Kamis, 02 Juli 2020

ANGIN BERKABAR HUJAN [Cerpen Harian Republika, Edisi Minggu, 28 Juni 2020]

ilustrasi oleh Harian Republika


ANGIN BERKABAR HUJAN
Oleh Dian Nangin
            Sepasang tangan lelaki tua itu berkacak di pinggang. Tangan tersebut berwarna kelam, serupa malam yang akan segera datang menggantikan petang. Sulur-sulur pembuluh darah tampak menonjol di balik kulitnya yang penuh kerut, bukti kerja keras yang masih ia lakoni hingga usia hampir tujuh dekade kini. Baru saja ia selesai menggali lubang-lubang kecil dan menjatuhkan butir-butir biji kacang panjang ke dalamnya. Butuh usaha yang sedikit ekstra karena tanah begitu kering dan keras ketika digali. Sudah cukup lama hujan tidak turun, namun bagaimanapun, mereka tak bisa berhenti menanam.
            Itulah yang ia lakukan bersama istrinya selama puluhan tahun: mengolah tanah dengan bermandi peluh dan berhujan air mata. Menghidupi anak-anak mereka dengan bertani—profesi tanpa pilihan yang diwariskan para pendahulu mereka. Yah, apalah yang bisa dilakukan orang-orang kampung yang bahkan tak mencicipi bangku pendidikan setidaknya hingga Sekolah Menengah Pertama itu.
Beragam jenis tanaman telah melewati proses tumbuh-rawat-panen di tangan mereka. Kadang upaya itu memberi hasil yang cukup memuaskan, namun tak jarang juga berakhir buruk dan menyebabkan kerugian—yah, roda kehidupan berputar. Sejak awal, mereka tak membangun mimpi untuk menjejakkan kaki di puncak kemakmuran
atau memanjat ke pucuk-pucuk tertinggi kekayaan menurut standar duniawi. Sadar mereka tak akan mampu, sebab mereka sendiri tengah berjuang keluar dari lubang dalam yang tengah memerangkap mereka.
Pasangan itu merelakan bahu-bahu mereka menjadi batu pijakan untuk mengeluarkan anak-anak mereka dari lubang yang membatasi ruang gerak. Tak mengapa kaki mereka tertanam lebih dalam karenanya, yang penting para buah hati itu sanggup mereka julang tinggi. Biar mereka sanggup keluar melihat dunia, mencicipi hiruk pikuknya, dan kemudian sesekali pulang menjenguk mereka sambil membawa cerita-cerita hebat. Biarlah mereka menunggu di kampung bertemankan cericit burung, konser katak-katak yang begitu meriah menjelang hujan, serta gemerisik daun-daun bambu.
            Setelah berjuang bertahun-tahun, pasangan petani tua itu cukup berbangga hati melihat anak-anak mereguk sukses menurut ukuran mereka: meraih gelar sarjana, memiliki pekerjaan tetap, serta cukup uang untuk tuntutan kehidupan di ibukota.
Hingga akhirnya tiba waktu untuk berpisah setelah bertahun-tahun hidup di bawah atap yang sama. Atap yang telah menyaksikan tangis anak-anak itu kala lahir. Atap yang sama juga mendengar gelak tawa mereka, pun yang mengetahui semua rahasia juga perselisihan. Anak-anak yang telah lahirkan-besarkan itu tumbuh dewasa, meraih cita-cita, pun telah menemukan tambatan hati pula.
            Mereka hanya geleng-geleng kepala ketika menjelang hari pernikahan putra-putrinya, karena muncul debat panjang hanya karena masalah pilihan gedung resepsi, katering, juru rias, pakaian pengantin, tim dokumentasi, dan seribu satu urusan lain yang tak kepalang banyak bila dijabarkan secara mendetail. Problema kekinian, begitu mereka menyebutnya. Teringat pasangan tua itu pada puluhan tahun silam, ketika kedua hati mereka menyatu, tak ada kemewahan apapun yang dapat dihidangkan dalam pesta yang teramat sederhana itu. Bukankah pernikahan pada intinya adalah tujuannya? Janji sakral dan kesungguhan untuk hidup bersama sampai maut memisahkan?
            Maka, pasangan orang tua tersebut tak ambil pusing dengan segala kerunyaman debat tersebut. Menyerahkan sepenuhnya segala keinginan pernikahan impian pada calon-calon pengantin itu. Biarlah seiring waktu anak-anak muda itu menyadari bahwa sesungguhnya hal yang mereka ributkan sekarang hanyalah masalah sepele dan kelak hanya bisa menertawakannya.
Sepeninggal anak-anak, pasangan tua itu kembali hidup berdua seperti awal mula berkeluarga. Anak-anak dan para cucu mengolok mereka kembali menjadi pengantin, yah…mereka tak lagi muda, jadi pengantin tua saja. Olok itu lalu menerbitkan tawa.
         Rumah tak lagi bersih dan tertata, tapi tak mengapa. Diminta pindah ke rumah modern milik anak-anaknya, mereka enggan. Tak masalah tinggal di rumah buruk itu, yang penting mereka masih punya tempat untuk berbaring berdua. Masih punya ruang pribadi untuk malam-malam mereka saling menyentuh. Bukan lagi tentang api gairah dan selaput yang telah lama koyak, namun hanya demi kehangatan yang tercipta ketika mereka saling menemukan.
***
            Kini hidup mereka lebih ‘santai’, walau hingga usia senja mereka tetap mengabdikan diri pada alam. Mengakrabkan diri pada unsur pembentuk raga sendiri. Perjuangan mereka tinggal sekedar dapat makan tiga kali sehari, minum kopi kala pagi, teh manis panas pada malam hari, serta sedikit ongkos untuk mengunjungi anak-anaknya di kota. Tak lupa sejumlah lembar-lembar uang lima ribuan untuk diselipkan di saku cucu-cucunya untuk membeli permen—kendati orang tua bocah-bocah itu mampu membeli sepuluh kali lipat dari pemberian tersebut. Anak-anak petani tua tersebut juga mampu memberi mereka jauh lebih banyak dari hasil mereka berladang, namun pasangan petani tua itu adalah tipe ayah ibu yang tak ingin merepotkan anak-anaknya.
            “Simpan saja, simpanlah. Hidup serba tak pasti. Uang itu kelak akan berguna untuk situasi yang tak terduga,” begitu selalu nasihat pasangan petani tua itu. Pastilah hidup yang sulit di masa lalu telah mengajari mereka banyak hal, memberi pengalaman yang terus berkesinambungan pada kehidupan masa kini.
***
            Angin kering berhembus meniup rambut kelabu si lelaki tua. Sore yang gerah, walau di langit mulai tampak awan mendung bergerak berarak. Sebenarnya musim hujan masih belum tiba, namun demi melihat gulungan awan hitam itu, tumbuh sejumput asa dalam hatinya. Persediaan air di dalam tong-tong berkarat dan bak penampungan yang dangkal milik mereka sudah lama kering akibat kemarau panjang. Parit-parit pun begitu. Padahal, air kotor bau bacin yang mengalir di parit-parit itu sangat berguna untuk memberi minum tanaman-tanaman yang didera dahaga.
Namun, warga kampung pun sudah kehabisan air untuk mencuci dan mandi. Otomatis tak ada lagi yang bisa dialirkan ke dalam selokan. Kalaupun ada sedikit air yang mengaliri parit-parit, riak lemahnya tak sampai di ladang si petani tua, sebab petani-petani sebelum ladangnya telah lebih dulu mengurasnya habis.
Si lelaki tua melepas kaus bututnya untuk mengurangi gerah. Hadirlah sebuah tubuh ringkih. Tak terlihat lapisan lemak di bagian manapun. Rusuk-rusuknya terlihat menonjol, tampak seperti jemari tangan tengah mencengkeram dada tipis dan perut kempis itu. Mata lamurnya memandang ke seantero lahan yang baru selesai dikerjakan. Tampak gundukan-gundukan kecil menandakan tempat biji-biji kacang panjang itu dikubur. Ia membayangkan dalam beberapa hari akan muncul pucuk-pucuk kecil berwarna hijau dari puncak gundukan itu, pucuk yang kelak tumbuh tinggi meliliti tiang-tiang penyangganya.
            “Semoga angin ini membawa kabar bahwa hujan akan segera turun,” katanya penuh harap. Kalaupun hujan masih enggan merinai, semoga semesta masih berkenan mengguyurkan embun-embun agar biji-biji yang baru ditanam itu sudi mengeluarkan tunasnya.
            Ia menoleh ke arah selatan ladang. Tampak istrinya sibuk membersihkan gundukan lain yang ditanami wortel—sesungguhnya tak banyak gulma di sana, sebab gulma pun enggan tumbuh di musim kemarau. Sesekali perempuan tua itu membelai satu dua batang wortel yang tampak lesu karena sudah lama tak berjumpa dengan air. Ia mengusap-usap helai-helai daunnya penuh sayang, seolah tengah membujuk agar mereka tidak menyerah pada kehidupan kendati cuaca sedang tidak bersahabat. Pada tanaman-tanaman itu, bertahun-tahun, mereka menunjukkan cinta  penuh dedikasi.
Medan, 2018-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar