bareng Rafa di kantin, so sweet....
“Pssst...” Dia menoleh.
“Oke! Aku duluan ya, kita ketemu di kantin,” kataku, nggak pakai surat basa-basi lagi. Terlalu bersemangat, nih! Rafa tersenyum, kemudian menggangguk dan mengacungkan jempolnya. Wah, ini dia kesempatan bagus buat permisi keluar kelas. Pak Guru jadul sedang asyik menulis di papan tulis. Aku berdiri dan beranjak ke depan kelas.
“Permisi, pak. Saya mau ke toilet sebentar,” kataku pelan.
“Ah, ya...ya...,” jawabnya, cuek. 
“Yeessss.....Yu...huu...,” sorakku dalam hati. 

Dengan langkah ringan aku melangkah keluar kelas. Di ambang pintu aku memandang teman-temanku yang sedang terkantuk-kantuk. Aku melihat ke arah Rafa, sekali lagi dia mengacungkan jempolnya kearahku. Senyumku mengembang. Aku keluar kelas dan menutup pintu kembali. Rasanya hidungku menarik nafas kebebasan (halah, lebay). Aku melangkah riang menyusuri koridor menuju kantin. Belum juga aku sampai di kantin, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Langkahku sontak berhenti dan aku berbalik ke belakang.
“Ah, Rafa! Ternyata elo... Gue sampe kaget, kirain siapa...,” kataku sambil mengelus dada.
“Oh, sory deh Kiara...,” katanya sambil merangkul bahuku. Oh, senangnya dirangkul sama Rafa.... Aku merasakan pipiku memanas. Kami segera menuju kantin dan mengambil posisi di pojok kantin, posisi paling aman dan nyaman. Kulihat beberapa adik kelasku yang berpapasan dengan kami memandang iri, kemudian berbisik satu sama lain. Hahaha..., bangganya aku.
Aku dan Rafa kemudian duduk berhadap-hadapan dan aku dapat memandang wajahnya sampai puas. Kudengar lagu Afgan mengalun lembut dari radio mininya Bik Onang, pemilik kantin. Mendukung banget tuh lagu buat romantis-romantisan.
“Lo mau makan apa? Gue yang traktir deh karna lo udah mau nemenin gue makan,” Rafa membuatku terkejut karena tadi aku tak sadar sedang asyik memandangnya.
“Ngg.. apa aja deh,” aku tergagap. “Duh, Kiara tolol! Kok lo jadi gugup gini? Lo harus enjoy, bersikap manis dong,” aku merutuki diri dalam hati.
Rafa beranjak memesan makanan, dan aku leluasa memandang punggungnya. Aku segera sibuk menyisir rambut dengan jari tangan dan mengelap wajahku pakai tisu dengan cepat, sebelum Rafa kembali dan melihat kelakuan konyolku. Wajar dong kalau aku ingin terlihat rapi dan cantik di depan Rafa?!
Rafa kembali seraya membawa nampan berisi makanan. Aku penasaran makanan apa yang dipesankannya untukku. Dia kemudian duduk dan ,”nih, gue pesanin lo nasi goreng,” katanya kalem.
“ Thanks, ya. Lo tau aja deh makanan kesukaan gue,” kataku semanis mungkin, tak lupa dengan senyum lebarku.
“Eh, lo pesan apa?” tanyaku balik.
“Nih, bakso! Kesukaan gue...,” katanya sambil memamerkan mangkuk baksonya.
“Oh,” jawabku singkat.
“Yuk, makan,” ajaknya sambil menyendok sambal dan menambahkan saus tomat ke dalam baksonya.
“Huekss, kok dia suka makanan menjijikkan itu, sih?” dalam hati aku mengerenyit jijik. Aku punya pengalaman buruk dengan makanan berbentuk bulat kenyal-kenyal itu. 
Waktu itu siang terik sepulang sekolah, perutku sudah sangat lapar tak tertahankan. Aku melangkah cepat menuju sebuah warung bakso tak jauh dari sekolah. Segera aku memesan bakso, kemudian melahapnya. Ehh, ketika sedang asyik-asyiknya makan bakso, aku mendengar berita televisi di warung itu yang mengatakan bahwa harga daging sedang melonjak tinggi dan banyak pedagang bakso yang menggunakan daging tikus karena tak sanggup membeli daging. 
Uhuk..uhuk... Aku tersedak mendengarnya dan sebuah bakso yang sedang kumasukkan kedalam mulut nyangkut di tenggorokan. Kemudian aku terbatuk dengan keras dan semua makanan dalam mulutku termasuk bakso itu tersembur keluar. Aku sangat malu dan sejak saat itu aku menjadi benci sekaligus jijik dengan makanan yang namanya BAKSO!
“Hei, Kei... Makan dong, ntar makanannya keburu dingin lho,” Rafa menatapku bingung karena sejak tadi aku hanya melamun dan mengabaikan nasi gorengku.
“Oh, ya...ya..,” aku segera melahap makananku. Sialan tuh bakso, membuatku mengingat masa lalu dan menyia-nyiakan waktuku bersama Rafa.
“Ehm! Keira, gue pengen ngomong sesuatu sama lo,” tiba-tiba Rafa berbicara serius.
“Oh, ngomong aja lagi. Gak ada yang larang kok,” aku pura-pura sibuk makan padahal dalam hati aku sibuk menerka-nerka apa yang akan dikatakan Rafa padaku.
“Rafa, bilang kalo lo juga suka sama gue,” harapku tak karuan dalam hati.
“Ngg... lo tau nggak kalo gue...,” Rafa menggantung kalimatnya, membuatku jantungan menunggu kelanjutannya.
“Ayo, Rafa....! Ayo bilang kalo lo naksir gue. Gue terima kok kalo lo nembak gue. Gue nggak bakal nolak,” teriakku dalam hati, tak sabar.
“Ng... ntar aja deh. Kita makan aja dulu, ntar dah siap makan gue lanjutin,” katanya penuh teka-teki. Yah, Rafa.... Aku cepat-cepat menghabiskan makananku, tak sabar menunggu agar Rafa melanjutkan kalimatnya.
“Hmm, Kei... Lo cobain dong bakso gue. Enak banget Lho....”
Whatttt? Oh no...! Mataku melotot memandang Rafa.
“Lo pasti suka. Gue suapin deh,” Rafa menyendoki bakso dan hendak menyuapkannya kepadaku.
“Oh, eh..., nggak usah Rafa. Gue udah kenyang kok. Lo makan aja lagi,” aku menolak dengan halus. Aku benar-benar gugup kali ini.
“Ayo dong Keira sayang... nggak pedas kok,” katanya setengah memaksa sambil menatapku tajam. Entah kenapa tiba-tiba kulihat mata Rafa membesar dan bulat menyerupai bakso.
“Eh, Rafa...,” belum selesai aku bicara tau-tau bakso itu  melayang kedalam mulutku.
Uhuk....uhukk....uhukkk......!! Aku tersedak lagi.
Tiba-tiba..., Krrriiinnggggg.......... Bel panjang berdering, bel khas yang menandakan kegiatan sekolah sudah berakhir.
Plak...! Kurasakan sebuah tamparan halus mendarat di pipiku. Aku membuka mata dan kudapati teman-temanku menyorakiku.
“Lho? Kok aku dikelas sih?” aku belum sepenuhnya sadar. Kulihat Rafa berdiri didepanku, dengan ponsel kamera ditangannya.
“Aduh Keira, lo kok molor sih dikelas? Liat tuh iler lo, jadi cewek kok jorokkk??” teriak Rafa menjauh sambil memperlihatkan kameranya, dan kudapati fotoku yang sedang tidur dengan posisi melamun, menghadap kearah bangkunya dan dengan iler yang menetes. Aku sendiri jijik melihatnya dan segera me’lap bibirku.
“Rafaaa...........,” teriakku seraya bangkit berdiri dan mengejarnya yang telah lari menghindar. “ Ntar gue upload ya fotonya di facebook,” Rafa tertawa ngakak, sambil berlari menjauh.
“Huuuuuuu......,” sorakan teman-temanku mengiringi langkahku pulang. Sialll...........!!!