Senin, 12 Oktober 2020

PELAKON SKENARIO [Cerpen Medan Pos, edisi Minggu, 11 Oktober 2020]

Harian Medan Pos
 

PELAKON SKENARIO

Oleh Dian Nangin 

“Langsung pesan atau masih mau menunggu?”

 Kau sedang sibuk menepis tetes-tetes air yang sempat mendarat di pakaianmu ketika pertanyaan tersebut meluncur dari pelayan yang menghampirimu. Pertanyaan reguler yang senantiasa ia suguhkan selama dua tahun terakhir sejak kau rutin berkunjung ke kafe itu. Bersama dia, kekasihmu.

“Sebentar lagi,” kau menjawab.

“Baik.” Pelayan itu mengangguk paham. Seperti biasa, pikirnya. Ia sebenarnya sudah hafal luar kepala jawabanmu, namun tetap bertanya. Karena kalau tidak, terasa ada yang kurang dari rutinitas sore itu—pada setiap kunjunganmu.

“Eh,” kau berseru, berubah pikiran. ”Secangkir cokelat panas boleh juga.”

Si pelayan mengangguk kembali. Kau alihkan perhatianmu pada hujan di luar, hingga tak sempat kau tangkap raut heran pelayan itu. Dalam sekejap, pendapatnya berubah. Baginya, kau hari ini sungguh tidak sama seperti hari yang lalu-lalu. Biasanya kau selalu setia menunggu kekasihmu. Takkan kau pesan apapun sebelum dia tiba, tak peduli berapa lama dia terlambat. Tidak pernah sekali pun kebiasaan itu kau ingkari.

Memang, hari ini pun sungguh tidak biasa bagimu. Kafe ini, pelayan itu dengan pertanyaannya, kunjungan rutin, dan suasana hati, sudah kau lalui ratusan kali dengan format yang sama. Tak pernah berubah. Namun, petang ini jelas-jelas ada yang beda.

Terasa berbeda karena kini kau sendiri tanpa dia, karena tak akan ada lagi pertemuan. Kau kini sedang melakukan selebrasi perpisahan seorang diri. Selebrasi pilu.

Selasa, 29 September 2020

RIAK PENANTIAN [Cerpen Harian WASPADA, 20 September 2020]

ilustrasi oleh Harian WASPADA

RIAK PENANTIAN

Oleh Dian Nangin

 

            Seperti ombak yang tak pernah lelah meriak ke tepian—dengan apalagi harus kusandingkan kesabaran dan kesetiaanku menunggumu, Adelaide? Kadang gulungan ombak itu berukuran besar hingga mampu menghempas perahu-perahu nelayan, kadang tenang dan berirama. Namun ia tak pernah berhenti bergerak. Seperti penantianku, senantiasa beriak.

            Tak pernah bisa kulupakan hari ketika aku mengantar dan menungguimu manortor di  tempat biasa tamu-tamu asing berambut pirang itu disambut. Kepalamu berhiaskan sortari. Tak jua pudar kekagumanku melihat tubuh rampingmu dalam balutan ulos. Mungkinkah rasa jemu sudah enyah dari hatiku bila itu menyangkut tentangmu?

            Hari itu, kau tampak lebih bersemangat—ya, biasanya kau juga semangat dan memesona. Namun kau keluarkan semua daya yang kau punya demi mempersembahkan tarian terbaik dan kesan mendalam agar tamu-tamu itu kelak punya kenangan untuk dibawa pulang. Aku, yang tak mampu membaca tanda apa pun, hanya ikut menonton pertunjukanmu.

Ternyata, itu menjadi pertunjukanmu yang terakhir. Aku ingat kau pernah berkata bahwa kau ingin menari selamanya di sini, di tanah batak tempat kita pertama kali membuka mata dan menjeritkan tangis. Tapi, semua itu kau sangkal. Kau telah mengepak ransel dan menyusun rute perjalanan. Kau berencana pergi menempuh mimpi-mimpi.

            “Sudah cukup banyak kita menerima kunjungan. Sesekali aku ingin pergi dan mengunjungi tempat-tempat yang jauh,” katamu beralasan.

            “Sejak kapan angan-angan itu melenting di kepalamu?”

            Kau balas bertanya. “Apa kau tak pernah bercita-cita keluar dari kampung ini?”

Kamis, 02 Juli 2020

ANGIN BERKABAR HUJAN [Cerpen Harian Republika, Edisi Minggu, 28 Juni 2020]

ilustrasi oleh Harian Republika


ANGIN BERKABAR HUJAN
Oleh Dian Nangin
            Sepasang tangan lelaki tua itu berkacak di pinggang. Tangan tersebut berwarna kelam, serupa malam yang akan segera datang menggantikan petang. Sulur-sulur pembuluh darah tampak menonjol di balik kulitnya yang penuh kerut, bukti kerja keras yang masih ia lakoni hingga usia hampir tujuh dekade kini. Baru saja ia selesai menggali lubang-lubang kecil dan menjatuhkan butir-butir biji kacang panjang ke dalamnya. Butuh usaha yang sedikit ekstra karena tanah begitu kering dan keras ketika digali. Sudah cukup lama hujan tidak turun, namun bagaimanapun, mereka tak bisa berhenti menanam.
            Itulah yang ia lakukan bersama istrinya selama puluhan tahun: mengolah tanah dengan bermandi peluh dan berhujan air mata. Menghidupi anak-anak mereka dengan bertani—profesi tanpa pilihan yang diwariskan para pendahulu mereka. Yah, apalah yang bisa dilakukan orang-orang kampung yang bahkan tak mencicipi bangku pendidikan setidaknya hingga Sekolah Menengah Pertama itu.
Beragam jenis tanaman telah melewati proses tumbuh-rawat-panen di tangan mereka. Kadang upaya itu memberi hasil yang cukup memuaskan, namun tak jarang juga berakhir buruk dan menyebabkan kerugian—yah, roda kehidupan berputar. Sejak awal, mereka tak membangun mimpi untuk menjejakkan kaki di puncak kemakmuran

Senin, 29 Juni 2020

Jasad Mimpi Sang Pengarang [Cerpen Harian Medan Pos, edisi Minggu, 28 Juni 2020]

dimuat di Harian Medan Pos

JASAD MIMPI SANG PENGARANG
Oleh Dian Nangin
Ketika wajah langit mulai berselaput mendung, aku melakukan sebuah prosesi menuju pemakaman. Tak ada lagu-lagu penghiburan, ayat-ayat yang melipur lara, sekeranjang bunga-bunga, atau tepuk di bahu serta peluk singkat sarat empati. Hanya ada jasad ratusan file cerita pendek yang berada dalam belasan folder. Folder itu lalu menjelma peti yang akan menemaninya ke tempat peristirahatan terakhir.
 Kutatap layar putih di hadapanku dengan folder-folder berbaris rapi, dengan nama-nama yang akrab. Tidak pernah ada perpisahan yang mudah. Walau perpisahan ini sebenarnya telah membayangi dari jauh-jauh hari dan aku—sedikit banyak—telah berlatih  mempersiapkan diri, namun tak pernah ada kesiapan yang sempurna. Kuhalau titik-titik air yang mulai menggenangi pelupuk mata.
            Sebentar, aku harus menarik nafas! Aku ingin mengenang dengan tenang waktu yang telah kulewatkan bersama impian ini hingga kini tiba saat bagiku untuk melepasnya. Ah, terlalu lama! Terlalu lama aku memelihara impian ini hingga tak lagi kuingat kapan ia tumbuh. Tak terhitung sudah berapa kali aku dan ilham-ilham di kepalaku melakukan persetubuhan hingga melahirkan karya yang (tidak selalu) mengagumkan.
            Tidak mudah untuk menjadi seorang pengarang. Dalam tubuhku tersimpan bibit-bibit kegelisahan yang perlahan tumbuh meraksasa, menggerogoti jiwa. Pikiran selalu menaruh curiga pada mimpi yang singgah dalam tidur. Ada banyak hal yang seenaknya menerobos masuk ke dalam tubuh dan hati tanpa bisa diabaikan dengan mudah serupa mengacuhkan angin yang meniup kulit.

Kamis, 21 Mei 2020

Solilokui Strukturalisme Cerita Pendek dan Kematiannya di Tangan Cerpenis [Antologi Cerpen Pemenang Lomba Menulis Tulis.me 6]


Salam literasi!
dokumentasi pribadi
Akhirnya, buku antologi ini sampai juga ke tangan saya setelah penantian yang cukup panjang! Ini adalah buku antologi pertama saya, tanpa bermaksud narsis ataupun pamer. Ya iyalah, apa juga yang hendak dipamerkan? Masih ada banyak penulis yang lebih senior dan lebih sukses dari saya, serta sudah punya puluhan buku yang diterbitkan. Tapi, biarlah buku antologi saya yang pertama ini menjadi lecut penyemangat agar saya terus berkarya lebih baik lagi. Nah, izinkan saya mengulas buku yang sederhana ini.
          Buku antologi ini berisi lima cerita pendek dari enam penulis pemenang lomba menulis yang diadakan oleh Tulis.me pada tahun 2019 lalu, dimana saya menyabet posisi kedua. Menurut saya, buku ini diterbitkan lebih sebagai dokumentasi dan kenang-kenangan, alih-alih untuk komersil. Berikut saya cantumkan nama penulis serta judul masing-masing karyanya, dengan nomor urut sesuai dengan posisi pemenang:

Kamis, 14 Mei 2020

MEMBACA PERTANDA [Cerpen Harian Rakyat Sultra, edisi Senin, 11 Mei 2020]

Harian Rakyat Sultra

MEMBACA PERTANDA
Oleh Dian Nangin
 “Bagaimana kalau seorang dari kita meninggal, Bu?” kulontarkan pertanyaan itu pada ibu dengan nada polos. Ibu beberapa kali membawaku ke rumah duka untuk melayat kerabat atau rekan kerjanya. Alih-alih bergabung dengan kawan sebaya atau asyik menjilati es krim sementara para orang tua sibuk menumpahkan tangis di ruang duka, aku justru mengamati raut setiap orang. Kuterka-terka seberapa dalam hati mereka terluka ditinggal orang yang mereka kasihi.
“Kalau mati, ya tinggal ditanam di tanah,” sahut ibuku enteng, seolah prosesinya tak ubahnya melemparkan ayam-ayam peliharaannya yang mati ke dalam sebuah lubang sedalam setengah meter lalu menutupnya kembali dengan tanah sembari mengumpat pada tikus atau musang yang telah menggigiti unggas-unggas itu.
Aku tak tahu apakah jawaban ketus itu dipengaruhi emosi sebab sudah beberapa kali anak-anak ayam peliharaan ibu yang baru menetas mati digigit mamalia-mamalia itu. Pupus sudah harapannya melihat anak-anak ayam yang baru menciap-ciap itu untuk tumbuh besar, hingga akhirnya tiba waktunya untuk bertelur dan beranak pinak atau diolah menjadi lauk.
Atau, barangkali aku masih terlalu kecil untuk menerima sebuah jawaban logis dan agamis.

Selasa, 05 Mei 2020

Proses Kreatif Penulisan Naskah ‘DUA RAHASIA’ [Salah Satu Pemenang Sayembara Menulis Cerita Anak 2020 oleh Balai Bahasa Sumatera Utara]

Salam literasi!
Banner oleh Balai Bahasa Sumatera Utara


Naskah saya yang berjudul ‘DUA RAHASIA’ menjadi satu dari lima pemenang Sayembara Menulis Cerita Anak 2020 yang diadakan oleh BBSU. Sebetulnya, naskah ini adalah gabungan dari dua tulisan saya yang sebelumnya. Yang pertama adalah sebuah cerita remaja yang saya tulis sekitar tahun 2015 dan satunya lagi adalah tulisan acak berisi pemikiran, curahan hati, dan pengalaman saya terkait budaya suku Karo. Kedua tulisan ini belum pernah saya publikasikan sebelumnya dan ketika mendengar sayembara yang diadakan BBSU, saya terpikir untuk menggabungkan kedua tulisan ini, tentu saya pun harus menyesuaikannya dengan syarat sayembaranya.

Selasa, 28 April 2020

Menyampaikan Kekalahan Pada Ibu [Cerpen Harian Waspada, Minggu 26 April 2020]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MENYAMPAIKAN KEKALAHAN PADA IBU
Oleh Dian Nangin
        Betapa berat terasa kekalahan yang kupikul di bahu lelahku. Malam telah pekat. Bintang tak tampak. Hanya ada bayangan samar bulan di balik awan tipis, seolah ia menunggu waktu yang tepat untuk keluar dan menumpahkan sinarnya—sinar yang seolah tidak dijatahkan untukku. Kuharap ibu sudah tidur, namun harapan itu seketika pupus sebab kulihat masih ada sejumput cahaya yang menerobos ventilasi jendela. Itu artinya ibu masih sibuk dengan kain-kain jahitan titipan tetangga.
          Tepat di depan pintu, aku berhenti sejenak. Melintas di ingatanku senyum ibu yang mengembang lebar siang tadi ketika mengiringi kepergianku dari ambang pintu. Senyum itu menguarkan sejuta harap bahwa aku akan pulang dengan kemenangan.
Tapi sekarang kepalaku lunglai, hampir-hampir menghantam pintu dan jatuh ke lantai. Malam ini aku (kembali) menjadi pecundang, menggenapi kekalahanku untuk ke sekian kali. Tak kuingat apakah ada mimpi buruk yang singgah di tidurku tadi malam, sebab aku terlalu asyik berkhayal akan melangkah ke podium tinggi dan menerima trofi penuh percaya diri. Ternyata, aku belum pantas menjadi jawara. Berbekal sejumlah prestasi dan pengalaman, kukira aku telah menjadi unggul. Nyatanya masih ada sejumlah kekurangan yang tak bisa kulihat sendiri. Betapa pahit rasanya kekalahan dan lebih pahit lagi ketika aku harus menyampaikannya pada ibu malam ini.

Selasa, 07 April 2020

Perihal Penantian dan Bunga-Bunga [Cerpen Harian Medan Pos, edisi Minggu, 05 April 2020]


PERIHAL PENANTIAN DAN BUNGA-BUNGA
Oleh Dian Nangin

Tak pernah kulupa menunaikan kebiasaan ini tiap pagi, yakni merapatkan mata pada kisi-kisi jendela. Memang, celah yang hanya sekian senti itu tak akan memuaskan indra penglihatanku, tapi mataku tak akan salah mengenali meski sosokmu telah bertahun-tahun pergi.
Pagi ini aku mengintip keluar dengan mata berat, menahan kantuk. Kemarin malam adalah tanggal kepulanganmu setelah lima tahun pergi dan lima tahun lagi janji untuk kembali tak kunjung kau tepati. Padahal aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk bersiap: membasuh tubuh dengan air kembang yang wangi semerbak, mengenakan pakaian terbaik dan duduk manis di beranda, ditemani secangkir teh panas. Namun, hingga malam larut, isi cangkir telah susut, dan betis habis digigiti nyamuk, kau tak kunjung datang. Yang muncul kemudian adalah seorang perempuan tua—ibuku, dengan raut yang ditabah-tabahkan membimbingku kembali masuk ke dalam rumah.

Senin, 23 Maret 2020

Coronavirus disease (COVID-19)


“Only one form of contagion travels faster than a virus. And that’s a fear.”
Dan Brown, INFERNO

Dunia sedang tidak baik-baik saja🌎

sumber foto: google

Masih adakah yang tidak aware dengan situasi saat ini? Barangkali tiga bulan lalu kita masih asyik dengan kegiatan sendiri dan menganggap hidup ini sempurna tanpa gangguan berarti; booklovers asyik dengan tumpukan bukunya, para pegawai/pekerja setiap hari hanya fokus pada rutinitas yang terjadwal, para K-popers tak peduli pada hal lain kecuali bintang-bintang Korea pujaannya, dll, dsb. Kini kita disatukan oleh sikap waspada dan terfokus pada satu krisis yang tengah merongrong negeri ini (dan negara-negara lain di dunia) yaitu Pandemi Covid-19. Yah, tidak ada kenyamanan hidup yang sempurna, sebab kesempurnaan tidaklah nyata.

foto: dok. pribadi

Jujur, saya juga lelah dijejali kabar korona setiap hari, baik dari televisi, radio, atau media sosial. Tapi, mau bagaimana lagi? Lelah atau tidak, kita tetap harus memantau penyebarannya dan memperbaharui info-info yang setiap hari berubah.  Belum lagi melihat perdebatan sengit yang menyertai perjalanan penyebaran virus ini di Indonesia, aksi tuding dan saling menyalahkan marak di media sosial. Masyarakat menuduh pemerintah tidak serius menanggapi korona. Sikap-sikap sebagian masyarakat yang bebal dan berbuat semaunya sendiri padahal sudah diingatkan agar mawas diri dan dibatasi pergerakannya. Serta, kesiapan negara ini dalam menangani korona secara keseluruhan mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah memang terasa MENGKHAWATIRKAN.
          Tapi, yah, bagaimanapun juga kita harus turut berperan aktif dalam menangani korona ini. Kalaupun kita tidak punya uang berjuta-juta untuk disumbangkan, masih ada banyak hal-hal kecil namun berarti besar untuk dilakukan, seperti jangan menyebar berita hoaks dan kepanikan, rajin cuci tangan dan jaga kebersihan, serta menuruti segala imbauan pemerintah.
          Stay safe untuk semua masyarakat dunia, terkhusus untuk masyarakat Indonesia. Hormat saya untuk para tenaga medis, relawan, dan pihak-pihak yang berada di garda terdepan dalam melawan Covid-19. Tuhan memberkati anda-anda sekalian!😇