Rabu, 31 Agustus 2016

IBU BUMI (Sumut Pos, 28 Agustus 2016)

HOLA!
 
Tak ada yang lebih membahagiakan bagi penulis selain ketika karya-karyanya terbit. Layaknya seorang ibu yang tengah mengandung menapaki hari penuh debar hingga akhirnya sang bayi lahir. Atau, umpama petani yang akhirnya tiba saat panen setelah penantian panjang. 

Dan kemudian, penulis berharap karyanya dapat diterima, dinikmati, memberi manfaat, atau setidaknya dapat menghibur. Layaknya sang ibu yang berharap si bayi tumbuh sehat dan cerdas. Atau si petani yang berharap panen akan melimpah dan bernilai tinggi.

Oke, oke, cukup dengan pengumpamaan-pengumpamaan itu. Now, let me give you some glimpse about this short story.
......
"Apa yang tumbuh dari rahim bumi selalu baik. Kita, orang-orang desa ini, hidup dari bumi. Dan itu sudah lebih dari cukup. Mereka, orang-orang kota, hidup dari hutan-hutan beton. Tak cocok untuk kita yang terbiasa dengan hutan bersemak dan berpohon tinggi," demikian Emak berfilosofi.
Nur pun sesungguhnya ingin menjadi sosok bumi yang seperti diumpamakan ibunya dulu. Bumi yang memberikan segalanya, semua yang terbaik. Dari rahimnya bermula kehidupan. Kedua pucuk susunya menjaga kelangsungan hidup. Ia sesungguhnya rela berpeluh-peluh demi semua tuntutan kebutuhan. Tapi semua itu kini hanyalah sebentuk keinginan yang terpasung.
......
Silahkan klik link berikut untuk membaca versi lengkap cerpen ini : http://www.langgamsp.com/2016/08/28/6778/cerpen-dian-nangin-2/

Selamat membaca
Salam hangat...

Sabtu, 20 Agustus 2016

SIOSAR, Tanah Karo [Catatan Perjalanan]

Pertama kali mengunjungi tempat ini bersama kerabat yang datang dari jauh. Memang, beberapa waktu belakangin ini, Siosar sebagai kawasan relokasi pengungsi bencana Sinabung sedang hits, ramai dibicarakan karena keelokan alamnya.
Maka ramai-ramailah kita ke sana pada libur lebaran kemarin. Pada kunjungan pertama ini, kami layaknya turis kebanyakan yang datang dari kota, berkeliling area relokasi dengan mobil tertutup, menikmati pemandangan dari balik kaca jendela, dan berhenti di beberapa titik favorit banyak orang untuk mengambil foto.
Setelah itu kita istirahat sebentar di warung tenda. Menyesap cappucino sambil berbincang dengan pemilik warung, yang juga merupakan pengungsi. Tak berapa lama kemudian, kami kembali ke mobil, berkeliling sekali lagi, dan akhirnya pulang. The end.

Beberapa minggu kemudian, barulah kami berencana melakukan perjalanan lagi ke Siosar dengan gaya sendiri. Dan perjalanan kali ini bisa dikatakan repot, boros, nekat, dan terkesan maksa. Kenapa? Tanpa ada kepastian transportasi dan tanpa ada teman yang punya kendaraan, kami tetap berangkat. Rencananya, kami akan naik transportasi apa saja yang akan menuju ke sana, setidaknya melewati kampung terakhir sebelum naik ke Siosar. Sisa perjalanan akan kami tempuh dengan berjalan kaki. Pulangnya, kami akan lifting, yakni mengacung jempol pada kendaraan yang akan turun ke kota dan lalu menumpang!
Dari simpang desa Singa, kami menyewa becak yang mesinnya meraung tiap kali tiba di tanjakan, dan akhirnya tiba di pertengahan jarak menuju puncak 2000. Setelah membayar ongkos sebesar 50.000 untuk bertiga, kami siap berjalan dengan semangat. Eh, tiba-tiba berpapasan dengan kerabat yang baru turun dari Siosar. Merasa iba (dan mungkin tertawa dalam hati karena ide pergi ke Siosar dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter adalah sesuatu yang gila!), mereka berbaik hati untuk memutar kembali mobil dan mengantar kami hingga ke puncak Siosar. Yah, gagal rencana jalannya. Tapi tak apalah, hitung-hitung hemat energi.
Kami diturunkan di depan gereja Bahtera Kasih dan mereka pun berlalu. Yak, ransel tercangklong di punggung. Perjalanan dimulai dengan mengitari area perumahan dengan berjalan kaki, memperhatikan kegiatan orang-orang di sana pada hari minggu. Memandang penuh iri pada peralatan hidroponik di pekarangan setiap rumah yang kebanyakan diabaikan. Berikut adalah satu dari segelintir orang yang terpikir untuk mencoba bercocok tanam dengan media ini.
Puas berkeliling, kami berhenti sebentar di bawah naungan pinus untuk beristirahat, berfoto (tentu saja), dan menikmati bekal yang dibawa dari rumah. Jelang siang, pengunjung semakin ramai dan ternyata banyak yang juga yang berminat tamasya di bawah pinus-pinus, terutama keluarga yang datang dengan rombongan dengan bekal seabrek, lengkap dengan tikar dan selimut.

Setelah kenyang, kami lanjut menyusuri setiap persimpangan, masuk ke lahan pertanian yang baru dibuka, yang sebelumnya adalah area hutan. Melihat-lihat tanaman apa saja yang ada di sana, memperhatikan beberapa petani yang sedang membangun pondok, dan sebagainya.
Selanjutnya adalah berjalan menyusuri jalan aspal sejauh 4 kilometer yang berliku-liku, menanjak dan menurun. Menikmati langkah demi langkah, menantang kesiur angin kencang, memuaskan mata dengan warna hijau sejauh jangkauan pandang.
Mungkin bagi sebagian orang, berjalan kaki itu melelahkan. Sebagian besar berkata, kalau ada mobil, untuk apa capek-capek berjalan? Bagi kami, kalau punya sepasang kaki yang sempurna, kenapa tidak menggunakannya?
Mereka juga mungkin merasa terik matahari hanya akan membakar ubun-ubun dan menggosongkan kulit. Sementara angin kencang cuma membuat hidung meler. Tapi, sesekali, tantanglah itu semua. Puaskan setiap indramu dengan segala pemberian alam.
Pergilah keluar, tinggalkan zona nyamanmu. Tabahkan diri, taklukkan jarak, temukan orang asing berhati baik yang tampaknya sudah semakin langka. (By the way, setelah beberapa kali diabaikan mobil-mobil yang lewat, akhirnya kami pulang dengan mobil dengan bak terbuka milik pasangan muda yang turun ke kota dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Mereka adalah bagian dari pengungsi Sinabung dan bukan turis. Ketika kami mengulurkan ongkos, mereka dengan tegas menolak. Bujur melala, Tuhan simasu-masu...)

Demikian.

Sekian.