Selasa, 29 Agustus 2017

SATU HAL KECIL [Cerpen Harian Medan Bisnis, Minggu 16 Juli 2017]

ilustrasi oleh Harian Medan Bisnis

SATU HAL KECIL
Oleh Dian Nangin
            Malam yang sudah jauh merangkak seharusnya membungkusku dengan keheningan. Seharusnya. Namun semua buyar ketika salah satu kamar rumah tetangga sebelah kembali menyalakan lampu dan kemudian terdengarlah teriakan-teriakan itu.
Ingin rasanya aku melempar jendela mereka dengan gelasku yang berisi endapan ampas kopi. Cairan hitamnya sudah habis kuteguk sebagai amunisi untuk mengarungi malam dengan setumpuk naskah yang harus kuedit. Sekarang aku nyaris frustasi karena tak bisa melanjutkan pekerjaanku, tapi juga tak bisa pergi tidur karena kafein dari segelas kopi barusan telah membuat kedua mata ini tetap nyalang, tak mau terpejam.
            Seminggu sudah aku menghuni rumah ini setelah mengidamkannya sejak lama. Kurelakan delapan puluh persen tabunganku melayang demi sebuah bangunan di kompleks yang harusnya tenang ini, ditopang sokongan orang tuaku dan bantuan sukarela dari kekasihku yang telah bekerja di luar kota.
            Aku bersyukur bisa memiliki tempat yang nyaman dan akan mendukung penuh pekerjaanku sebagai editor naskah fiksi, yang sesekali juga menulis. Namun, aku tidak minta ‘bonus’ berupa kegaduhan ini.
Awalnya teriakan-teriakan itu hanya terdengar di pagi atau siang hari, namun kini mereka sudah keterlaluan. Aku heran, bagaimana bisa para tetangga tidak pernah mengeluhkan keributan yang makin hari makin menjadi itu?

Selasa, 22 Agustus 2017

Jangan Layu, Bunga [Cerpen Harian Waspada, 20 Agustus 2017]

ilustrasi oleh Waspada
JANGAN LAYU, BUNGA
Oleh Dian Nangin
            Kakiku seakan dipaku ke dalam bumi ketika tak sengaja kulihat sekelebat wajahnya. Kupicingkan mata. Hatiku bersikeras menyangkal kebenaran bahwa perempuan penjaga lapak sayur mayur yang terkantuk-kantuk itu adalah dia.
Turut bersamanya bocah laki-laki dan perempuan yang juga terkantuk-kantuk di tengah siang yang terik. Mereka merekat erat, seakan takut ada seseorang yang akan memaksa memisahkan mereka. Hatiku separuh bimbang, entah aku sedih atau senang melihatnya lagi.
            “Perempuan itu.....,” kutelan gumpalan di tenggorokan demi menyebut namanya,”...Melati, bukan?”
            “Benar.” Aku tak tahu siapa yang menyahut di antara gerombolan pembeli kue-kue tempatku berdiri sejak tadi tanpa berniat membeli. Jawaban yang menegaskan dugaanku itu benar-benar menceluskan hati.
            Tak dapat kutahan kerut-kerut di kening. Apa yang tersaji di depan mata sungguh bertolak belakang dengan apa yang kuimajinasikan selama ini tentangnya: ibu muda yang cemerlang, mengisi hari-hari dengan menerima dan memberi cinta. Kuhibur diri