Jumat, 16 September 2016

CARA(KU) MENULIS CERPEN

Beragam cara penulis fiksi untuk menuliskan sebuah cerita. Cara tersebut bervariasi, tergantung kenyamanan atau kebiasaan penulis itu sendiri. Suatu cara yang berhasil dilakukan oleh satu penulis, bisa jadi tidak cocok diterapkan oleh penulis lain. Dari kebanyakan artikel yang pernah kubaca, ada yang menyarankan membuat outline terlebih dahulu. Ada yang bergantung pada judul. Ada yang merasa lebih mudah memulai dari ending, atau sebaliknya.

Di sebuah milis aku pernah menemukan penulis (atau mungkin masin calon penulis) yang menanyakan bagaimana mengolah ide yang bertumpuk di kepala? Kadang ada beberapa inspirasi menyerbu sekaligus, membuat tangan kewalahan menulis atau mengetikkannya. Belum selesai yang satu, muncul pula ide lain yang menuntut untuk dikembangkan. Pada akhirnya, tak ada satupun yang rampung. 

Bila hal itu terjadi, aku tetap menuliskannya terlebih dahulu. Seringkali hanya garis-garis besarnya untuk dikembangkan nanti atau kapanpun, setidaknya ide itu meninggalkan jejaknya di file yang bertebaran di laptop atau berupa catatan-catatan di notes. Lalu kemudian di suatu waktu aku membacanya kembali, memilah dan mendalami kira-kira mana yang paling menarik untuk dijadikan cerpen 'sungguhan'. Kadang, bisa jadi pula sebuah ide dikembangkan menjadi beberapa cerita dengan penuturan berbeda. Aku sering melakukan ini karena cukup manjur untuk melatih gaya menulis dan cara mengembangkan imajinasi.

Bukankah ada pepatah yang mengatakan practice makes perfect?


Kalau caraku menulis cerita? Ibarat bermain puzzle! Aku kadang memulai sebuah cerpen karena ada sepotong kalimat unik yang menyambar kepala dan rasanya cocok jadi judul cerita. Seringkali potongan kejadian yang akan kumasukkan ke dalam cerita bisa bersumber dari peristiwa berbeda namun terdapat kemiripan di dalamnya. Kadang, dalam satu kali duduk aku hanya bisa menuliskan dua paragraf terakhir. Kadang hanya seulas klimaks tanpa terlebih dahulu menemukan awal dan akhir cerita. Bisa jadi juga menyelesaikan satu cerita, utuh, sempurna secara EYD dan sebagainya, namun tak kunjung menemukan judul yang cocok. Yang gereget!

Pernah suatu kali aku seharian mengutak-atik dua kalimat pembuka sebuah cerpen. Tapi tak juga berhasil, rasanya ada yang belum pas. Sekilas baca sebenarnya aku merasa cerpen ini selesai, namun aku terus menunda pengirimannya ke media. Lalu (ini pengalaman pribadi) aku pergi keluar. Menyesap secangkir kopi di sebuah kafe. Kemudian lalu lalang berjam-jam di toko buku, membaca ini itu tanpa berniat membeli. Hari jelang sore. Kusempatkan singgah di perpustakaan kota. Itu pun karena letaknya dekat dengan toko buku. Memanfaatkan satu jam terakhir sebelum perpustakaan tutup untuk browsing karena aku terbiasa membawa komputer jinjing kemanapun.

Dan akhirnya, di ujung perjalananku hari itu, ketika duduk melepas lelah di bangku perpus yang dingin, sebuah kalimat melintas cepat di benak. Sekejap saja. Bahkan saat itu aku sedang berselancar di dunia maya. Sejenak aku menyadari, sebenarnya apapun yang kulakukan dan kemanapun aku melangkah hari itu, benakku selalu dibayang-bayangi tulisan yang belum rampung tersebut. Ada pergulatan (agak berlebihan, yak!) dalam pikiran yang terjadi diluar kesadaran.

Tak ingin kehilangan momentum, cepat kubuka file cerpen yang terbengkalai. Menghapus kalimat pembuka yang menurutku kurang 'nendang' itu. Menggantinya dengan sebaris kalimat yang baru saja singgah di kepala. Selanjutnya kubuka Yahoo, tulis pesan baru, ketik alamat email tujuan, mengisi judul, kalimat pengantar, attach file, dan kirim. Selang beberapa minggu kemudian cerpen tersebut terbit! 

Demikian.

Sekian.

Kamis, 08 September 2016

RERANTING


Sekali waktu kau mungkin mati
Gugur helaimu oleh angin dibawa pergi

Tapi tak usah berlara hati
Embun tetap setia mendekapmu di pagi buta
Kecup basahnya lalu tinggal sebagai tanda cinta

Kuatlah kala matahari menguji
Apa kau akan merapuh
Atau malah tumbuh; makin kukuh

Sebab musim mungkin menghidupkanmu kembali
Enyah segala ranggas
Memucuk lalu tunas
Ditingkahi deru nafas

Siosar, Agustus 2016

Selasa, 06 September 2016

Ajal Yang Tertukar (Medan Bisnis, 04 September 2016)

Hello, September!
Merasa familiar dengan judul cerpen ini? Mungkin sering terdengar sebagai judul sinetron, atau mungkin film, namun (tentu) bukan tentang ajal.

Banyak orang enggan atau bahkan sangat ingin menghindar dari pembicaraan tentang kematian. Tapi, bagaimanapun kematian itu adalah bagian dari tiap pribadi, bukan? Tiap langkah atau tiap pertambahan umur sebenarnya mengantarkan kita lebih dekat dengan kematian.

Sejenak, lupakan rasa enggan dan silahkan nikmati cerpen ini :)
....
Sejak aku memasuki ruangan ini, aroma kematian tercium kental. Begitu pekat. Seolah tiap-tiap nafas telah berada di ambang batas. Seakan tarikan nafas mereka beberapa menit ke depan bisa jadi yang terakhir.
......
.....
"Mari pergi," ajakku.  Tanpa perlu meminta dua kali, ia langsung menyambut uluran tanganku. Bergandengan, kami melangkah melintasi ruang dan waktu. Meninggalkan suaminya yang mendadak tersadar, kemudian meraung dan mengguncang tubuh istrinya yang sudah tak bergerak. Menciptakan kehebohan yang lebih besar ketimbang yang terjadi sebelumnya.

Klik link berikut untuk membaca 'Ajal Yang Tertukar' secara lengkap: http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2016-09-04/files/assets/basic-html/index.html#10

Selamat membaca....